Liputan

Muhammadiyah Berkemajuan Sejak Dahulu

Logo Muhammadiyah
Logo Muhammadiyah

Logo Muhammadiyah

Oleh: Syifa R. Dewi

Muhammadiyah awalnya merupakan organisasi kecil dari kampung Kauman di sebuah residensi di Hindia Belanda. Kesadaraan keilmuan yang kuat di antara para anggotanya membuat organisasi ini berkembang dengan cepat. Tradisi keilmuan di Muhammadiyah berperan penting dalam membentuk cara pandang warga Muhammadiyah pada dirinya dan dunia di sekitarnya.

Inilah yang kemudian melahirkan kemampuan untuk menganalisis secara konseptual problem sosial-keagamaan dan mencari solusi praktisnya. Tanpa tradisi keilmuan yang kuat, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah tidak akan sampai pada kemajuan yang dicapainya sekarang.

Saat diwawancara Suara ‘Aisyiyah, Muhammad Yuanda Zara selaku Staf Pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta mengungkapkan, “dalam dunia kolonial yang pada saat itu kaum pribumi nyaris tidak diberi kesempatan untuk memajukan dirinya, usaha-usaha Muhammadiyah adalah sebuah terobosan penting”.

Ia menambahkan, ketika mengetahui bahwa praktik keagamaan kaum Muslim Yogyakarta masih diwarnai mistisisme, Kiai Ahmad Dahlan lantas mendirikan pengajian untuk meluruskannya. Ketika mengetahui bahwa kaum Muslim pribumi hampir tidak mendapat tempat di sekolah Belanda, Muhammadiyah lalu mendirikan sekolah agama yang dipadukan dengan kurikulum ilmu umum.

Baca Juga: Cita-Cita Muhammadiyah Membangun Peradaban Utama

Demikian halnya, ketika kaum pribumi masih tertinggal dalam usaha memelihara kesehatan dan kurang mendapat akses pada fasilitas kesehatan, Muhammadiyah lalu mendirikan klinik dan balai pengobatan. Menurut Yuanda, kepercayaan masyarakat Indonesia pada ‘dokter’ –sebuah konsep yang awalnya diperkenalkan Belanda– juga dapat dilacak pada kontribusi Muhammadiyah meyakinkan masyarakat pribumi Hinda Belanda, bahwa usaha menjaga kesehatan tidak cukup hanya dengan kebiasaan dan ‘kata orang tua’.

Namun, usaha ini harus dilandaskan pada ilmu kesehatan modern dan dilakukan oleh orang yang berkualifikasi, terdidik, terlatih, dan diselenggarakan oleh institusi modern pula, dalam hal ini klinik atau rumah sakit.

Akar Tradisi Keilmuan Muhammadiyah

Usaha-usaha tersebut, tandas Yuanda, tidak hanya dibangun di atas landasan aktivisme keagamaan, tetapi juga pada suatu tradisi keilmuan yang kuat. Bagi Muhammadiyah, kaum Muslim wajib berilmu, dan pertama-tama yang perlu didapatkan adalah ilmu agama. Apabila seseorang mempelajari ilmu agama dengan benar, maka ia akan menerapkannya tidak hanya secara pribadi, tetapi juga secara sosial, dan ini akan mendorong dirinya menjadi anggota masyarakat yang kontributif.

Yuanda menuturkan salah satu contoh dari akar tradisi keilmuan di Muhammadiyah dapat dilihat dari salah satu dokumen tertua yang dimiliki Muhammadiyah, majalah Suara Muhammadiyah edisi ke-2 tahun 1915. Edisi berbahasa Jawa ini hampir sepenuhnya bicara soal ilmu.

Pertama, perihal ilmu agama, termasuk tentang konsep dan definisi sunat ‘ain, iktikaf, sunat kifayah, dan najis. Kedua, perihal ilmu kemasyarakatan, misalnya pandangan Muhammadiyah tentang tradisi selametan di Jawa. Ketiga, yang tidak kalah penting, adalah tentang epistemologi ilmu itu sendiri, misalnya dengan pembahasan mengenai bagaimana individu mendapatkan pengetahuan, perbedaan antara orang alim (pintar) dan orang bodoh, serta bagaimana seorang Muslim dapat meraih ‘ilmu sejati’.

Baca Juga: Kiai Ahmad Dahlan Memakai Gamis

Apabila kita mengamati wacana publik yang dibentuk dan disebarluaskan oleh Muhammadiyah pada dekade-dekade selanjutnya, kata Yuanda, komitmen pada ilmu ini tampak tidak hanya bertahan tetapi justru semakin kuat. Inilah yang membuat semakin banyak masyarakat Indonesia tertarik dengan gerakan Muhammadiyah, karena memberi mereka dua kemajuan sekaligus, yakni kemajuan dalam hal pengetahuan keagamaan dan kemajuan dalam hal adaptasi dengan dunia modern, yang di masa kolonial hanya dilekatkan pada orang Belanda.

Komitmen dan Konsistensi Gerakan Berkemajuan

Kini, menurut Yuanda, Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam berkemajuan. Istilah ‘kemajuan’ sudah dipakai sejak awal abad ke-20 di Hindia Belanda, yang mencerminkan keinginan kaum pribumi untuk mengemansipasi dirinya di sebuah dunia kolonial yang tidak banyak memberi mereka kesempatan untuk maju.

Seratus delapan tahun bukanlah waktu yang singkat bagi sebuah organisasi kemasyarakatan untuk memajukan masyarakat tempatnya hidup. Berbagai organisasi yang lebih tua atau lebih muda dari Muhammadiyah telah tumbang karena kesulitan untuk beradaptasi dengan zaman. Komitmen dan konsistensi Muhammadiyah sebagai gerakan ilmu adalah faktor penting yang menopang eksistensi dan ekspansi Muhammadiyah dalam seabad terakhir.

Baca Juga: Abdul Mu’ti: Muhammadiyah Harus Melihat Masa Lalu untuk Merancang Masa Depan

“Ini telah terbukti efektif sepanjang sejarah Muhammadiyah, artinya komitmen dan konsistensi ini juga masih akan memainkan peran kunci dalam perkembangan Muhammadiyah ke depan. Tentu masih ada kekurangan di sana-sini. Dunia sudah berubah dengan sangat cepat sehingga Muhammadiyah juga harus menyesuaikan diri,” ungkapnya.

Menurutnya, Muhammadiyah perlu terus menjaga komitmen dan konsistensinya pada gerakan keilmuan, termasuk dengan terus menghasilkan ulama dan ilmuwan yang senantiasa siap merespon perubahan zaman. Selain itu, penting bagi Muhammadiyah membangun komunitas ilmiah di mana konsep-konsep besar dan abstrak dibahas, memperkuat tradisi literasi di antara anggotanya dan masyarakat umum, serta terus berkontribusi pada usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat, baik di bidang kesehatan, pendidikan dan pemeliharaan kalangan miskin dan terlantar.

Muhammadiyah sebagai Produsen Pengetahuan

Di era sekarang, informasi dapat diperoleh orang dengan mudah dan dari smartphone-nya masing-masing. Pada satu satu sisi, hal ini kelihatan bagus karena mengurangi kesusahpayahan mencari pengetahuan seperti yang dialami generasi dahulu yang harus pergi ke perpustakaan mencari ensiklopedi apabila ingin tahu arti suatu istilah.

Dahulu, orang harus menunggu koran edisi esok hari untuk mengetahui peristiwa yang baru saja terjadi; kini, bahkan peristiwanya sendiri bisa ditonton secara live. Namun, problemnya adalah, terlalu banyak informasi juga membawa konsekuensi besar bagi individu. Mulai dari kelelahan bahkan tekanan mental akibat informasi yang terus membanjir, kurangnya kesempatan untuk merenung, kehilangan fokus dan perspektif pada tema-tema elementer, ketidakmampuan menyaring informasi yang benar, dan pada akhirnya kegagalan dalam mengambil keputusan yang tepat.

Baca Juga: Suara Aisyiyah Tahun 1927: Perjuangan Mengangkat Derajat Perempuan

Bila kita menengok sejarah Muhammadiyah, lanjut Yuanda, sudah sejak tahun awal berdirinya, Muhammadiyah berperan sebagai produsen pengetahuan. Kelahiran generasi kaum pribumi melek huruf yang jumlahnya masih sangat sedikit di masa penjajahan, direspons Muhammadiyah dengan pendirian berbagai media cetak pada dekade kedua dan ketiga abad ke-20.

Suara Muhammadiyah lahir sejak tahun 1915, sementara Suara ‘Aisyiyah eksis sejak tahun 1926. Di luar kedua majalah ini, yang cukup dikenal warga Muhammadiyah dan masyarakat umum karena masih eksis hingga kini, ada lebih banyak lagi media cetak yang berafiliasi dengan Muhammadiyah sejak dekade 1920-an dan 1930-an tetapi kurang diketahui oleh warga Muhammadiyah sendiri dewasa ini, misalnya majalah Poestaka Hizboel Wathon (HW Yogyakarta) dan Pantjaran ‘Amal (Muhammadiyah Betawi). Belum lagi kalau kita bicara mengenai tulisan-tulisan yang diproduksi oleh para pemikir Muhammadiyah.

Aktifitas Pengolahan dan Diseminasi Pengetahuan

Tradisi keilmuan Muhammadiyah, terang sejarahwan muda ini, tidak hanya berfokus pada pencarian pengetahuan, tetapi ditandai pula oleh aktivitas pengolahan dan diseminasi pengetahuan. “Tradisi literasi ini, khususnya menulis dan penyebaran pengetahuan secara tercetak, adalah hal penting yang harus dipertahankan,” Yuanda menekankan.

Orang sering tidak fokus ketika membaca materi di internet. Berbeda dengan ketika orang membaca majalah atau buku tercetak, di mana orang dapat berhenti sejenak, merenungkan apa yang baru saja dibacanya, lalu meresponsnya, salah satunya dengan menulis juga.

Baca Juga: Merawat Komunitas Literasi

Muhammadiyah sudah banyak membuktikan bahwa organisasi ini adalah ruang. Di ruang ini informasi tidak ditampilkan sebagai narasi tekstual atau statistik saja, tetapi ditempatkan dalam perspektif yang lebih luas, lebih abstrak, lebih konseptual. Selalu ada usaha membuat payung besar yang memudahkan orang memahami informasi yang sangat banyak.

Oleh karena itu, ia berkesimpulan, tradisi literasi semacam ini harus semakin diperkuat agar dapat menjadi modal kuat bagi warga Muhamamdiyah dan masyarakat Indonesia secara umum supaya dapat bertahan di zaman yang dibanjiri oleh informasi ini. Informasi yang banyak seharusnya menjadi kesempatan dan kekuatan, dan bukannya menjadi hambatan ke arah kemajuan.

Related posts
Berita

Abdul Mu’ti Ajak Warga Muhammadiyah Sikapi Pemilu 2024 dengan Arif dan Bijaksana

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – PP Muhammadiyah mengawali Pengajian Umum tahun 2024 dengan mengusung tema “Muhammadiyah dan Pemilu 2024”. Pengajian yang berlangsung secara…
Sosial Budaya

Adaptasi Teknologi Muhammadiyah: Catatan dari Gen Z

Oleh: Avra Abida El Ravi Lahir dan besar di keluarga Muhammadiyah tidak lantas membuat seseorang merasa dirinya adalah kader Muhammadiyah. Ini dialami…
Berita

Sambut Indonesia Emas 2045, MPKSDI PP Muhammadiyah Akan Siapkan Kader Terbaik

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah dahulu, saat ini, dan masa depan tentu berbeda dan berubah. Pernyataan tersebut disampaikan oleh…

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *