Berita

Muhammadiyah Berikan Catatan Kritis terhadap RUU Kesehatan, Busyro Muqoddas: Tidak Sesuai dengan Nilai UUD 1945

RUU Kesehatan Muhammadiyah

Jakarta, Suara ‘AisyiyahSelasa (7/2), Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah mengadakan Konferensi Pers tentang RUU Kesehatan. Kegiatan yang berlangsung di Aula KH Ahmad Dahlan, Gedung Dakwah Muhammadiyah Menteng Raya, Jakarta Pusat itu melibatkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Ikatan Bidan Indonesia, Persatuan Perawt Nasional Indonesia, Ikatan Apoteker Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, dan Forum Masyarakat Peduli Kesehatan.

MHH PP Muhammadiyah bersama tujuh lembaga profesi itu mengajukan catatan kritis terhadap RUU Kesehatan yang saat ini sedang digodog oleh Badan Legislasi DPR RI. Ketua PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas menyampaikan perlunya peninjauan ulang terhadap RUU Kesehatan karena tidak sesuai dengan nilai UUD 1945. “Kami semua siap untuk memberikan masukan yang lebih detail, atau ditolak, atau dibatalkan,” kata dia.

Ada setidaknya sepuluh poin catatan kritis yang diajukan, yaitu:

Pertama, metode Omnibus dalam penyusunan RUU Kesehatan telah dipergunakan tanpa melibatkan peran aktif seluruh sektor yang terdampak pengaturan. Hal ini mengulang pola pengaturan dengan metode Omnibus baik dalam bentuk Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja maupun UU 4 Tahun 2023 tentang Penegembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Mengingat kerangka dari RUU tentang Kesehatan dibuat dengan pola Omnibus Law, mengabaikan partisipasi publik serta tidak bersifat partisipatif dan menyalahi prosedur pembentukan perundang-undangan, maka dikhawatirkan berpotensi akan terjadi disharmoni dan konfliktual dengan aturan lain.

Kedua, RUU tentang Kesehatan merupakan bagian dari gerakan global liberalisasi di bidang kesehatan, sesuatu yang kalaupun dianggap sebagai hal yang tak dapat dihindari, tetap harus disikapi dengan berhati-hati dan tidak gegabah, agar tidak merugikan kepentingan bangsa, dan masyarakat selaku konsumen di bidang kesehatan.

Ketiga, RUU tentang Kesehatan yang turut mengubah UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan Undang-Undang Pendidikan Tinggi menunjukkan penerapan metode Omnibus yang tidak tepat dan salah arah, pemberian kewenangan terbatas pada Kementerian di bidang pendidikan dan mengubah pola pengelolaan Jaminan Kesehatan semakin menunjukkan campur tangan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan yang kembali ingin mengendalikan sektor kesehatan agar dapat melepaskan industri kesehatan kepada mekanisme pasar.

RUU tentang Kesehatan bisa memberikan dampak lanjut, antara lain dalam lingkup beralngsungnya praktik komodifikasi pendidikan sumberdaya manusia di bidang kesehatan di sekolah dan perguruan tinggi, tenaga kesehatan disiapkan untuk menjadi pekerja bagi pebisnis dan perusahaan dalam logika industrialisasi kesehatan, dan sekaligus dialpakan dengan misi humanis-profetisnya saat menjalankan profesi di bidang kesehatan.

Keempat, RUU tentang Kesehatan tersebut secara mendasar telah mengubah filosofi bidang kesehatan, yang pada awalnya ditujukan sebagai layanan pemenuhan salah satu hak dasar kepada masyarakat (selaku konsumen bidang kesehatan) menjadi kegiatan industrialisasi dan komersialisasi yang berorientasi bisnis dan mencari keuntungan semata-mata.

Kelima, RUU tentang Kesehatan menunjukkan arah pengaturan yang menempatkan pemerintahan sebagai aktor utama dalam pengelolaan bidang kesehatan dengan melakukan pengaturan yang bersifat delegasi blanko. Tidak kurang dari 56 aturan bersifat delegasi blangko dalam RUU Kesehatan yang dilarang penggunaannya dalam UU tentang pembentukan UU.

Keenam, RUU tentang Kesehatan berpotensi menghilangkan Independensi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang sebelumnya diatur dalam undang undang BPJS, BPJS bertanggung jawab kepada presiden kini pertanggungjawabannya kepada presiden tetapi melalui Kementerian Kesehatan hal ini semakin mengindikasikan untuk menjadikan BPJS sebagai instrumen birokrasi pemerintah.

RUU tentang Kesehatan sebagaimana maksud mengubah pengaturan BPJS sebagai Badan Hukum Publik Independen. Perubahan ini memunculkan risiko pengelolaan dana BPJS tidak berjalan baik akibat ketidakmandirian lembaga tersebut dan berpotensi dimanfaatkan oleh kepentingan politik pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pada akhirnya dana umat untuk jaminan kesehatan menjadi tidak optimal dan tidak bermanfaat bagi kesehatan umat.

Ketujuh, RUU tentang Kesehatan patut diwaspadai sebagai bentuk melayani kepentingan bisnis oligarki tertentu yang sudah lama menguasai jaringan bisnis bidang kesehatan dengan mengorbankan kepentingan masyarakat luas sebagai konsumen bidang kesehatan. Pengaturan yang memberikan ruang besar kepada Menteri Kesehatan untuk dapat memberikan data kesehatan meskipun dengan alasan dan kewenangan khusus berpotensi dimanfaatkan oleh industri bisnis kesehatan memanfaatkan informasi tersebut bagi kepentingan industri obat dan peralatan kesehatan.

Kedelapan, RUU tentang Kesehatan mencabut UU Kesehatan beserta 8 Undang-Undang di luar UU Kesehatan. Artinya RUU Kesehatan meliputi pengaturan profesi kesehatan. UU di luar UU Kesehatan di antaranya mengatur tentang Profesi, yakni Profesi Dokter dan Dokter Gigi, Profesi Kebidanan, Profesi Keperawatan dan Profesi Tenaga Kesehatan. Pengaturan tersebut terlihat dalam UU Praktik Kedokteran, UU Kebidanan, UU Keperawatan, dan UU Tenaga Kesehatan.

RUU Kesehatan melakukan pengaturan ulang tanpa keterlibatan organisasi profesi yang ada, secara komprehensif dan muatan aturan yang tidak mencerminkan kemandirian organisasi profesi, menunjukkan pola pengaturan yang tidak partisipatif dan mengabaikan peran organisasi profesi.

Kesembilan, RUU tentang Kesehatan yang tidak mengatur dengan baik muatan materi yang telah ada dalam UU Rumah Sakit memunculkan potensi pengaturan yang mengabaikan kepentingan masyarakat selaku konsumen kesehatan tidak terlayani dengan baik. RUU tentang Kesehatan dalam beberapa hal berpotensi menjadi ancaman terhadap optimalisasi peran dan aktualisasi kemampuan sumberdaya kesehatan, tenaga medis, dan tenaga kesehatan dalam negeri. Dibukanya peluang kepada investor asing atau tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia.

Pengatutan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing dapat melakukan praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia dalam rangka investasi atau noninvestasi, tanpa perlindungan terhadap tenaga profesi kesehatan yang cukup patut diubah melalui pengaturan ketentuan undang-undang profesi kesehatan tersendiri sebagaimana yang telah ada saat ini.

Kesepuluh, RUU tentang Kesehatan pada akhirnya mengindikasikan adanya upaya pengkerdilan terhadap peran profesi kesehatan karena tidak diatur dengan undang undang tersendiri hal ini dikhawatirkan akan menghilangkan independensi lembaga profesi dalam menjalankan tugasnya. (sb)

Related posts
Berita

Irman Gusman Berkomitmen Jadikan Masjid Taqwa Muhammadiyah Ikon Religius Sumatera Barat

  Padang, Suara ‘Aisyiyah – Anggota DPD RI, Irman Gusman, mengadakan kegiatan reses di Masjid Taqwa Muhammadiyah, Sumatera Barat, pada Senin (16/12)….
Lensa Organisasi

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) merupakan seperangkat nilai dan norma islami yang bersumber pada al-Quran dan as-Sunah yang dijadikan pola tingkah…
Hikmah

Ijtihad Kalender Islam Global Muhammadiyah

Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar* Muhammadiyah adalah organisasi yang memiliki karakter progresif dan berkemajuan. Di antara karakter itu tampak dari apresiasinya terhadap…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *