
Sc: CNBC Indonesia
Oleh: Lia Siswati*
Pada awal Desember 2023 telah beredar di media sosial Facebook sebuah unggahan yang mengabarkan adanya virus baru bernama pneumonia yang melonjak di Cina. Pernyataan tersebut adalah tidak benar. “Virus baru pneumonia” yang dimaksud sebenarnya adalah bakteri Mycoplasma pneumonia yang daya atau virtulensi penularannya jauh lebih rendah daripada Covid-19. Hal tersebut dapat diketahui dari perbedaan penyebab atau patogennya. Mycoplasma termasuk bakteri sedangkan Covid-19 penyebabnya adalah virus SARS-CoV-2. Kemunculan Mycoplasma pneumonia sesudah Cina dan dunia lepas dari pandemi Covid-19 rupanya telah membuat sebagian pihak mengaitkannya dengan virus berbahaya itu.
Mycoplasma terbaru ini terutama menyerang anak-anak karena kekebalan mereka lebih lemah dibandingkan orang dewasa. Lonjakan penyakit pneumonia akibat serangan Mycoplasma terjadi pada musim dingin pertama sejak Cina mencabut pembatasan ketat terkait penyebaran virus korona yang telah berlaku sejak 2020.
Cina membagikan data tentang lonjakan tersebut kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) atas permintaan lembaga tersebut. Para ahli WHO menyimpulkan bahwa alih-alih munculnya patogen yang tidak diketahui seperti yang ditakutkan masyarakat, kesenjangan imunitas yang diciptakan oleh pandemi inilah yang memicu klaster tersebut. Dokter spesialis anak di RS Cipto Mangunkusumo, dr. Nastiti Kaswandani, menegaskan bahwa tingkat fatalitas dan keparahan akibat bakteri Mycoplasma pneumoniae lebih rendah dibandingkan tingkat fatalitas karena Covid-19.
Tingkat keparahan maupun mortalitas (kematian) akibat Mycoplasma pneumoniae adalah 0,5 sampai 2 persen, itu pun terjadi pada mereka yang memiliki komorbiditas. Hal serupa dinyatakan oleh Badan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI. Menurut lembaga ini angka kematian infeksi pneumonia akibat bakteri Mycoplasma pada anak terbilang sedikit. Pneumonia ini sering disebut sebagai walking pneumonia karena gejalanya cenderung ringan. Tidak semua penderitanya perlu menjalani rawat inap di rumah sakit. Mereka yang mengalami gejala ringan cukup menjalani rawat jalan.
Faktor Risiko dan Penyebab Pneumonia
Menurut UNICEF/WHO, pneumonia adalah penyakit radang paru-paru. Penyakit ini terjadi akibat infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah yang secara spesifik berdampak pada paru-paru dan menyebabkan area tersebut dipenuhi oleh cairan, lendir, atau nanah. Kondisi ini bisa membuat pasien mengalami kesulitan bernapas. Pneumonia ini dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, atau jamur.
Pneumonia lebih rentan menyerang anak kecil, orang lanjut usia, dan mereka yang memiliki kondisi medis tertentu atau yang disebut komorbid. Kategori orang yang paling berisiko terkena pneumonia adalah perokok aktif, orang yang memiliki riwayat strok, bayi berusia 0-2 tahun, orang lansia di atas 65 tahun, pengguna obat-obatan tertentu yang menyebabkan masalah pada sistem imun seperti steroid, pengonsumsi antibiotik dalam jangka panjang, orang yang memiliki riwayat asma, gagal jantung, diabetes, HIV/AIDS, cystic fibrosis, dan penyakit kronis lainnya, atau sedang menjalani kemoterapi.
Sistem kekebalan tubuh mereka yang berada dalam kondisi tersebut menurun sehingga virus dan bakteri mudah menyerang mereka. Pneumonia bisa disebabkan oleh infeksi virus, bakteri, dan jamur. Pada golongan orang dewasa, penyebab pneumonia paling sering terjadi karena bakteri. Selain itu, pneumonia juga bisa disebabkan oleh infeksi virus SARSCoV-2 atau yang dikenal dengan sebutan virus korona penyebab Covid-19. Dibandingkan dengan kondisi lainnya, pneumonia akibat infeksi virus korona jauh lebih berbahaya.
Gejala Pneumonia
Pada dasarnya, gejala pneumonia hampir sama dengan masalah paruparu lainnya seperti batuk dengan intensitas tinggi dan disertai pengeluaran secret atau dahak. Merujuk pada Mayo Clinic, beberapa gejala umum yang muncul saat seseorang mengalami pneumonia adalah demam tinggi, suhu tubuh mencapai lebih dari 38 derajat celcius, dada terasa sakit dan sulit bernapas, penurunan nafsu makan, berkeringat, menggigil, dan detak jantung terasa cepat.
Baca Juga: Efek Smartphone: Problem Postur & Nyeri Muskuloskeleta
Selain gejala umum tersebut, ada juga gejala pneumonia lain yang jarang muncul, tetapi bisa menjadi gejala penyerta pneumonia, yaitu batuk disertai darah, nyeri sendi dan otot, lemas dan lelah, kepala sakit, mual dan muntah. Gejala tersebut umumnya akan terjadi selama 1-2 hari, tanpa penurunan gejala. Namun, kondisi ini bisa berbeda tergantung dari sistem kekebalan tubuh masing-masing.
Pengobatan Pneumonia
Cara mengobati pneumonia harus disesuaikan dengan penyebab utama serta tingkat keparahannya. Dalam kondisi yang tidak terlalu parah, pneumonia akibat infeksi bakteri bisa diatasi dengan pemberian antibiotik yang diresepkan oleh dokter baik lewat oral maupun cairan infus. Adapun untuk pneumonia yang disebabkan oleh infeksi virus, cara pengobatannya bisa dengan mengonsumsi obat antivirus, seperti zanamivir (Relenza) atau oseltamivir (Tamiflu).
Kadang dokter akan memberikan beberapa obat tambahan untuk meringankan gejala pneumonia seperti obat pereda nyeri, penurun panas, hingga obat batuk. Jika Anda mengalami gejala sesak napas atau kesulitan bernapas, dokter akan memasangkan alat bantu napas atau ventilator. Walaupun tidak seberat Covid-19, pneumonia tetap tidak bisa dianggap enteng. Oleh karena itu, semua proses pengobatan sebaiknya dilakukan di rumah sakit dengan pengawasan dokter spesialis paru. Hal ini sekaligus untuk mencegah risiko komplikasi yang lebih parah.
Selanjutnya, perlu ditekankan bahwa pencegahan adalah tindakan bijak yang harus diupayakan sehingga kita tidak harus menjalani pengobatan karena pneumonia dapat dicegah. Upaya-upaya pencegahan itu antara lain: meningkatkan asupan nutrisi dengan konsumsi makanan sehat, terutama buah dan sayuran yang bersifat antiradang dan dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh; menghindari rokok, minuman beralkohol, dan menjaga jarak dari orang yang sedang sakit batuk, pilek, atau pasien pneumonia itu sendiri. Upaya lain yang sangat penting ialah menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), misalnya selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, sebelum mengolah makanan, dan setelah pulang dari beraktivitas dari luar.
PHBS adalah kunci utama pencegahan penyakit ini. Masyarakat perlu mengikuti prosedur kesehatan seperti yang direkomendasikan WHO dan Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) untuk menurunkan risiko penyakit pernapasan. Rekomendasi itu di antaranya melakukan vaksinasi terutama pada anak-anak, menjaga jarak dengan orang sakit, tidak bepergian saat sakit, pergi ke dokter dan mendapatkan perawatan bila dibutuhkan, memakai masker, memastikan kualitas ventilasi baik, dan rajin cuci tangan.
Untuk mengantisipasi penularan pneumonia di Indonesia, pemerintah melalui Kemenkes, khususnya Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menerbitkan Surat Edaran Nomor PM.03.01/C/4632/2023 tentang Kewaspadaan Kejadian Mycoplasma Pneumonia di Indonesia. Sebagai pelaksanaannya, pemerintah antara lain melakukan pemantauan perkembangan kasus dan negara yang terjangkit pneumonia di tingkat global; melakukan pengawasan terhadap orang (awak, personel, dan penumpang), alat angkut, barang bawaan, lingkungan, vektor, binatang pembawa penyakit di pelabuhan, bandar udara, dan pos lintas batas negara, terutama yang berasal dari negara terjangkit. [2/24]
*Alumni FK UMY 2009