Perempuan

Nilai-nilai Islam tentang Relasi Laki-laki Perempuan

Oleh: Alimatul Qibtiyah, Ph.D (Komisioner Komnas Perempuan, Ketua LPP Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, anggota MTT PP Muhammadiyah dan Dosen KPI UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling berbagi bukan untuk saling mendominasi. Dalam konsep tauhid yang berhak menyandang gelar nomor satu hanyalah Allah. Makhluk secara subtansi tidak berhak menyandang gelar nomor satu. Yang diperkenankan adalah terkait dengan peran dan fungsi yang berbeda.

Ada yang berperan menjadi ketua atau presiden dan ada yang berperan sebagai anggota atau rakyat biasa. Peran tersebut tidak serta merta membawa konsekuensi bahwa secara substantif dan juga filosofis yang berperan sebagai ketua akan mendapatkan sisi yang paling mulia di sisi-Nya. Demikian juga sebaliknya anggota atau rakyat tidak secara otomatis akan terakhir masuk surganya.

Demikian juga relasi laki-laki dan perempuan di masyarakat dan di keluarga. Jika di masyarakat ada istilah bapak sebagai kepala keluarga dan ibu sebagai kepala rumah tangga atau sebalikanya (realitas sudah ada ibu sebagai kepala keluarga dan bapak sebagai kepala rumah tangga), bukan berarti yang menjadi kepala keluarga mempunyai posisi yang amat dimuliakan dan harus dilayani sepenuhnya sehingga memunculkan relasi suami-istri yang tidak seimbang.

Baik yang menjadi kepala rumah tangga maupun kepala keluarga sama-sama mulianya dan kalau mereka berakhlakul karimah dan beramal nyata kemanfaatannya untuk manusia serta tidak lupa mendekatkan diri pada Allah, maka insya Allah surga jaminannya. Dalam Islam  tidak mengenal istilah “surga nunut neroko katut”. Istilah yang mengindikasikan perempuan tidak punya otonomi sendiri untuk masuk surga ini, cukup populer di masyarakat.

Di dalam buku Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah yang digagas oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dan diputuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai hasil putusan menyebutkan bahwa relasi laki-laki dan perempuan termasuk di dalamnya suami-istri adalah seimbang. Relasi laki-laki dan perempuan dalam posisi setara, tidak ada superioritas dan subordinasi (diunggulkan dan direndahkan), masing-masing memiliki potensi, fungsi, peran dan kemungkinan pengembangan diri.

Islam mengajarkan kepada pemeluknya bahwa perempuan dan laki-laki setara di hadapan Allah. Nilai-nilai kesetaraan tersebut bersifat qot’i dan mengikat untuk menjadi landasan utama membincangkan relasi laki-laki dan perempuan dalam Islam. Sementara itu peneguhan relasi yang seimbang di persyarikatan ini akan menguatkan identitas berkemajuan Muhammadiyah di abad kedua ini.

Relasi yang seimbang ini didasarkan pada nilai-nilai kesetaran laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an diantaranya:

Pertama. Perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai Hamba Allah. Ini ditegaskan Allah dalam Surah  Adz-dzariyat (51): 56. Laki-laki dan Perempuan sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nisa (4): 124

Kedua. Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah/wakil/pemimpin Allah.  Al Baqarah ayat 30 menyebutkan bahwa Allah sesungguhnya menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Dengan demikian baik laki-laki dan perempuan sama-sama punya hak untuk memimpin dunia ini. Bahkan jika dilihat dari sejarah kepemimpinan dalam al-Qur’an, Allah mengakui kehebatan, kearifan, kecerdasan Ratu Bilqis. Q.s Saba (34); 15 menginformasikan bahwa kerajaan Saba sebagai Negara yang baldatun toyibatun warobbun ghofur.

Al-Qur’an Surat An-Naml (23) 32-35, 44 menunjukkan bahwa Ratu Bilqis adalah seorang ratu yang demokratis (melibatkan pembesar lain dalam memutuskan perkara), bijaksana (tidak mau mengorbankan rakyat dan memperlakukan lawan politik secara terhormat) serta cerdas, terbuka dan religious (cerdas dan mudah menerima kebaikan sehingga dengan dia berpindah dari menyembah matahari menjadi beriman pada Allah, Tuhan Nabi Sulaiman).

Ketiga. Adam dan Hawa bersama-sama sebagai aktor terkait keberadaan manusia di surga dan di bumi ini. Seluruh ayat tentang kisah Adam dan Hawa sejak di surga hingga turun ke bumi menggunakan kata ganti mereka berdua (huma) yang melibatkan secara bersama-sama dan secara aktif Adam dan Hawa. Adam dan Hawa diciptakan di surga dan mendapatkan fasilitas surga sebagaimana disebutkan dalam Al-Baqarah (2): 35.

Selain itu Adam dan Hawa mendapatkan kualitas godaan yang sama dari syetan sebagaimana disebutkan dalam Al-A’raf (7): 20. Mereka juga bersama-sama memakan buah khuldi dan karenanya menerima akibat jatuh ke bumi sebagaimana disebutkan al-Araf (7): 22. Setelah itu juga mereka bersama sama memohon ampun dan diampuni Allah sebagaimana disebutkan Al-A’raf (7): 23.

Keempat. Di sisi Allah perempuan dan laki-laki masing-masing bertanggungjawab atas perbuatan amal shaleh yang mendatangkan pahala dan perbuatan dosa yang menyebabkan hukuman. Konsep ini didasarkan pada Surat An-Nisa (4) ayat 124. Laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan setara di depan hukum. Perempuan yang berbuat salah akan mendapatkan sanksi atas pelanggaran yang telah dilakukannya sebagaimana laki-laki. Keduanya bertanggung jawab atas kesalahan yang telah diperbuatnya.

Al-Qur’an telah menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan yang berzina mendapat hukuman had [An-Nur (24): 2]. Demikian juga para pencuri, perampok, koruptor, baik laki-laki maupun perempuan akan mendapat sanksi atas kesalahan yang diperbuatnya [Al-Maidah (5): 38].

Kelima. Laki-laki dan perempuan diciptakan dari zat yang sama untuk menciptakan kesejahteraan di dunia ini. Ini didasarkan pada Surah An-Nisa (4) ayat 1: kata kholaqokum pada ayat ini dapat diartikan laki-laki dan perempuan bukan hanya laki-laki yang banyak diterjemahkan oleh banyak kalangan. Sedangkan kata “min nafsi wahidah” berarti zat yg satu sedangkan zaujaha berarti pasangan  yang berarti laki-laki atapun perempuan. Qur’an tidak menyebutkan Hawa itu diciptkan dari tulang rusuk Adam yang berdampak inferioritas perempuan.

Dengan berdasar ayat ayat tersebut maka sebenarnya tidak ada alasan untuk memposisikan laki-laki lebih unggul dan menghasilkan relasi yang subordinasi pada perempuan. Islam yang dipahami oleh muslim dari kalangan moderat dan berkemajuan (termasuk di dalamnya Muhammadiyah,’Aisyyah) terkait dengan penciptaan manusia adalah bahwa manusia baik laki-laki dan perempuan diciptakan dari zat yang sama dan mempunyai relasi yang seimbang.

Pembeda antara laki-laki dan perempuan adalah kemuliaan akhlaknya dan juga ketinggian taqwanya. Artinya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang bertaqwa dan juga yang paling baik amal perbuatannya, bukan karena jenis kelaminya

(Qs Al-Hujarat: 13)

Implementasi konsep relasi yang seimbang di persyarikatan dapat dirasakan oleh warganya. Contoh nyata adalah adanya hak kepemimpinan perempuan di Muhammadiyah. Walaupun secara jumlah masih sedikit karena juga terkait dengan ketersedian SDM, Muhammadiyah sudah memasukkan perempuan dalam kepengurusan Muhammadiyah. Bahkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah memasukkan salah satu ketua di PPM adalah perempuan.

Bentuk relasi seimbang lainnya adalah yang umum dapat dilihat adalah hampir di setiap acara persyarikatan didesain tempat duduknya menyamping bukan membelakang. Tempat duduk kelompok perempuan tidak di belakang laki-laki tetapi di samping kelompok bapak-bapak. Semoga saja konsep relasi seimbang laki-laki dan perempuan yang sudah diputuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam buku Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah dapat lebih banyak lagi dirasakan dampaknya di masyarakat.

Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 7, Juli 2017, Rubrik An-Nur

Sumber ilustrasi : https://nasional.republika.co.id/berita/q4soqa382/kesetaraan-gender-di-dunia-kerja-diakui-positif-bagi-bisnis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *