
Muhammadiyah
Benarkah Muhammadiyah anti kebudayaan? Benarkah Muhammadiyah anti takhayul, bidah, dan khurafat? Benarkah Muhammadiyah identik dengan gerakan Wahabi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut masih saja menggema, bahkan ketika usia Muhammadiyah sudah lebih dari satu abad.
Tulisan ini menyajikan argumen historis yang akan membuktikan bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi sosial-keagamaan yang kaku dan eksklusif seperti yang dituduhkan sebagian pihak. Bahwa Muhammadiyah melakukan purifikasi ajaran Islam adalah benar, tetapi yang patut diingat adalah Muhammadiyah juga melakukan upaya dinamisasi.
***
Secara historis, Muhammadiyah lahir di tengah kultur masyarakat Islam-Jawa. Pada waktu itu, terdapat beberapa kebudayaan Jawa yang memuat konsep dan kepercayaan yang kurang sesuai dengan ajaran Islam. Konsep dan kepercayaan itulah yang berusaha “diluruskan” oleh Muhammadiyah.
Meski begitu, tidak benar jika dikatakan Muhammadiyah anti kebudayaan Jawa. Ketika memberi testimoni atas buku Muhammadiyah Jawa karya intelektual muda Muhammadiyah Ahmad Najib Burhani, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyampaikan dua kesimpulan penting.
Pertama, Muhammadiyah bukan gerakan sosial-keagamaan yang ekstremis-eksklusif, tetapi puritan-inklusif. Kedua, agenda pemurnian Muhammadiyah tidak dilakukan dengan gerakan konfrontatif. Bahkan, konsep kebudayaan yang bersifat positif dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam diakomodasi dengan sangat baik oleh Muhammadiyah.
Baca Juga: Kiai Ahmad Dahlan Memakai Gamis
Argumen sejarah apa yang dapat membuktikan tesis tersebut? Pertama, profil Kiai Ahmad Dahlan. Sejak tahun 1896, Kiai Ahmad Dahlan memegang peran sebagai seorang ketib amin. Tugasnya adalah memimpin beberapa upacara yang diadakan Keraton Yogyakarta, seperti Garebek Mulud (upacara peringatan kelahiran Nabi Muhammad) dan Garebek Besar (upacara peringatan kelahiran raja).
Argumen tersebut sekaligus menjadi dalil bahwa Muhammadiyah tidak melarang peringatan Maulid Nabi Muhammad. Bagaimana dengan hadits larangan memberi penghormatan kepada Nabi Muhammad secara berlebihan? Dan bukankah Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh para salafus shalih?
عن عمر يقول: سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول:لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم فإنما أنا عبده، فقولوا عبد الله ورسوله (رواه البخارى و مسلم)
Artinya, “diriwayatkan dari Umar ra., ia berkata: aku mendengar Nabi saw. bersabda: janganlah kamu memberi penghormatan (memuji/memuliakan) saya secara berlebihan, sebagaimana orang Nasrani yang telah memberi penghormatan kepada Isa putra Maryam. Saya hanyalah seorang hamba Allah, maka katakan saja hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Apakah hadits tersebut dapat dijadikan hujjah pelarangan memperingati Maulid Nabi Muhammad? Dalam pandangan Muhammadiyah, tidak ada dalil yang secara spesifik melarang peringatan maulid. Pun demikian sebaliknya, tidak ada dalil yang secara spesifik membolehkan peringatan maulid. Atas dasar itu, Muhammadiyah menganggap peringatan Maulid Nabi sebagai persoalan ijtihadiyah.
Kedua, Muhammadiyah hadir bukan sebagai antitesis kebudayaan Jawa. Kehadiran Muhammadiyah di tengah pentas peradaban adalah untuk mewujudkan masyarakat madani yang berlandaskan spirit ajaran Islam.
Baca Juga: Muhammadiyah Berkemajuan Sejak Dahulu
Sebagaimana dikutip Najib Burhani (2016, 85), peneliti Muhammadiyah dari Jepang Mitsuo Nakamura menyatakan, “Islam reformis bukanlah antitesis budaya Jawa, melainkan bagian integral darinya, dan apa yang telah para reformis perjuangkan adalah, boleh dikatakan, menyaring intisari murni Islam dari tradisi-tradisi budaya Jawa”.
Di bawah kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan, Muhammadiyah tidak pernah berkonfrontasi dengan kebudayaan Jawa, lebih-lebih yang mengandung nilai luhur. Gaya dakwah Muhammadiyah tidak seperti Martin Luther di Barat yang konfrontatif, dan tidak pula seperti Muhammad bin Abdul Wahab di Timur Tengah yang ekstremis.
Ketiga, orientasi gerakan Muhammadiyah awal adalah memajukan kehidupan bangsa melalui aktivitas sosial dan memperbaiki moral umat melalui aktivitas keagamaan. Argumen historis yang dijabarkan Najib Burhani menunjukkan bahwa Muhammadiyah sangat terbuka dan akomodatif terhadap suatu kebudayaan, selama tidak bertentangan dengan nilai keagamaan dan visi kemajuan.
Di antara produk kebudayaan yang diakomodir dan diapresiasi Muhammadiyah adalah perihal perilaku, bahasa, dan busana. Bahkan dalam beberapa kali kesempatan muktamar, Muhammadiyah menggelar pertunjukan wayang dan kesenian Jawa lainnya.
Baca Juga: Dakwah Moderasi Islam Muhammadiyah-’Aisyiyah
Ya. Muhammadiyah tidak menerima begitu saja budaya Jawa. Najib Burhani menulis, “Muhammadiyah berupaya melemahkan sebagian unsur kuno budaya Jawa dan merasionalkan dan memodernkan sebagian unsur lainnya. Sikap memimpikan masa lalu, yang banyak dimiliki masyarakat Jawa, digantikan dengan aktivisme. Muhammadiyah juga berupaya menyederhanakan simbolisme berlebihan dalam masyarakat Jawa, dan mengganti ketergantungan orang Jawa pada roh-roh dengan tauhid” (hlm. 108).
Lantas, kenapa ada warga Muhammadiyah anti terhadap budaya? Pergeseran sikap sebagian warga Muhammadiyah yang awalnya mengakomodasi budaya menjadi “antipati” terhadap budaya jelas didasarkan pada argumen ahistoris. Oleh karenanya, penting melakukan pembacaan terhadap sejarah Muhammadiyah secara lebih teliti agar tidak terjadi kesalahpahaman pada spirit dan karekter gerakan Muhammadiyah. (brq)