Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw. lahir pada Senin 12 Rabiul Awal 571 Hijriyah. Kelahiran Muhammad sebelumnya sudah disinggung oleh nabi sebelumnya, yakni Nabi Isa as., sebagaimana diterangkan dalam Q.S. Shaf ayat 6.
Lahir sebagai yatim, Muhammad kecil dipelihara oleh kakeknya Abdul Muthalib dan pamannya Abu Thalib. Sejak remaja, beliau sudah merasa resah dengan perilaku masyarakat Makkah yang amoral. Berama situasi dan kondisi yang membuat Muhammad remaja resah itulah yang mengantarkannya menjadi pribadi yang amanah dan menjadi percontohan (uswatun hasanah).
Penjelasan itu disampaikan Siti Majidah selaku Anggota Departemen Dakwah PP Nasyiatul ‘Aisyiyah dalam pengajian Indahnya Cahaya Islam dengan tema “Maulid Nabi dalam Perspektif Islam Berkemajuan”. Pengajian ini diselenggarakan oleh Majelis Tabligh PP ‘Aisyiyah mengadakan, Jumat (30/9).
Baca Juga: Asma binti Abu Bakar: Perempuan Salehah di Balik Keberhasilan Hijrah Nabi Muhammad
Menurut Majidah, peringatan maulid Muhammad berada di wilayah ijtihadiyah. Oleh karena itu, Muhammadiyah menilai tidak ada perintah atau larangan bagi seorang muslim untuk menjalankannya. “Jadi di situ tidak ada dalil tentang kewajibannya dan tidak ada dalil pula tentang larangannya,” terangnya.
Meskipun demikian, dalam pandangan Muhammadiyah, ada beberapa ketentuan yang mesti diperhatikan ketika hendak memperingati maulid Muhammad. Ketentuan-ketentuan itu adalah: pertama, tidak mencampuradukkan dengan perkara bidah; kedua, tidak memuji Nabi hingga berlebihan; ketiga, tidak menjurus kepada kemusyrikan, dan; keempat, mempunyai nilai kemaslahatan.
“Usahakan bahwa hal yang kita lakukan ketika memperingati (maulid, -red) Rasulullah saw. itu membawa dampak positif bagi masyarakat kita, membawa kemaslahatan bagi anak muda, bagi anak kecil, bagi masyarakat, atau bagi keluarga kita,” ujar Majidah. (sb)