
Ilustrasi Kekerasan Seksual (foto: freepik.com)
Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Siaran Pers Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) PP Muhammadiyah yang merespons Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021) mendapat sambutan dari masyarakat luas.
Melalui Majelis Diktilitbang, Muhammadiyah menilai Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021 mengandung masalah materil dan formil. Berangkat dari adanya masalah itu, Muhammadiyah kemudian mengajukan 3 (tiga) rekomendasi penting.
Oleh sebagian masyarakat, rekomendasi tersebut di atas dinilai bertolakbelakang dengan upaya pencegahan kekerasan seksual, terutama di lingkup Perguruan Tinggi. Poin yang dikritisi terutama adalah frase yang termaktub dalam poin ketiga, yakni “untuk mencabut”. Padahal, jika dibaca lebih cermat (dalam poin yang sama) terdapat opsi “melakukan perubahan” terhadap Permen Dikbudristek No 30 Tahun 2021. Muhammadiyah juga dinilai tidak memiliki keberpihakan pada upaya pencegahan kekerasan seksual.
Menyikapi hal tersebut, Ketua Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Jawa Tengah Siti Kasiyati menegaskan bahwa Muhammadiyah-‘Aisyiyah mempunyai concern terhadap upaya perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. Melalui berbagai majelis dan lembaganya, Muhammadiyah-‘Aisyiyah juga telah banyak memberikan edukasi, upaya pencegahan, serta penanganan kasus kekerasan seksual.
Contoh konkretnya adalah apa yang sudah dilakukan oleh Pos Bantuan Hukum (Posbakum) PWA Jawa Tengah. Menurut Kasiyati, Posbakum ‘Aisyiyah Jawa Tengah telah mendampingi banyak korban kekerasan, baik kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, maupun kekerasan yang lainnya.
Baca Juga: Kekerasan Seksual pada Anak dan Perempuan
Saat ini, ia menambahkan, ‘Aisyiyah juga menjadi salah satu saksi Polres di salah satu kabupaten di Jawa Tengah dalam kasus bagaimana difabel berhadapan dengan hukum, khususnya korban kekerasan seksual.
Saat ini ‘Aisyiyah sudah meluncurkan buku panduan yang memuat alur penanganan dan bantuan hukum yang sesuai dengan standar akomodasi dalam proses peradilan, termasuk di dalamnya memuat bagaimana perlindungan bagi korban kekerasan seksual, baik kekerasan seksual maupun kekerasan lainnya. “Panduan tersebut digunakan untuk mendampingi korban-korban kekerasan, baik kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, maupun kekerasan yang lainnya,” ujarnya pada Selasa (9/11).
Proses pendampingan Posbakum ‘Aisyiyah, menurut Kasiyati, dilakukan dengan cara litigasi maupun non-litigasi. Cara litigasi dilakukan dengan melakukan pendampingan di pengadilan, melakukan pencegahan hukum, hingga melayani drafting hukum ketika para pencari keadilan membuat gugatan ke pengadilan. Sementara pendampingan non-litigasi dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat, edukasi pencegahan kekerasan, dan pemberdayaan ekonomi bagi penyintas kekerasan.
Posbakum ‘Aisyiyah Jawa Tengah telah bekerja sama dengan Pengadilan Agama Boyolali, Pengadilan Agama Klaten, Pengadilan Agama Sukoharjo, Pengadilan Agama Wonogiri, Pengadilan Agama Sragen, dan Pengadilan Agama Purbalingga untuk memberikan pendampingan bagi korban kekerasan. “Kami setiap hari memberikan layanan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi korban kekerasan. Sehingga tidak benar jika Muhammadiyah–‘Aisyiyah tidak memihak kepada korban kekerasan,” tegasnya.
Dalam konteks kekerasan seksual, upaya penanganan dan pendampingan itu dilakukan dengan cara melakukan sinergi antarmajelis, misalnya dengan Majelis Tabligh, Majelis Kesejahteraan Sosial, dan Majelis Ekonomi dan Ketenagakerjaan.
Selain Posbakum, ungkap Kasiyati, Balai Kesejahteraan Sosial (Bakesos) di beberapa daerah di Indonesia, seperti Merauke, Trenggalek, Bengkulu, dan Batam juga melakukan kerja-kerja sosial pendampingan korban kekerasan. Bahkan berkenaan dengan rehabilitasi sosial korban kekerasan, panti-panti asuhan ‘Aisyiyah juga menjadi rumah sosial bagi anak korban kekerasan seksual.
“Kami bekerja sama dengan Majelis Ekonomi dan Ketenagakerjaan ‘Aisyiyah juga menyelenggarakan Sekolah Wirausaha ‘Aisyiyah (SWA) untuk mendukung program pemulihan ekonomi korban kekerasan seksual, korban KDRT, korban kekerasan, dan perdagangan orang. ‘Aisyiyah juga mengembangkan wirausaha untuk pembiayaan program pendampingan kekerasan seksual,” ujar Kasiyati. (sb)