“Perempuan harus sadar akan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah. Ia akan jadi ibu bagi anak-anaknya dan bangsa. Untuk itu, perlu pandai dan mendidik anak-anaknya dengan baik,” tegas Baroroh Baried menirukan perkataan Siti Walidah dengan gaya berpidato.
Lalu Baroroh melanjutkan ceritanya: “Nyai kemudian menambahkan dalam kalimat akhir bahwa Allah tidak menghendaki, termasuk perempuan untuk bodoh dan lemah. Nyai menutup pembicaraan dengan muridnya itu dengan membaca surat Al-‘Ashr”.
Wawancara dengan almarhum Prof. Baroroh Baried di atas terekam dengan rapi di buku Keluarga Sakinah Dalam ‘Aisyiyah karya Prof. Ismah Salman. Baroroh ingat kata per kata yang dilantangkan Nyai Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan, karena ia adalah salah satu murid yang mendengar pidato Nyai ketika itu.
Dalam potongan pidatonya Nyai menegaskan pentingnya peran perempuan, di samping laki-laki, dalam mendidik anak. Tersirat dari uraiannya bahwa Nyai tidak menjadikan kerja perempuan mendidik anak sebagai peran domestik yang dihadap-hadapkan dengan peran publik. Justru mendidik anak adalah bagian dari peran publik perempuan, dan peran publik perempuan adalah kepanjangan dari perang domestik. Kita petik lagi kata-kata Nyai: Ia akan jadi ibu bagi anak-anaknya dan bangsa.
Duri, salah satu anak Nyai Ahmad Dahlan, tengah asyik menggesek biola kesayangannya ketika panggilan salat berkumandang. Nyai memanggil Duri untuk mendirikan salat, namun ia tenggelam dalam permainan biolanya sendiri. Tiga kali Nyai mengingatkan anaknya tersebut bahwa waktu salat telah tiba, saatnya mengambil wudlu, namun hasilnya sama: Duri hanyut bersama biolanya.
Nyai Dahlan naik pitam dan memarahi Duri akibat perbuatannya tersebut. Dengan tegas Nyai berkata pada anaknya, jangan jadikan kesenanganmu ini syetan bagimu! Berdasarkan cerita yang diriwayatkan oleh Widyastuti, cucu Nyai, aslinya biola itu bahkan sampai dibakar. “Tapi bukan itu poinnya”, kata Wiwid, sapaan akrabnya. Poin dari ketegasan Nyai di atas adalah bagaimana beliau sangat menegaskan pelaksanaan ibadah dalam mendidik anak.
Duri bukanlah satu-satunya anak Nyai Ahmad Dahlan yang pernah diperingatkan dengan tegas perkara ibadah. Adalah Djohanah, putri pertama Nyai, yang melalaikan salat karena anaknya menangis. Nyai Dahlan lalu memberikan nasihat melalui sindiran tegas, aku akan mendoakan anakmu mati, karena ia telah melalaikanmu dari salat. “Bagi Nyai, salat tidak bisa dinegosiasikan dengan hal apapun dan dalam keadaan bagaimanapun!”, ketegasan Nyai Dahlan seperti mengalir dalam darah cucunya yang satu ini.
Nyai Dahlan adalah orang yang sangat rapi dan terampil. Tangan dinginnya tersebut mampu menyulap rumah menjadi sebenar-benarnya tempat kembali, karena kerapian dan keterampilan Nyai. Dua kemampuan itu pula yang ia ajarkan ketika mendidik anak dan remaja perempuan di Internaat, tempat pendidikan perempuan yang ia dirikan. “Internaat merupakan asrama perempuan dimana Nyai mengajarkan keterampilan pada murid-muridnya,” jelas Wiwid.
Sama sepert Kiai Dahlan, Nyai Dahlan juga memiliki kebiasaan melibatkan anak-anaknya dalam gerakan dakwah yang dilakukannya. Dalam penuturan Wiwid, Siti ‘Aisyah Hilal dan Siti Busyro adalah putri yang kerap diajak berdakwah bersama Nyai. Hal ini mengingatkan kita semua pada istilah kader intilan, yang menjadi tradisi perkaderan yang dilakukan oleh para tokoh Muhammadiyah-Aisyiyah masa lalu. Seperti misalnya K.R.H Hadjid memiliki banyak kader intilan yang sering ia bawa berkeliling Jogja.
‘Aisyah Hilal, putri dan kader intilan Nyai Dahlan, pada akhirnya mampu menjadi kader inti ‘Aisyiyah. Bahkan pada ahun 1931 terpilih menjadi Ketua ‘Aisyiyah, dan memimpin selama sepuluh tahun. Pada periodenya pula Siswa Praja Wanita berganti nama menjadi Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA). NA disiapkan agar hidup subur sebelum ‘Aisyiyah patah, dan siap sedia sebagai penerus sebelum yang tua menghadap Allah Swt. (DS Nur’aini, 2013: 134).
Tiga hal yang diteladani oleh Nyai Ahmad Dahlan: memberi ketegasan dalam ibadah, rapi dan terampil, serta melibatkan anak dalam dakwah, masih sangat relevan untuk diterapkan saat ini. Apalagi di era global dimana anak dibelenggu oleh perangkat-perangkat canggih yang beresiko melalaikan ibadah, malas besproses agar rapi dan terampil, dan enggan mengikuti jejak orang tuanya berdakwah.
Beruntung, atas inisiatif keluarga dan beberapa pihak, serta atas dukungan PP Muhammadiyah dan PP ‘Aisyiyah, alur kehidupan Nyai Dahlan. Kiprah Nyai baik sebagai istri, ibu, hingga seorang da’i di ranah publik telah diangkat ke layar lebar dalam film Nyai Ahmad Dahlan. (Fikri)