Qaryah Thayyibah

Musala Aisyiyah Karangkajen Melintas Waktu

Musala Aisyiyah Karangkajen

Di sudut perempatan jalan kampung yang sibuk, berdiri kokoh musala yang diperuntukkan khusus untuk kaum hawa. Bangunan sederhana itu memainkan peran sebagai oase spiritual bagi perempuan yang tinggal di sekitarnya. Pohon mangga yang tumbuh di sisi kiri musala menambah syahdu suasana. Dedaunannya memberikan naungan sejuk di bawah terik sang surya.

Tidak sulit menandai keberadaan musala yang berdiri sejak tahun 1937 itu. Papan nama besar bertuliskan “Musholla ‘Aisyiyah Ranting Karangkajen” mencerminkan identitas yang tidak bisa dirampas oleh waktu. Ia juga menjadi saksi bisu perjalanan dan tekad manusia yang terus berlalu.

Musala dan Pemberdayaan

‘Aisyiyah merupakan organisasi yang memelopori berdirinya musala khusus perempuan. Pendirian musala perempuan ini merupakan bagian dari cita-cita Kiai Ahmad Dahlan untuk memberi ruang bagi perempuan untuk beribadah dan beraktivitas. Bagi Kiai Dahlan, sebagaimana laki-laki, perempuan punya hak untuk memajukan kehidupan umat dan masyarakat.

Berdasarkan catatan Suratmin (1990), musala perempuan pertama berdiri di Kauman, Yogyakarta pada tahun 1922. Disusul kemudian pada tahun 1926 di Garut, Jawa Barat dan di Karangkajen, Yogyakarta pada tahun 1937. Musala tidak hanya menjadi tempat bagi perempuan untuk khusyuk beribadah, tapi juga ruang untuk menuntut ilmu dan beramal sosial.

Dimensi spiritual, intelektual, dan sosial itulah yang terus dipertahankan oleh musala ‘Aisyiyah Karangkajen. Ia menjadi pusat syiar kegiatan warga ‘Aisyiyah di wilayah Karangkajen, Kalurahan Brontokusuman, Kemantren Mergangsan, Kota Yogyakarta.

***

Sore itu, ketika Suara ‘Aisyiyah melakukan kunjungan, Pimpinan Ranting ‘Aisyiyah (PRA) Karangkajen sedang membagikan beras dan seamplop uang kepada 45 lansia dan kaum duafa. Rohaniyati, Ketua Majelis Kesejahteraan Sosial menyampaikan bahwa pembagian itu rutin dilakukan setiap bulan pada tanggal dua belas.

Sebelum pandemi Covid-19, pembagian beras dan uang itu disertai pemeriksaan kesehatan  gratis dengan tujuan melakukan deteksi dini kesehatan masyarakat. “Setelah pandemi belum diadakan lagi,” kata dia, Senin (12/6/23).

Kegiatan lain yang rutin diadakan adalah tadarus al-Quran bakda Magrib sampai menjelang Isya dan buka bersama tiap Kamis –yang diawali kultum singkat dan dilanjutkan membaca surat al-Kahfi bakda Isya. Musala perempuan ini punya jamaah tetap sekira 20 orang. Di bawah koordinasi PRA Karangkajen, para jamaah bergantian menjadi donatur menu buka bersama.

Siti Sofiyah dari Majelis Tabligh menerangkan bahwa Musholla ‘Aisyiyah Ranting Karangkajen juga menjadi tuan rumah pengajian yang diadakan Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (PCA) Mergangsan setiap tiga bulan sekali, tepatnya pada Jumat Kliwon. Sebelum pengajian dimulai, jamaah yang datang dari penjuru Kemantren Mergangsan itu berkesempatan melakukan pemeriksaan kesehatan (kolesterol, gula darah, asam urat).

Pemeriksaan kesehatan ini diadakan melalui kerja sama dengan Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta sejak dua tahun terakhir. “Ada tetangga yang bekerja di Unisa,” ujar Wakil Ketua PRA Karangkajen, Heni Astuti menjelaskan muasal jalinan kerja sama antara PRA Karangkajen dengan Unisa Yogyakarta.

Runtuh, Lalu Kembali Tumbuh

Sabtu pagi 27 Mei 2006, Daerah Istimewa Yogyakarta diguncang gempa bumi tektonik berkekuatan 5,9 skala Richter. Musholla ‘Aisyiyah Ranting Karangkajen yang berada di jalur gempa itu runtuh rata dengan tanah. Yang tersisa dari bangunan lama itu hanyalah mustaka yang dilekatkan di puncak atap musala.

Runtuhnya bangunan musala tidak membuat semangat masyarakat sekitar berhenti tumbuh. Dengan swadaya masyarakat, musala perempuan itu kembali dibangun. Musholla ‘Aisyiyah Ranting Karangkajen kembali hadir dengan tampilan baru tanpa melupakan fungsi spiritual, intelektual, dan sosialnya.

Ketua PRA Karangkajen, Chafsoh mengatakan bahwa praktik baik yang ia dan kawan-kawan lakukan adalah upaya melanjutkan jejak pengabdian pimpinan ‘Aisyiyah generasi sebelumnya. Selagi praktik baik itu bisa konsisten dilakukan –syukur-syukur bisa ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya–, ia dan kawan-kawan sudah merasa cukup. (sirajuddin)

Related posts
Lensa OrganisasiSejarah

Di Mana Aisyiyah Ketika Masa Revolusi Indonesia?

Oleh: Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi* Tahun ini, Indonesia telah memasuki usia yang ke-79. Hal ini menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan para pendahulu…
Berita

107 Tahun Aisyiyah, Perkuat Komitmen Menjawab Berbagai Problem Kemanusiaan Semesta

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Mengusung tema “Memperkokoh dan Memperluas Dakwah Kemanusiaan Semesta” ‘Aisyiyah  akan memperingati miladnya yang ke-107 tahun pada 19 Mei…
Berita

Tri Hastuti Dorong Warga Aisyiyah Kawal Demokrasi di Indonesia

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Menghadapi momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, banyak pertanyaan dari warga ‘Aisyiyah menyangkut pilihan dan keberpihakan ‘Aisyiyah. Sekretaris Umum…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *