Oleh: Mu’arif*
Pekajangan pada awal abad XX hanyalah sebuah distrik di bawah Residensi Pekalongan. Dinamika sosial-budaya di kampung ini terjadi seiring dengan pertumbuhan ekonomi di kota Pekalongan. Dari kampung Pekajangan inilah lahir gerakan sosial yang nantinya menjadi cikal-bakal Muhammadiyah yang didirikan pada masa kepemimpinan K. H. Ahmad Dahlan. Posisi Muhammadiyah Pekajangan sangat strategis dalam tinjauan sejarah. Hal ini karena dari Pekajangan pertama kali hadir Cabang Muhammadiyah sebelum berdirinya Cabang Muhammadiyah Pekalongan.
Pekajangan
Pada awal abad XX, kampung Pekajangan yang jadi objek kajian ini memang tidak menarik perhatian banyak orang. Kampung yang terletak di sebelah selatan kota Pekalongan ini sangat terpencil, penduduknya juga tidak banyak. Mata pencaharian utama penduduknya bertani, tetapi hasil panen padi tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi seabad silam ternyata telah berubah setelah Pekajangan menjadi sentra industri kerajinan batik yang pada awal abad XX hanya sebatas mata pencaharian sambilan.
Dalam salah satu versi sejarah Pekajangan disebutkan bahwa nama “Pekajangan” berasal dari kata “Kajangan.” Sumber ini berasal dari R.M. Soediardjo dan Rahmat Q. (1968: 8), yang menyebut “Pekadjangan” sebagai “Ka-djangan.” Meskipun sumber ini tidak memberikan informasi tentang arti “Kadjangan”, tampaknya istilah ini lebih tepat merujuk pada kata “kajang” yang berarti nama kayu yang tumbuh di hutan setempat.
Sejarah gerakan sosial di kampung Pekajangan yang saat ini berada di bawah administrasi Kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan memang tidak dapat dipisahkan dari sejarah gerakan sosial di Kota Pekalongan. Saat ini, Pekalongan masuk dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah dengan ibukota di kota Semarang. Secara teritorial, kota Pekalongan berdekatan dengan Pemalang, Tegal, dan Semarang. Sebagai sebuah kota yang saat ini berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, penduduknya dipastikan menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi sehari-hari. Hanya, bahasa Jawa dialek Pekalongan berbeda dengan bahasa Jawa yang digunakan masyarakat Solo dan Yogyakarta.
Dalam situs resmi pemerintahan Kabupaten Pekalongan yang dirilis pada tanggal 16 November 2011 (http://www.pekalongankab.go.id), wilayah administratif pemerintahan Kabupaten Dati II Pekalongan terdiri dari 19 kecamatan. Masing-masing nama kecamatan di Kabupaten Dati II Pekalongan adalah sebagai berikut: Kandangserang, Paninggaran, Lebakbarang, Petungkriyono, Talun, Doro, Karanganyar, Kajen, Kesesi, Sragi, Siwalan, Bojong, Wonopringgo, Kedungwuni, Karangdadap, Buaran, Tirto, Wiradesa, dan Wonokerto. Kampung Pekajangan berada di bawah administrasi pemerintahan Kecamatan Kedungwuni.
Pekalongan termasuk salah satu kota di pulau Jawa yang memiliki peran strategis dalam peta gerakan politik nasional pada awal abad XX. Gerakan-gerakan sosial di Pekalongan tumbuh subur seiring dengan pertumbuhan ekonomi lewat industri rumah tangga yang menghasilkan produk-produk seperti kain tenun, sarung, batik (batikhandel), dan stagen. Produk-produk tersebut membanjiri pasar domestik di Semarang, Solo, dan Yogyakarta.
Gerakan Sosial
Salah satu cabang Sarekat Islam (SI) yang memegang peran penting dalam dinamika perpolitikan di tanah air adalah SI Cabang Pekalongan. Baik Deliar Noer (1996) maupun Alfian (2010) menempatkan posisi Pekalongan sebagai salah satu kekuatan ekonomi dan politik yang cukup signifikan pada awal abad XX. Pada tahun 1922, SI Cabang Pekalongan dipimpin oleh Tuan Kadool (president) dan R.H. Afandi (penningmeester). Munculnya kelas pengusaha baru dari kalangan pribumi mendapat saluran aspirasi politik ketika SI cabang setempat memainkan peran-peran politik kebangsaan.
Gerakan-gerakan sosial-keagamaan juga turut berkembang seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan dinamika perpolitikan di Pekalongan. Hadirnya kelompok pengajian Nurul Islam yang dirintis oleh Abdul Rasyid (A.R.) Sutan Mansur, seorang perantau asal Minangkabau, menambah dinamika gerakan keagamaan di kota ini. Bahkan, di kemudian hari, A.R. Sutan Mansur menjadi tokoh penting setelah terbentuk kepengurusan Cabang Muhammadiyah Pekalongan (‘Aisyah Rasyid, “Dari Sungai Batang Maninjau” dalam RB. Khatib Pahlawan Kayo dan Bakhtiar, 2009: 24).
Berdasarkan dokumen verslag (laporan resmi) Muhammadiyah tahun 1922 (Soewara Moehammadijah no. 2 Th. ke-3/1922), Tuan Kadool dan R.H. Afandi atas nama SI Cabang Pekalongan telah mengundang Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah di Yogyakarta untuk menghadiri vergadering (pertemuan) SI cabang setempat. Posisi K.H. Ahmad Dahlan pada waktu itu adalah sebagai adviseur Centraal Sarekat Islam (CSI), sedangkan Haji Fachrodin adalah penningmeester (bendahara).
Ketika K.H. Ahmad Dahlan menyampaikan ceramah keagamaan dalam pertemuan SI Cabang Pekalongan, A.R. Sutan Mansur termasuk salah satu dari ratusan peserta yang mendengarkan pengajian. K.H. Ahmad Dahlan dan Haji Fachrodin hadir dalam pertemuan SI cabang Pekalongan dalam konstelasi perpolitikan di tubuh CSI yang sedang memanas dengan masuknya agen-agen Inlandsche Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) yang berhaluan Sosialis-Marxis.
Dalam pertemuan SI Cabang Pekalongan tersebut dicapai kata sepakat untuk membentuk Muhammadiyah Cabang Pekalongan. Akan tetapi, utusan HB Muhammadiyah menyarankan agar tokoh-tokoh di Pekalongan bermusyawarah terlebih dahulu dengan pengurus Muhammadiyah Cabang Pekajangan. Sebab, kepengurusan Cabang Muhammadiyah Pekajangan sudah terlebih dahulu terbentuk sejak 15 November 1922 (besluit no. 13/Pk/15 November 1922). Agar pembagian wilayah kepengurusan lebih jelas, maka tokoh-tokoh di Pekalongan dengan pengurus Cabang Muhammadiyah Pekajangan menggelar vergadering pada 26 November 1922 di Pekajangan. Pembentukan struktur Cabang Muhammadiyah Pekalongan secara resmi pada 26 November 1922 (besluit No. 12/26 November 1922).
Selain SI dan Muhammadiyah, gerakan sosial yang turut mewarnai dinamika perubahan sosial di Pekalo-ngan adalah tarekat Rifa’iyah. Gerakan ini dirintis oleh K.H. Ahmad Rifa’i, seorang tokoh reformis dari Batang pada pertengahan abad XIX. Gerakan ini tumbuh subur di pedesaan-pedesaan di daerah Batang dan Pekalongan. Kelompok tarekat ini sangat keras menentang praktik-praktik budaya kolonial. Dokumen surat Resident Pekalongan tertanggal 31 Juli 1924 memberikan informasi penting seputar gerakan Rifa’iyah yang telah masuk ke pedesaan-pedesaan di kawasan Residensi Pekalongan. Pada sekitar tahun 1920-an, gerakan Rifa’iyah berhasil mendirikan sebuah pondok pesantren di distrik Kedungwuni, Pekalongan (Ahmad Adabi Darban, 2004: 63).
Di samping gerakan SI, Rifa’iyah, dan Muhammadiyah, kota Pekalongan adalah salah satu dari tiga kota pusat pergerakan al-Irsyad. Dua kota lainnya yang menjadi pusat gerakan al-Irsyad adalah Jakarta (dulu Batavia) dan Surabaya. Al-Irsyad didirikan oleh Syaikh Ahmad Surkati pada 1913 (Deliar Noer, 1996: 74). Kepengurusan al-Isryad di Pekalongan dibentuk pada tahun 1915. Sangat menarik dalam hal ini karena kepengurusan al-Irsyad di Pekalongan saling bekerjasama dengan pengurus Muhammadiyah Cabang Pekalongan dalam upaya memajukan umat Islam (PCM Pekajangan, Sejarah dan Perjuangan Muhammadiyah Pekajangan 1922-1995: 3).