Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Sebelum Indonesia merdeka, Muhammadiyah telah berkhidmat untuk umat dan bangsa. Pengkhidmatan itu terus berlangsung hingga kini. Pernyataan itu disampaikan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Saad Ibrahim dalam Pengajian Tarjih PP Muhammadiyah yang digelar secara daring pada Rabu (9/6).
Menurut Saad, dalam pandangan Muhammadiyah, NKRI berdasarkan Pancasila adalah sesuatu yang sudah final. Adapun munculnya gagasan Muhammadiyah tentang darul ahdi wa asy-syahadah, kata dia, adalah lebih karena muncul paham-paham yang ingin mengubah NKRI dengan berbagai konsep kenegaraan yang berseberangan arah dengan Pancasila. “Sekadar penegasan pada apa yang telah dilakukan Muhammadiyah terkait dengan NKRI ini,” ujarnya.
Muhammadiyah juga tidak banyak mewacanakan Pancasila, termasuk dengan ungkapan NKRI harga mati, dan sebagainya. Menurut Saad, Muhammadiyah tidak dalam posisi sekadar mewacanakan dan mendiskusikan Pancasila, tetapi sudah, sedang, dan akan terus mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara secara positif sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Beragam amal usaha yang dimiliki Muhammadiyah merupakan bukti bahwa organisasi yang didirikan Kiai Ahmad Dahlan pada 1912 ini telah mengisi kehidupan umat dan bangsa Indonesia dengan beragam amal salih. Amal usaha itu, kata Saad, tidak hanya diperuntukkan bagi warga Muhammadiyah saja, tetapi juga mencakup umat Islam dan umat beragama lain tanpa pandang bulu.
Baca Juga: Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Was Syahadah
Lebih lanjut, dalam konteks kenegaraan, mengutip kitab al-Ahkam as-Sulthaniyah karya al-Mawardi, Saad Ibrahim menjelaskan bahwa kekuasaan politik adalah al-imamah. Oleh al-Mawardi, al-imamah diartikan sebagai maudhu’atun li khilafatin nubuwah fi hirasati ad-din wa siyasati ad-dunya, yang berarti kekuasaan yang diadakan untuk meneruskan misi kenabian. Misi kenabian itu adalah menjaga eksistensi agama dan mengendalikan urusan dunia.
“Maka dalam konteks ini, bertemulah misi kenabian tersebut dalam Pancasila kita. Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama dan menempati posisi yang tertinggi. Maknanya, tidak boleh sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima, Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pengganti Undang-Undang, peraturan yang dibuat oleh pemerintah baik pusat maupun daerah berlawanan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, berlawanan dengan Pancasila,” tegas Saad.
Saad lantas mengusulkan agar ke depan warga Muhammadiyah tidak perlu terlalu banyak mewacanakan Pancasila dan/atau darul ahdi wa asy-syahadah, tetapi lebih jauh dari itu adalah melaksanakan nilai-nilainya dengan konsisten, bahkan turut terlibat dalam upaya membangun dan memajukan negara. (sb)