Judul : Dua Menyemai Damai
Penulis : Muhammad Najib Azca, dkk.
Penerbit : PSKP UGM
Tahun : Januari 2019
Halaman : xxxii + 252
ISBN : 978-602-6205-35-3
Sejak berdiri pada 1912, Muhammadiyah sudah membangun hubungan dengan kelompok-kelopok yang berbeda haluan politik, pandangan keagamaan, termasuk berbeda agama. Sebagai contoh, Muhammadiyah pernah menjalin hubungan dengan perkumpulan Ambudi Agama, SATV (Siddiq Amanah Tabligh Vathonah), Ahmadiyah, serta membuka ruang dialog dengan tokoh Kristen dan PKI.
Kedekatan Muhammadiyah dengan berbagai kelompok itu tak lepas dari pribadi Kiai Ahmad Dahlan yang dikenal sebagai sosok yang egaliter, moderat, dan terbuka. Muhammad Najib Azca, dkk. dalam buku Dua Menyemai Damai (2019), menjelaskan, “gagasan apapun dan dari sumber mana pun akan diadopsi sepanjang bermanfaat untuk laju gerakan Muhammadiyah. Sifat-sifat ini akhirnya ikut membentuk karakter organisasi Muhammadiyah, yakni egaliter dan demokratis” (hlm. 44).
Karakter egaliter dan demokratis itu terus dipelihara oleh Muhammadiyah. Ketika terjadi “polemik” Piagam Jakarta, atas nama persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, tokoh perwakilan Muhammadiyah (dan Nahdlatul Ulama) menunjukkan kebesaran hati dengan menyetujui sila pertama Pancasila menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Tak cukup dengan itu. Ketika terjadi gegap gempita akibat pementasan ketoprak dengan lakon “Matine Gusti Allah” oleh sekelompok orang, Pak AR Fachrudin dengan cerdik dan elegan menanggapi kericuhan itu dengan mengadakan pementasan tandingan, yakni pementasan ketoprak dengan lakon “Matine Iblis”.
Masih pada tahun 1965, ketika emosi umat Islam memuncak akibat ulah PKI, Pak AR meminta kader Muhammadiyah untuk tidak terlibat dalam aksi pembantaian. Meski permintaan itu “tidak banyak didengar”, Pak AR tetap kokoh pada pandangannya. Baginya, Islam merupakan agama perdamaian, sehingga ajarannya pun harus disampaikan dengan cara yang damai.
Baca Juga: Menggali Kebijaksanaan dari Pribadi Zuhud Pak AR
Pandangan dan sikap keagamaan yang mengedepankan perdamaian itulah karakter dakwah Muhammadiyah. Dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah poin kelima disebutkan bahwa perjuangan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam hanya akan berhasil dengan ber-ittiba’ pada perjuangan Nabi Muhammad saw”.
Sebagaimana jamak diketahui, oleh Nabi Muhammad, agama Islam disebarkan melalui jalan-jalan perdamaian. Bahkan ketika mendapat perlakuan buruk dan kejam, beliau tetap berpegang pada garis perjuangan dakwah Islam itu.
Dalam QS. ali-Imran [3]: 159, Allah swt. berfirman (yang artinya), “maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu”.
Lebih lanjut, dalam Kepribadian Muhammadiyah poin pertama disebutkan bahwa amal dan perjuangan Muhammadiyah adalah ditujukan untuk perdamaian dan kesejahteraan. Secara konseptual dan praksis gerakan, perdamaian yang disemai Muhammadiyah meliputi berbagai sektor, seperti agama, politik, pendidikan, sosial, lingkungan, serta advokasi kelompok minoritas dan Hak Asasi Manusia.
Baca Juga: Agama, Manusia, dan Kebhinekaan menurut Buya Syafii Maarif
Tidak hanya di lingkup lokal, peran dan kontribusi Muhammadiyah dalam menyemai damai juga dilakukan di lingkup global. Peran perdamaian di lingkup global itu lebih nyata terlihat ketika Muhammadiyah mulai memasuki abad kedua.
“Muhammadiyah berperan aktif dalam proses resolusi konflik dan pembangunan perdamaian di berbagai negara. Misi perdamaian yang diemban Muhammadiyah di kancah regional dan global ini merupakan manifestasi dari Islam rahmatan lil ‘alamin yang diterjemahkan dalam kerja-kerja kemanusiaan yang konkret” (hlm. 104-105).
Secara personal, kader Muhammadiyah yang memainkan peran penting dalam menyemaikan pesan-pesan perdamaian kepada berbagai kelompok, agama, dan warga dunia adalah Buya Syafii Maarif, Din Syamsuddin, Habib Chirzin, Fahd Pahdepie, Siti Ruhaini Dzuhayatin, Yayah Khisbiyah, dan banyak lagi yang lain.
Buku karya Muhammad Najib Azca, dkk. ini menjabarkan banyak peran Muhammadiyah dalam misi perdamaian sejak awal pendirian hingga menginjak usia yang lebih dari seratus tahun. Oleh karenanya, buku ini penting dibaca, lebih-lebih oleh kader Muhammadiyah. (brq)