Lensa Organisasi

Muhammadiyah dan Akar Kesadaran Gender Sejak Awal

Dalam setiap peringatan Milad, Muhammadiyah sering diposisikan sebagai gerakan modern yang berhasil akan Amal Usaha Muhammadiyah dan lembaga sosial lainnya. Namun satu warisan penting yang kerap tidak tampil di garis depan adalah kepeduliannya pada kesetaraan gender sejak awal kelahirannya.

Di tengah struktur masyarakat kolonial yang patriarkal, Muhammadiyah hadir dengan pendekatan Islam berkemajuan yang memandang perempuan sebagai subjek yang berdaya. Kesadaran semacam ini tidak sekadar lahir dari kebutuhan sosial, tetapi berakar pada pembacaan mendalam terhadap nilai-nilai Islam oleh KH. Ahmad Dahlan dan Nyai Ahmad Dahlan, yang keduanya melihat ketimpangan gender sebagai persoalan keadilan.

Kondisi Perempuan Awal Abad ke-20 

Untuk memahami betapa progresifnya langkah Muhammadiyah, kita perlu melihat kembali kondisi perempuan pada awal abad ke-20. Ketika itu, mayoritas perempuan Indonesia hidup dalam ruang yang sangat terbatas. Akses pendidikan hampir tidak tersedia, sekolah-sekolah kolonial dan sekolah pribumi umumnya hanya diperuntukkan bagi laki-laki atau kalangan bangsawan.

Perempuan menghabiskan masa remajanya tanpa kesempatan belajar, dan literasi baca-tulis bukanlah sesuatu yang dianggap penting bagi mereka. Ruang publik pun seolah tertutup rapat. Perempuan tidak diizinkan terlibat dalam organisasi sosial, tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, dan bahkan kehadiran mereka di forum diskusi sering dianggap tidak pantas.

Di usia yang sangat muda, bahkan sebelum menginjak lima belas tahun, banyak perempuan dinikahkan, sebuah praktik yang semakin mempersempit ruang mereka untuk berkembang. Sementara itu, keadaan kesehatan ibu dan anak berada dalam situasi kritis.

Minimnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi membuat angka kematian ibu melahirkan tinggi, dan layanan medis yang layak sulit dijangkau oleh keluarga pribumi. Semua itu berlangsung dalam norma sosial yang sangat patriarkal, dimana perempuan lebih dianggap sebagai “pengikut” daripada individu yang memiliki kapasitas intelektual maupun sosial.

Dalam konteks inilah muncul kebutuhan mendesak akan gerakan yang mampu membuka jalan bagi perempuan untuk belajar, berkegiatan, dan memaknai ajaran agama secara lebih setara. Dan pada titik itulah peran Muhammadiyah menjadi sangat menentukan.

Kelahiran ‘Aisyiyah dan Tradisi Pembebasan Perempuan

Ketika Muhammadiyah mendirikan ‘Aisyiyah pada tahun 1917, keputusan itu bukan sekadar membuka ruang kegiatan bagi perempuan, melainkan langkah revolusioner yang menantang struktur sosial yang ada. ‘Aisyiyah berdiri bukan sebagai pelengkap organisasi laki-laki, tetapi sebagai motor penggerak yang membawa misi besar: memerdekakan perempuan melalui pendidikan, kesehatan, dan penguatan kapasitas sosial.

Baca Juga: Mempromosikan Perdamaian Menuju Keadilan untuk Semua

Dari pengajian yang dipimpin Nyai Ahmad Dahlan, para perempuan mulai diajak membaca, berdiskusi, dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara kontekstual. Mereka belajar bahwa ajaran Islam mengakui martabat manusia, menuntut keadilan, dan menekankan pentingnya ilmu pengetahuan, nilai-nilai yang berlaku sama bagi laki-laki dan perempuan.

Ketika sekolah putri Muhammadiyah dibuka, para perempuan muda akhirnya memiliki ruang untuk belajar ilmu pengetahuan modern, mengembangkan keterampilan, dan mempersiapkan diri menjadi penggerak sosial.

Di saat yang sama, program-program untuk kesehatan ibu-anak diperluas, membantu perempuan mendapatkan akses layanan yang sebelumnya sulit dijangkau. Dengan cara yang terstruktur, ‘Aisyiyah menjadi organisasi perempuan Islam modern pertama yang mampu mempertemukan agama, modernitas, dan pemberdayaan sosial dalam satu gerakan.

Relevansi Komitmen Gender Muhammadiyah di Era Kini

Akar historis itu justru semakin relevan hari ini. Meski perempuan kini memiliki akses yang lebih luas, berbagai bentuk ketimpangan masih terjadi: beban domestik yang tidak seimbang, ketidaksetaraan di dunia kerja, kekerasan berbasis gender, dan maraknya pelecehan di ruang digital. Tantangan-tantangan baru ini menuntut respons yang lebih komprehensif.

Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah telah bergerak ke arah itu melalui pendidikan literasi gender, penyusunan panduan keagamaan yang responsif terhadap isu perempuan, pendampingan bagi penyintas kekerasan, serta penguatan kepemimpinan perempuan di ruang publik. Gerakan ini memperlihatkan bahwa komitmen kesetaraan gender bukanlah romantisme masa lalu, melainkan mandat moral yang terus diperbarui.

Menelusuri jejak sejarah Muhammadiyah berarti menemukan keberanian yang sejak awal terpancang kuat: keberanian untuk berpihak pada keadilan, termasuk bagi perempuan. Milad bukan hanya perayaan institusional, tetapi kesempatan untuk menegaskan kembali bahwa laki-laki dan perempuan adalah mitra setara dalam dakwah dan kemanusiaan.

Dengan menghidupkan kembali akar kesadaran gender yang telah diwariskan para pendiri, Muhammadiyah tidak hanya merawat ingatan sejarah, tetapi juga memastikan bahwa gerakan Islam berkemajuan tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman. (sa)

Related posts
Berita

Resepsi Milad ke-113 Muhammadiyah dan ke-98 RS PKU Solo Tekankan Tajdid dan Kepedulian Bencana

Surakarta, Suara ‘Aisyiyah – Resepsi Milad ke-113 Muhammadiyah dan Milad ke-98 rumah sakit PKU Muhammadiyah Surakarta berlangsung meriah di Taman Parkir RS…
Berita

Bazar UMKM Aisyiyah Boyolali Semarakkan Resepsi Milad ke-113 Muhammadiyah

Boyolali, Suara ‘Aisyiyah – Perayaan Milad ke-113 Muhammadiyah di Alun-Alun Kidul Boyolali pada Sabtu (22/11/25) berlangsung meriah dan penuh makna. Acara puncak…
Berita

Dari Pendopo Kecamatan hingga Santunan, Resepsi Milad Muhammadiyah Sukses Digelar

Semarang, Suara ‘Aisyiyah – Peringatan Milad ke-113 Muhammadiyah sukses digelar Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Ngaliyan, Semarang, Jawa Tengah, Ahad (23/11/2025). Kegiatan tersebut…

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *