Oleh: Hajriyanto Y. Thohari
Akhir-akhir ini saya menyaksikan di Muhammadiyah mulai menunjukkan geliatnya di bidang kesenian. Di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), misalnya, gerakan modernisme Islam yang lahir tahun 1912 ini, mendirikan Sang Surya Philharmonic Orchestra yang lumayan prestisius. Orkestra itui kini menjadi satu-satunya yang dimiliki Muhammadiyah setelah lebih dari satu abad usianya. Sungguh menjadi fenomena yang sangat menarik untuk dicermati.
Apalagi pada saat yang hampir bersamaan, Muhammadiyah pada tingkat menengah juga mendirikan Muhammadiyah Chambers Bamboo Orchestra di SMK Muhammadiyah Cikampek, serta Jawa Barat. Demikian pula halnya dengan Angklung Wahana Indonesia Orchestra yang didirikan di SMA Muhammadiyah Cipanas, Cianjur, juga di Jawa Barat.
Kalau sekadar paduan suara (Choir) saya rasa hampir semua sekolah, perguruan tinggi, dan rumah sakit Muhammadiyah memilikinya. Ada grup paduan suara yang digarap seadanya dan hanya dipersiapkan jika menghadapi acara-acara tertentu saja, tetapi ada juga yang dikelola dengan sangat bersungguh-sungguh secara berkesinambungan.
Dalam hal ini, lagi-lagi, UMY mempunyai Paduan Suara Mahasiswa Sun Shine Voice (disingkat PSM SSV) dan Drum Corps yang beberapa kali berhasil menjuarai perlombaan tingkat internasional. Pada tahun 2018, PSM SSV meraih medali emas dalam Taipei International Choral Competition (TICC), di Taipei, Taiwan. PSM SSV juga memperoleh posisi yang terhormat dalam Thailand Grand Prix UCP di Bangkok pada tahun 2015. PSM SSV juga menggelar konser tunggal tahun 2010 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Jakarta, juga memiliki paduan suara Uhamka Choir yang lumayan membanggakan. Demikian juga Institut Teknologi Bisnis Ahmad Dahlan (ITB AD): mempunyai Paduan Suara Walidah yang membanggakan.
Baca Juga: Dialektika Seni dan Agama dalam Islam
Sementara kesenian marching band di Muhammadiyah mungkin saking banyaknya sulit untuk dihitung jumlahnya: laksana butir-butir pasir di laut saja. Sudah sangat biasa sekolah-sekolah Muhammadiyah dari tingkat Bustanul Athfal sampai perguruan tinggi mempunyai marching band atau drumband corp dari yang peralatannya sederhana sampai yang lumayan canggih. Sudah biasa pula mereka mengikuti berbagai macam perlombaan atau Grand Prix di tingkat lokal, nasional, dan internasional dengan prestasi yang menggembirakan.
Bagaimana dengan seni teater? Di bidang ini Muhammadiyah pernah melahirkan nama-nama besar seperti Mohammad Diponegoro dengan Teater Muslim-nya, Arifin C. Noer dengan Teater Kecil-nya, Chairul Umam, H. Misbach Yusa Biran, dan lain-lainnya. Hanya saja sejak beberapa dasawarsa terakhir kesenian teater kurang berkembang dengan baik di Muhammadiyah, bahkan kini kesannya semakin menjadi barang langka di organisasi yang punya kecenderungan makin puritan ini.
Tetapi, sebentar dulu, lagi-lagi kita masih bisa beryukur: UMY masih memiliki Teater Tangga, yang sesekali masih pentas juga. Demikian halnya dengan Teater Kumis di bawah naungan Institut Teknologi Bisnis Ahmad Dahlan (ITB AD). Teater Kumis malah beberapa kali memenangkan penghargaan dalam Festival Teater Jakarta.
Apa yang diungkapkan di atas adalah gambaran selintas saja perkembangan kesenian yang masih hidup dan berkembang di Muhammadiyah. Sependek yang saya ketahui begitulah data dan informasi yang dapat penulis kumpulkan.
Saya berharap sekali Sang Surya Philharmonic Orchestra menjadi awal “musim semi” perkembangan kesenian Muhammadiyah. Banyak di antara kita bahkan berharap lebih daripada itu: Sang Surya Philharmonic Orchestra ini akan mampu menjadi penggerak dan pendorong kesenian Muhammadiyah di seluruh persada Indonesia. Jika hal ini dapat dilakukan maka “musim semi” kesenian Muhammadiyah (Muhammadiyah Spring) benar-benar akan membawa kemajuan kesenian kita.
Cabang-cabang paduan suara yang berkembang di berbagai amal usaha Muhammadiyah dapat mengikuti jejak pengembangan Sang Surya Philharmonic Orchestra. Saya yakin di bawah kordinasi Lembaga Seni Budaya yang tangguh sebagai dirigen atau conductor-nya, pengembangan kesenian dalam Muhammadiyah laksana orchestra akan mendapatkan bentuk dan momentumnya. Dengan satu sentuhan managerial yang bagus dan modern serta didorong oleh semangat Islam yang berkemajuan, kesenian sebagaimana tampak dalam pendirian orchestra tersebut dijamin akan segera berkembang dan melesat di langit Indonesia raya ini.
Kesenian Modern dan Tradisional
Satu hal saja yang mesti diperhatikan adalah pentingnya keseimbangan antara kesenian yang modern dan yang tradisional. Melihat beberapa cabang kesenian yang dikembangkan Muhammadiyah sebagaimana tersebut di atas tampak sekali berorientasi modern dan kebarat-baratan. Orchestra dan Choir, atau dalam batas-batas tertentu marching band, adalah kesenian Barat modern. Mungkin dalam kecenderungan ini ada bias Muhammadiyah sebagai gerakan modernisme. Sebagai gerakan modernis, kesenian yang dikembangkan Muhammadiyah tanpa disadari ternyata juga kesenian modern pula, itupun moderen dalam pengertian Barat. Jadi, ada kecenderungan westernisasi Muhammadiyah dalam berkesenian.
Tentu tidak ada yang salah Muhammadiyah mengadopsi genre kesenian Barat, bukankah Kepanduan Hizbul Wathan (HW) yang didirikan oleh Ahmad Dahlan dulu juga “meniru” kepanduan Barat? Demikian juga halnya dengan sistem pendidikan dan pengajaran klasikal yang dipelopori oleh Muhammadiyah: juga diadopsi dari sistem pendidikan Barat. Rupanya Barat masih menjadi simbol kemajuan dan kemodernan yang dianut oleh Muhammadiyah, sebagaimana juga tercermin dalam doktrin Islam Berkemajuan.
Baca Juga: Siti Harmunah: Seniman ‘Aisyiyah Berdedikasi Tinggi
Hanya sayangnya Muhammadiyah masih belum merasa tertarik untuk juga mengembangkan kesenian tradisonal sebagaimana juga telah disinggung di atas agar lebih berseimbangan. Alih-alih Muhammadiyah hanya mementingkan kesenian modern dan mengabaikan kesenian tradisional. Di satu pihak Muhammadiyah menolak kesenian tradisonal, seperti wayang, barzanji, dan sebagainya, tetapi di pihak lain mengembangkan paduan suara dan orchestra yang sangat Barat (western), bahkan sedikit beraroma kesenian liturgis sebagaimana yang dipraktekkan di gereja-gereja.
Maka agar tidak terjebak dalam modernisme yang kebarat-baratan, dan juga agar lebih berkesimbangan, Muhammadiyah harus juga mengembangkan kesenian tradisional secara selektif. Saya bersetuju bahwa dalam mengembangkan kesenian, Muhammadiyah harus bersikap eklektif (terbuka) sekaligus selektif. Tetapi sikap eklektik dan selektif ini harus adil: dilakukan baik terhadap kesenian modern maupun kesenian tradisonal.
Sungguh tidak adil kalau Muhammadiyah hanya kritis dan selektif terhadap kesenian yang tradisional belaka. Tidak semua kesenian yang terakhir ini mengandung elemen-elemen bid’ah (heretic), takhayul, khurafat (mytis), dan musyrik (polytheis).