KajianKalam

Muharam Mari Berbenah

Oleh: Ika Sofia Rizqiani

Bulan telah berganti, kisah lama (sejarah) dapat dibuka kembali. Bulan Muharam seharusnya bisa mengingatkan kita tentang persiapan perjalanan panjang hijrah Rasulullah Saw. dan para sahabat untuk menyebarluaskan Islam. Dari sanalah awal mula disebutnya tahun Hijriyah, karena bertepatan dengan persiapan perjalanan hijrah dari Makkah menuju Madinah pada tahun 622 Masehi.

Awal tahun Hijriyah ditetapkan pada bulan Muharam ketika Umar bin Khattab ra menjadi khalifah, meskipun hijrah Rasulullah Saw. dan para sahabat terjadi pada bulan Rabiulawal. Alasannya, karena bulan Muharam jatuh setelah Bulan Zulhijah, yakni bulan di mana diwajibkannya ibadah haji yang merupakan akhir dari lima rukun Islam dan bulan persiapan awal hijrah.

Riwayat Al-Hafiz Ibnu Hajar yang merujuk pada Muharam untuk menjadi awal tahun Hijriyah.  Ibnu mengatakan demikian dalam kitab Fath Al-Bari: “Para sahabat mengakhirkan awal Hijriyah dari Rabiul Awal ke Muharram karena awal niat hijrah adalah pada Muharram, karena baiat adalah pada bulan Dzulhijjah yang merupakan awal dari hijrah, maka bulan pertama yang digunakan setelah ikrar dan tekad untuk hijrah adalah bulan Muharram, maka sudah sepatutnya untuk memulainya.

Bulan Muharam merupakan pembuka bagi tahun Hijriyah. Kata Muharam memiliki arti “dilarang”. Sebelum Islam datang, bulan tersebut telah dikenal sebagai bulan yang diagungkan oleh masyarakat Arab jahiliyah. Bulan Muharam adalah bulan yang amat mulia, karena pada bulan ini peristiwa besar terjadi.

Berikut kisah-kisah besar yang terjadi pada bulan Muharam: (1) Allah menerima taubat Nabi Adam, (2) Kapal Nabi Nuh berlabuh di Bukit Zuhdu, (3) Nabi Ibrahim selamat dari siksa Namrud, (4) Bebasnya Nabi Yusuf dari penjara, (5) Nabi Yunus selamat dari perut ikan besar, (6) Allah sembuhkan penyakit Nabi Ayyub, (7) Nabi Musa dan umatnya selamat dari Firaun.

Mitos Bulan Pembawa Sial

Masyarakat di wilayah Indonesia khususnya di daerah Jawa menganggap bulan Muharam atau yang mereka kenal sebagai bulan Sura adalah bulan keramat. Pada waktu-waktu tersebut, mereka menghentikan segala aktifitas besar seperti hajatan atau perjalanan jauh, karena mereka meyakini akan terjadi hal nahas atau sial. Tak terkecuali dengan dihindari oleh pasangan yang hendak menikah. Menurut klaim mereka, pasangan yang melangsungkan pernikahan di bulan Muharam kerap mendatangkan keburukan bagi keberlangsungan rumah tangga.

Budaya ini sudah mengakar sebagai warisan nenek moyang. Meyakini adanya hari atau bulan yang sial merupakan bentuk celaan terhadap Allah sebagai pencipta waktu (masa). Rasulullah Saw. bersabda, “Janganlah kalian mencela masa, karena sesungguhnya Allah adalah masa.” (HR. Ahmad Sahih No. 9972)

Allah adalah pencipta waktu, mencela ciptaan Allah berarti sama saja dengan mencela Penciptanya. Rasulullah Saw. bersabda, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Anak Adam telah menyakiti-Ku dia suka mencela masa. Padahal Aku pencipta masa. Akulah yang menggilir siang dan malam.” (HR. Muslim Sahih No. 4166)

Hari, bulan, dan tahun semuanya Allah ciptakan baik, tidak ada yang buruk apalagi membawa sial. Sesungguhnya, hal-hal buruk yang ada adalah takdir Allah dan tentunya tidak akan diketahui manusia kecuali setelah terjadi, semuanya atas kehendak Allah yang Maha Tahu Segala. Mengkambinghitamkan waktu sebagai penyebab kesialan adalah kebiasaan masyarakat Arab Jahiliyah.

Amalan Bulan Muharam Menurut Muhammadiyah

Bulan Muharam adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah Islam. Nama Muharam berasal dari kata “haram”, yang berarti suci atau terlarang, menunjukkan bahwa bulan ini dihormati dengan larangan perang.

Dalam Al-Quran, Surat At-Taubah ayat 36, Muharram termasuk dalam empat bulan suci (arba’atun hurum) bersama Zulqa’dah, Dzulhijjah, dan Rajab. “Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) ketetapan Allah (di Lauh Mahfuz) pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu padanya (empat bulan itu), dan perangilah orang-orang musyrik semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.

Di bulan ini, umat Islam diperintahkan untuk melakukan berbagai amalan ibadah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Salah satu momen penting dalam bulan Muharram adalah puasa pada hari ke-10, disebut ‘Asyura, yang disyariatkan sebelum wajibnya puasa Ramadhan. Amalan ini dianjurkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, sesuai dengan ajaran yang terkandung dalam hadis-hadis yang menggambarkan praktik puasa tersebut. Berikut amal di bulan Muharam menurut Muhammadiyah:

  1. Puasa Asyura

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik puasa setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim).

Puasa Asyura adalah puasa yang diwajibkan pertama kali dalam Islam sebelum bulan Ramadhan. Menurut Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Suatu ketika, di pagi hari Asyura, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan, ‘Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.’ Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Setelah Allah wajibkan puasa Ramadhan, puasa Asyura menjadi puasa sunnah. Aisyah radliallahu ‘anha mengatakan, “Dulu hari Asyura dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakan puasa Asyura dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadhan, beliau tinggalkan hari Asyura. Siapa yang ingin puasa Asyura boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura boleh tidak puasa.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).

Manfaat puasa Asyura yakni sebagai penebus dosa setahun yang lalu. Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura’ menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad).

Ibnul Qayim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan:

  • Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyura, dan sehari setelahnya.
  • Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadis.
  • Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja. (Zadul Ma’ad, 2/72)

 

  1. Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)

Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah diwafatkan.” (HR. Al Bukhari).

Demikianlah amalan bulan Muharram menurut Muhammadiyah. Semoga kita dipermudah untuk beribadah di bulan Muharram.

Muharam dan Esensi Hijrah

Mari berlomba-lomba meraih pahala di bulan yang dimuliakan, lalu bergegas untuk berhijrah dari kebiasaan beribadah ala kadarnya menjadi sepenuh jiwa dengan berusaha memahami Islam yang sempurna. Sebab, tak ada jaminan perihal hari esok untuk dapat kembali menemukan masa di dunia. Maka, kesempatan berharga jangan sampai dibiarkan berlalu dan sia-sia.

Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung, (dan) barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin dialah tergolong orang yang merugi dan bahkan, barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin dialah tergolong orang yang celaka.” (HR Al Hakim)

Semoga tahun baru ini menjadi langkah kita untk memulai kebaikan kebaikan selanjutnya, lebih baik, lebih produktif, dan lebih meningkat kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Rabb semesta alam. (-lsz)

*Penulis adalah Dosen Al Islam dan Kemuhammadiyahan di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sukabumi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *