Politik dan Hukum

Nalar Kedaulatan dan Kesadaran Kritis Pemilih Muda

pemilu 2024
  • Menjelang Pemilu 2024, Suara 'Aisyiyah menyediakan ruang #pemilukita. Ruang ini kami buka agar masyarakat dapat bersama-sama mewujudkan pemilu yang substantif dan inklusif.

Oleh: Agusliadi Massere*

Pemilihan umum (pemilu) bukanlah sekadar apa yang biasa disebut sebagai “pesta demokrasi”, lebih-lebih sekadar aktivitas datang ke tempat pemungutan suara (TPS), mencoblos, kemudian pulang. Di dalamnya ada hak, kewajiban, nilai, harapan ideal, juga pilihan sikap, serta aksi menyangkut nasib ratusan juta rakyat yang harus diperjuangkan dan membutuhkan kecerdasan, nalar kedaulatan, dan kesadaran kritis, tanpa kecuali dari pemilih muda.

Pemilih dalam core business, konstitusi negara, dan kerangka hukum pemilu memiliki posisi strategis dan urgen yang implikasinya sangat besar, dan dapat memengaruhi masa depan bangsa dan negara. Dalam pemilu, kita tahu ada aspek input, process, output, dan outcome yang semua kualitasnya harus dijaga dalam kerangka integritas dan profesionalitas. Yang punya kapasitas penuh untuk menjaga semua aspek itu tidak lain adalah pemilih.

Terkait dengan empat aspek di atas, penyelenggara pemilu hanya mampu memaksimalkan sampai pada aspek output. Peserta pemilu (partai politik, pasangan calon, dan perseorangan) meskipun punya ruang maksimal untuk mampu mengoptimalisasikan penjagaannya sampai pada aspek outcome, sering kali spirit kompetisi mereka patah ketika dibarengi dengan syahwat cinta kekuasaan”. Dengan demikian, keempat aspek itu sulit mereka jaga secara penuh. Sekali lagi pemilih memiliki posisi strategis yang akan menentukan masa depan bangsa dan negara Indonesia.

Dalam Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi DPT Nasional Pemilu 2024 pada tanggal 2 Juli 2023 di Kantor Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) di Jakarta, terungkapkan adanya data bahwa dari 204.807.222 jiwa pemilih yang ditetapkan, sebanyak 52% atau 106.358.447 jiwa adalah pemilih muda. Dari data ini, bisa ditegaskan bahwa pemilih muda adalah kategori pemilih yang paling strategis untuk memperjuangkan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Alasan sederhananya ialah karena kita menganut prinsip one man one vote.

Posisi strategis pemilih muda tidak boleh diabaikan. Karena memiliki posisi itu, mereka harus mengambil peran strategis dengan kerangka nalar kedaulatan dan kesadaran kritis untuk menghasilkan sesuatu yang positif, produktif, konstruktif, dan memberikan kontribusi besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara ini.

Hanya dengan nalar kedaulatan dan kesadaran kritis sebagai penuntun, sebagai kerangka membaca realitas, dan pedoman aksi/bertindak (sebagaimana saya pahami dari cara pandang Yudi Latif mengenai kerangka dan perangkat ideologi) maka pemilih muda bisa menjadi pemilih yang kritis dan cerdas. Kecerdasan dan kesadaran kritis pemilih muda ini diharapkan menjadi “hulu” –meminjam istilah Prof. Haedar Nashir– yang akan memengaruhi nasib masa depan Indonesia sebagai “hilir”-nya.

Lalu, apa yang dibutuhkan agar pemilih muda menggunakan kecerdasan dan kekritisannya dalam memilih? Untuk mewujudkan harapan ini, tidak cukup dilakukan dengan hanya menyuguhkan kerangka hukum pemilu, terutama sekadar menyangkut pedoman teknis terkait setiap tahapan, bagaimana cara mencoblos sampai pengawasan partisipatif. Semua itu bahkan belum cukup meski ditambah dengan pemahaman akan visi, misi, program, dan rekam jejak para peserta pemilu.

Berdasarkan pandangan filosofis, teologis, dan ideologis yang saya pahami, pemilih muda membutuhkan revitalisasi dan kristalisasi “nalar kedaulatan” dan “kesadaran kritis”. Kedua hal ini sangat penting karena berfungsi sebagai basis nilai dan sekaligus sebagai drive yang akan memberikan, bukan sekadar memahamkan, kemampuan untuk menjalani setiap tahapan pemilu.

Nalar, sebagaimana yang saya pahami dari filsuf Gordon Graham (2015: 151-152), adalah sesuatu yang mampu mengarahkan seseorang pada apa yang harus dipikirkan, diyakini, dan dilakukan. Dari sumber lain, nalar pun dinyatakan mampu memandu bagaimana seseorang memaknai dan menjadi sesuatu—dalam hal ini, termasuk menjadi pemilih-muda yang cerdas dan kritis.

Adapun nalar kedaulatan adalah bagaimana spirit kedaulatan rakyat sebagaimana yang ditegaskan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 1 Ayat (2) yang oleh KPU telah diderivasikan menjadi “pemilih berdaulat”, mampu menjadi basis nilai dan/atau menjadi nalar itu sendiri. Setidaknya, inilah acuan yang dapat kita gunakan jika berbicara tentang nalar kedaulatan.

Kristalisasi dari nalar kedaulatan akan mampu membangun kesadaran pada diri pemilih-muda bahwa Indonesia adalah ibarat kapal dan kita menyebutnya sebagai “kapal-kebangsaan”. Adapun pemilu adalah kesempatan untuk memilih nakhoda yang akan menentukan ke mana kapal itu berlayar, termasuk stabilitasnya dalam perjalanan menuju pulau harapan.

Baca Juga: Mendukung Peran Aktif Generasi Z dalam Pemilu 2024

Kristalisasi dari nalar kedaulatan pun akan memantik kesadaran pemilih, tanpa kecuali pemilih muda, bahwa ketidakcerdasan dan rendahnya kesadaran kritis dalam memilih akan memberikan ruang kepada orang-orang yang tidak bertanggung jawab menjadi pengendali kapal kebangsaan. Jika hal ini dibiarkan terjadi, maka sama saja kita membawa diri dalam kerugian karena kita, sang pemilik kapal, semua berada di atas atau di dalamnya.

Ketika kapal kebangsaan tersebut berlayar ke arah yang tidak sesuai dengan harapan, cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 ataupun mengalami kondisi oleng atau instabilitas, maka segala konsekuensinya akan dirasakan oleh semua yang berada di dalam kapal, tanpa kecuali pemilih muda itu sendiri. Ada dampak dari setiap sikap mental dan perilaku dalam pemilu.

Selain pemilih muda perlu merevitalisasi dan mengkristalisasi nalar kedaulatannya, penting pula menjadikan kesadaran kritis sebagai bagian besar dalam sikap mental pemilih muda. Hanya kesadaran kritislah yang akan mampu memandu pemilih muda untuk memahami bahwa meskipun memilih bukanlah kewajiban, tetapi idealnya “golput” (golongan putih, memilih untuk tidak-memilih) tidak pernah terjadi, karena dengan spirit one man one vote, suara setiap orang sangatlah penting dan menentukan masa depan Indonesia.

Kesadaran kritis mampu memantik kesadaran bahwa segala permasalahan dan ketertinggalan yang dialami oleh bangsa dan negara Indonesia bukanlah sebagai takdir, melainkan karena secara struktural hierarkis dan teori sistem, ada sikap mental dan perilaku secara personal maupun kolektif yang perlu diperbaiki. Salah satunya yang sangat strategis ialah bagaimana sikap mental dan perilaku pemilih dalam setiap pemilu.

Dengan kesadaran kritis, pemilih muda akan memahami bahwa untuk perbaikan nasib atau masa depan bangsa dan negara Indonesia dapat dimulai, salah satunya, dari pelaksanaan pemilu yang berkualitas dan berintegritas. Pemilih muda ini sangatlah diharapkan untuk mengoptimalisasikan partisipasi dan peran mereka dengan penuh kesadaran kritis disertai nalar kedaulatan seperti tersebut di muka.

Revitalisasi dan kristalisasi dari nalar kedaulatan dan kesadaran kritis akan memberikan energi dan semangat bagi pemilih muda untuk terlibat dalam pemilu dengan berbagai peran secara berkualitas. Dengan demikian, pada gilirannya hal itu akan melahirkan para pemimpin dan wakil rakyat yang mampu memajukan bangsa dan negara Indonesia, termasuk mampu menjawab dan memberikan solusi terhadap hal paradoks dan fenomena yang menggambarkan masih rendahnya partisipasi pemilih muda.

*Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Bantaeng Periode 2014-2018, Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.

Related posts
Politik dan Hukum

Momen Idulfitri: Merajut Kembali Ukhuwah Pasca Pemilu

Oleh: Andre Rosadi* Proses pencoblosan suara dalam pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan anggota legislatif (Pileg) sudah usai pada 14 Februari lalu. Sebagai…
Berita

Seruan PWPM Jateng Pasca Pemilu 2024: Harapkan Situasi Damai dan Sejuk

Semarang, Suara ‘Aisyiyah – Proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 hingga saat ini masih berlangsung. Berbagai dinamika mewarnai pesta demokrasi yang digelar lima…
Berita

LPPA dan MHH PWA Papua Gelar Literasi Pendidikan Politik Bagi Pemilih Pemula

Jayapura, Suara ‘Aisyiyah – Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) dan Majelis Hukum dan HAM (MHH) Pimpinan Wilayah (PWA) Papua menggelar kegiatan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *