Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Merujuk gagasan Soekarno, Ahmad Najib Burhani menyebut bahwa nasionalisme adalah suatu keinsyafan dari rakyat untuk menjadi satu golongan bangsa. Keinsyafan untuk menjadi satu bangsa itu, menurutnya, sangat mungkin dilakukan oleh orang-orang yang tidak pernah bertemu, tidak pernah bertatap muka, tidak pernah bercakap, dan tidak tinggal di suatu tempat yang sama.
Pernyataan itu ia sampaikan dalam pengajian Pipinan Pusat Muhammadiyah bertema “Keberagaman dan Nasionalisme Kaum Muda”, Jumat (15/10). Meski begitu, ia memberi catatan, konsep dasar tentang nasionalisme itu bisa berubah seiring perkembangan zaman dan perubahan tantangan yang ada.
Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah itu menyampaikan bahwa perasaan masing-masing orang dalam memaknai nasionalisme bisa jadi berbeda. Dalam konteks ini, apa yang dirasakan oleh pejuang kemerdekaan dan kaum milenial juga akan berbeda.
Baca Juga: Syafiq Mughni: Cinta Tanah Air Itu Natural
Apalagi, lanjutnya, tantangan nasionalisme yang dihadapi kaum milenial saat ini berbeda dengan apa yang dialami para pejuang kemerdekaan. Najib menyebut beberapa tantangan yang nyata dihadapi kaum milenial, seperti kemajemukan Indonesia, transnasionalisme yang menolak nation-state, kewarganegaraan ganda, organisasi multinasional, ethno dan religio nasionalisme, dan post-truth.
Perbedaan pemaknaan sekaligus tantangan itu membuat ekspresi nasionalisme juga mengalami perbedaan. Jika dulu ekspresi nasionalisme diwujudkan dalam bentuk respons atas ancaman pihak asing dan peneguhan martabat bangsa, menurut Najib, “bagi milenial, batas-batas negara, baik secara fisik maupun dalam gagasan, adalah sesuatu yang dinegosiasikan terus-menerus”.
Lebih lanjut, Najib menyebut bahwa kaum milenial kerap digambarkan sebagai sosok dengan nilai kosmopolitan yang terbuka dengan perbedaan dan meyakini adanya nilai kemanusiaan yang universal. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika konsep nasionalisme ala kaum milenial adalah nasionalisme kosmopolitan.
Nasionalisme kosmopolitan, menurutnya, membuka kemungkinan bagi warga negara untuk bertautan dengan indentitas-indentitas lain di luar pertautannya dengan negara bangsanya. Jika ditarik ke wilayah yang lebih sempit, nasionalisme kosmopolitan ini hampir sama dengan konsep kosmopolitanisme Muhammadiyah.
Najib mengatakan, “ini hampir sama dengan konsep kosmopolitanisme Muhammadiyah. Yakni kesadaran sebagai warga global dunia dan keinginan untuk saling berbagi dan berperan di dalam membentuk peradaban dunia yang global”. (sb)