Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Mengeni rencana penerapan PPN untuk bidang pendidikan, Muhammadiyah dengan tegas menyatakan penolakan. Penolakan tersebut disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, Jumat (11/6). Menurutnya, penerapan PPN di bidang pendidikan tidak sejalan dengan jiwa konstitusi UUD 1945 Pasal 31 Pendidikan dan Kebudayaan.
Haedar menegaskan bahwa organisasi keagamaan yang mempunyai lembaga pendidikan semestinya malah diberi reward atas dedikasi mereka di bidang pendidikan. “Ormas keagamaan seperti Muhammadiyah, NU, Kristen, Katholik, dan sebagainya justru meringankan beban dan membantu pemerintah yang semestinya diberi reward atau penghargaan, bukan malah ditindak dan dibebani pajak yang pasti memberatkan,” ujarnya.
Pemerintah, lanjut Haedar, pada dasarnya merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan bagi bangsa Indonesia sebagaimana amanat konstitusi. Artinya, jika pemerintah tidak menunaikan tanggung jawab tersebut berarti mengabaikan konstitusi.
Baca Juga: Haedar Nashir: Tempatkan Pancasila secara Proporsional
“Jika kebijakan PPN itu dipaksakan untuk diterapkan maka yang nanti akan mampu menyelenggarakan pendidikan selain negara yang memang memiliki APBN, justru para pemilik modal yang akan berkibar dan mendominasi, sehingga pendidikan akan semakin mahal, elitis, dan menjadi ladang bisnis layaknya perusahaan,” tegas Haedar.
Haedar menuturkan bahwa tujuan diadakannya pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Rencana penerapan PPN, lebih-lebih di tengah situasi pandemi Covid-19, masih tertatih-tatihnya pendidikan di daerah 3T, dan beratnya tantangan persaingan di tingkat Asean menurut Haedar bukanlah tindakan bijak. “Di mana letak moral pertanggungjawaban negara atau pemerintah dengan penerapan PPN yang memberatkan itu?” tanya Haedar.
“Para perumus konsep kebijakan dan pengambil kebijakan di Republik ini semestinya menghayati, memahami, dan membumi dalam realitas kebudayaan bangsa Indonesia. Jangan bawa Indonesia ini menjadi semakin menganut rezim ideologi liberalisme dan kapitalisme yang bertentangan dengan konstitusi, Pancasila, dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia… Para perumus dan pembuat kebijakan di negeri ini semestinya menjiwai Konstitusi, Pancasila, dan denyut nadi perjuangan bangsa Indonesia termasuk peran kesejarahan Muhammadiyah dan organisasi kemasyarakatan yang sudah menyelenggarakan pendidikan dan perjuangan bangsa jauh sebelum Republik ini berdiri,” pungkasnya. (sb)