Wawasan

Optimalisasi Peran Aisyiyah dalam Pemajuan Pesantren

Pesantren Aisyiyah
  • Artikel ini ditulis dalam rangka menyambut #Muktamar48Aisyiyah di Surakarta pada 18-20 November 2022.

Oleh: Muhbib Abdul Wahab

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, mendahului madrasah dan sekolah. Sejak abad ke-15, pesantren hadir sebagai manifestasi perjumpaan sinergis antara ajaran Islam dan kearifan nasional.

Dari segi peran dan fungsinya, pesantren merupakan lembaga keagamaan sekaligus lembaga pendidikan yang sangat khas Indonesia dan kaya budaya (tradisi keislaman). Oleh sebab itu, salah satu peran pesantren dalam kehidupan keagamaan adalah sebagai pemelihara tradisi keislaman dengan kutub at-turâts (buku-buku klasik berbahasa Arab) sebagai ikonnya.

Pesantren mampu bertahan melintasi zaman hingga sekarang, bahkan semakin berkembang pesat karena sistem pendidikan pesantren jauh lebih mengutamakan pendidikan spiritualitas, mentalitas, moralitas, dan karakter mulia pada diri santri, daripada sekadar pendidikan model sekolah yang lebih berorientasi pada penguasaan aspek kognitif.

Dalam pendidikan pesantren, “adab lebih utama daripada ilmu” menjadi doktrin yang ditanamkan dengan sangat kuat sehingga para santri sejak awal nyantri langsung belajar berakhlak mulia: ikhlas, rendah hati, jujur, hormat dan taat kepada ustadz, sederhana, mandiri, dan sebagainya.

Pendidikan di pesantren berlangsung selama santri tinggal di asrama dan lingkungan pesantren bersama kiai, para asatidz (pendidik), dan musyrif (pembina, pengasuh). Kurikulum yang diberlakukan di pesantren bukan “kejar paket” buku atau modul yang akan diujikan, tetapi internalisasi “kurikulum kehidupan” melalui interaksi sivitas akademika pesantren dan lingkungan sosialnya.

Di pesantren para santri belajar makna hidup, belajar hidup bersama, belajar disiplin, belajar hidup sederhana, belajar bersosialisasi dan bersaudara, mandiri, menghormati ustadz dan keluarganya, sabar dan tekun dalam mencari dan menguasai ilmu, dan sebagainya. Singkatnya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat ideal untuk melahirkan calon ulama, ustadz, dan pemimpin umat dan/atau bangsa.

Pada awalnya, dalam pengembangan amal usahanya, Muhammadiyah juga memiliki orientasi pendidikan pesantren dengan sistem asrama (boarding). Lembaga pendidikan yang pertama didirikan Kiai Ahmad Dahlan, Al-Qism Al-Arqa, pada tahun 1918 merupakan model pendidikan pesantren.

Baca Juga: Muhammadiyah dan Pesantren

Bahkan pada 1921, Al-Qism Al-Arqa diubah menjadi Pondok Muhammadiyah. Lalu pada tahun 1923, Al-Qism Al-Arqa untuk para santriwan dan santriwati (mu’allimin dan mu’allimaat) diubah menjadi Kweekschool Muhammadiyah dan pada tahun 1924 siswanya dipisah antara yang laki-laki dan perempuan.

Dalam perkembangannya, Kweekschool Muhammadiyah dikhususkan untuk putra dan Kweekschool Istri untuk perempuan. Pada tahun 1932 Kweekschool Muhammadiyah berubah menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah dan Kweekschool Istri berubah menjadi Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah. Sejak itu, sistem pendidikan mengalami pergeseran, dari sistem berasrama (boarding) menjadi perpaduan antara boarding dan nonboarding.

Namun demikian, pendidikan Muhammadiyah (dan ‘Aisyiyah) berbasis sistem pendidikan holistik integratif, yakni menyeluruh dan terpadu antara pengembangan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, sekaligus menyinergikan orientasi spiritualitas, moralitas, intelektualitas, individualitas, dan sosialitas. Pendidikan Muhammadiyah, termasuk pendidikan pesantren, bukan hanya menyiapkan calon lulusannya sukses dan bahagia di dunia dan akhirat, tetapi juga membangun peradaban Islam berkemajuan.

Pesantren Aisyiyah dan Investasi SDM

Menurut data Kementerian Agama RI (2022), pondok pesantren di Indonesia per Juli 2022 berjumlah 37.626 buah, dengan jumlah santri mencapai 4.766.394 orang dan jumlah pendidik dan tenaga kependidikan mencapai 385.941 orang. Angka ini menunjukkan bahwa pesantren merupakan wajah pendidikan Islam di Indonesia. Selain itu juga menjadi pusat pendidikan Islam yang berkontribusi sangat besar terhadap kehidupan bangsa.

Pesantren juga merupakan aset dan kekayaan bangsa yang perlu diberikan perhatian, pembinaan, dan pengembangan, baik mengenai sistem pendidikannya maupun tata kelola atau manajemennya. Jumlah pesantren, santri, pendidik, dan tendik pesantren yang demikian besar menunjukkan peluang yang menjanjikan harapan di masa depan.

Oleh karena itu, terbitnya UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, paling tidak dapat memberikan angin segar bahwa eksistensi pesantren memiliki payung hukum (landasan yuridis) yang memperkuat posisi tawar dan fungsi pesantren.

Pesantren tidak identik dengan organisasi sosial keagamaan tertentu saja. Pesantren merupakan lahan pendidikan dan dakwah umat Islam. Sebagai amal usaha Muhammadiyah, jumlah pesantren Muhammadiyah belum cukup banyak. Pada tahun 2015 data Dikdasmen PPM menunjukkan bahwa pesantren Muhammadiyah baru berjumlah 178 buah.

Namun, pada September 2022, jumlah pesantren Muhammadiyah telah bertambah menjadi 440 buah. Artinya, dalam 6 tahun terakhir, jumlah pesantren Muhammadiyah mengalami kenaikan yang sangat signifikan, mencapai 247%, dengan rata-rata kenaikan pertumbuhan (pertambahan) sebanyak 37,4 buah pesantren setiap tahun atau 3,1 pesantren setiap bulan.

Dari 440 pesantren Muhammadiyah, ternyata baru ada 8 buah pesantren yang dikelola oleh ‘Aisyiyah, yaitu (1) Pondok Pesantren Tahfizh Al-Quran Putri ‘Aisyiyah Pekajangan PCA Pekajangan; (2) KMI Pondok Modern ‘Aisyiyah Islamic Boarding School (PM-AIBS) PCA Sumberrejo; (3) SMP ‘Aisyiyah Boarding School Pinrang PDA Kabupaten Pinrang; (4) Universitas ‘Aisyiyah Surakarta/ Ma’had Universitas ‘Aisyiyah Surakarta PDA Kota Surakarta; (5) Pesantren Tahfizhul Qur’an ‘Aisyiyah Ponorogo PDA Ponorogo; (6) ‘Aisyiyah Boarding School Bandung PW ‘Aisyiyah Jawa Barat; (7) Pondok Pesantren Putri Ummul Mukminin ‘Aisyiyah Wilayah Sulawesi Selatan PWA Sulawesi Selatan; (8) ‘Aisyiyah Boarding School (ABS) Malang. Perlu diketahui, karena sudah berubah nomenklatur, Mu’allimat Yogyakarta tidak lagi memakai nama “pesantren”, tetapi berubah menjadi madrasah meskipun para siswinya tinggal di asrama.

Baca Juga: Kepemimpinan Perempuan dalam Pandangan Islam Wasathiyah

Data tersebut menunjukkan bahwa ‘Aisyiyah belum banyak berperan dalam mengelola dan mengembangkan pesantren. Investasi sumber daya manusia (SDM) di bidang pendidikan pesantren tampaknya belum digarap dengan lebih intensif. Padahal, secara struktural keorganisasian, ‘Aisyiyah telah memiliki jaringan kelembagaan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.

Hal ini berarti bahwa potensi dan peran ‘Aisyiyah dalam berinvestasi SDM di bidang pendidikan pesantren sangat besar. Kita berharap pendidikan pesantren dalam Muktamar ke-48 di Surakarta diangkat sebagai salah satu agenda dan prioritas pembicaraan guna menjadikannya sebagai program kerja.

Investasi SDM di bidang pendidikan pesantren tentu mensyaratkan perencanaan yang matang dan konsep yang jelas, agar tidak asal mendirikan pesantren tanpa visi, misi, tujuan, dan strategi untuk mencapai atau mewujudkan semua itu. Oleh karena itu, sangat diharapkan PP ‘Aisyiyah mempunyai program unggulan dalam investasi SDM.

Salah satunya adalah ber-fastabiqul khairat dalam pengembangan pesantren berkemajuan dan berdaya saing unggul. Data pesantren ‘Aisyiyah tersebut dapat dijadikan sebagai “modal awal” untuk memompa spirit perjuangan mewujudkan pesantren ‘Aisyiyah percontohan (pesantren model) yang kelak dapat ditularkan sistemnya seperti Muhammadiyah Boarding School (MBS).

Investasi SDM unggul, dan calon ulama perempuan berkemajuan melalui pesantren ‘Aisyiyah tentu memiliki target jangka panjang yang sangat strategis. Seiring dengan semakin langkanya ulama perempuan Muhammadiyah, terutama yang menguasai literasi keislaman berbasis bahasa Arab, literasi jender, dan literasi digital, maka eksistensi pesantren ‘Aisyiyah menjadi kebutuhan mendesak.

Para lulusan madrasah ibtidaiyah atau SD Muhammadiyah dapat didorong untuk menjadi calon santri pesantren ‘Aisyiyah secara terprogram. Misalnya, setiap PWA di seluruh Indonesia wajib memiliki amal usaha berupa pesantren ‘Aisyiyah. Lalu, setiap PDA/PCA harus mengirim calon santrinya untuk mendapat layanan pendidikan di pesantren ‘Aisyiyah yang ditunjuk.

Investasi SDM melalui pesantren ‘Aisyiyah pasti akan berbuah manis pada masa depan karena dapat menopang pilar pengembangan sistem pendidikan yang dikelola dan dikembangkan ‘Aisyiyah, termasuk Perguruan Tinggi ‘Aisyiyah (PTA). Oleh karena investasi SDM santri itu berorientasi jangka panjang, maka rencana strategis, rencana induk (master plan), dan cetak biru (blue print) pesantren ‘Aisyiyah perlu didasarkan pada pengkajian dan penelitian (naskah akademik) yang matang.

Beberapa regulasi (pedoman, panduan, SOP) dan model pengembangan  kurikulum pesantren Muhammadiyah yang telah dibuat dan diimplementasikan Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah dapat dijadikan sebagai salah satu referensi.

Selain itu, pengembangan sistem dan model pesantren Muhammadiyah yang sudah mapan, seperti MBS, trensains, pesantren tahfizh, dan lainnya penting juga dikaji ulang dan dikembangkan dengan sentuhan kreatif dan inovatif sehingga menjadi model baru yang khas ‘Aisyiyah.

Optimalisasi Peran Aisyiyah

Sebagai organisasi modern dan mandiri, ‘Aisyiyah tentu mempunyai peran strategis dalam pengembangan pesantren ke depan. Peran yang dimainkan ‘Aisyiyah tentu tidak dapat dipisahkan dari posisi dan fungsinya dalam mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan bangsa, khususnya kaum perempuan.

Tidak diragukan lagi, bahwa ‘Aisyiyah telah sukses dalam mengelola dan mengembangkan TK ABA, MI/SD, MTs/ SMP, MA/SMA, bahkan Perguruan Tinggi ‘Aisyiyah. Kesuksesan edukasional ini pasti ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-faktor ini di antaranya adalah tata kelola dan tata pamong, manajemen modern yang akuntabel, transparan, kredibel, dan amanah, di samping faktor penggerak berupa spirit keikhlasan, ketekunan, kesabaran, budaya mutu, dan kepemimpinan pendidikan yang efektif.

Oleh karena itu, pesantren ‘Aisyiyah sejak awal harus didesain menjadi pesantren berkemajuan. Pesantren berkemajuan itu digerakkan oleh budaya mutu dan spirit pesantren Muhammadiyah: keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah Islamiyah, kemandirian, kebebasan berpikir kritis dan kreatif, etos tafaqquh fi ad-din al-Islami, wasathiyyat al-Islam sebagai rahmatan li al-’alamin, dan Ihya’ at-turats al-ilmi wa ats-tsaqafi al-Islami (revitalisasi legasi Islam di bidang ilmiah dan kultural).

Optimalisasi peran ‘Aisyiyah dalam membangun dan mengembangkan pesantren pada periode kepemimpinan mendatang semakin penting. Aktualisasi Islam berkemajuan itu akan sulit dipenuhi tanpa tersedianya sistem pendidikan pesantren yang menopangnya sebagai pusat penyemaian kader ulama dan calon pemimpin bangsa. Pesantren berkemajuan yang diharapkan dapat diwujudkan ‘Aisyiyah ke depan adalah pesantren dengan karakteristik sebagai berikut.

Pertama, pesantren yang bermanhaj Islam berkemajuan. Berislam sesuai paham Muhammadiyah, berorientasi pada pengembangan tajdid dan ijtihad di bidang pemikiran inovatif dan pendidikan yang bervisi Islam rahmatan lil ‘alamin.

Kedua, unggul. Status akreditasinya unggul, mutu layanan pendidikan dan SDM-nya unggul, daya saingnya unggul, lulusannya unggul dan kompetitif.

Ketiga, modern. Manajemen dan tata kelolanya profesional, kepemimpinannya kolektif kolegial, sarana dan prasarana, serta budayanya modern, bukan primitif dan tradisional, juga tidak kumuh atau tidak memiliki budaya sehat dan bersih.

Keempat, pesantren yang mandiri. Pembiayaannya mandiri, memiliki amal usaha yang menjadi sumber pendanaan, memiliki kemitraan strategis yang dapat menghidupkan ekonomi pesantren. Sivitas akademikanya sejahtera dan “selesai dengan urusan pribadinya”, sehingga jiwa raganya dapat diwakafkan untuk kemajuan pesantren ‘Aisyiyah.

Kelima, visioner. Pesantren ‘Aisyiyah harus memiliki “mimpi indah” cita-cita mulia, dan pandangan yang jauh ke masa depan, berpikir inovatif, kreatif, progresif, dan mencerahkan.

Keenam, pesantren ‘Aisyiyah harus dapat dipercaya, baik oleh warga persyarikatan Muhammadiyah, masyarakat, lembaga pendidikan tinggi, dan lembaga mitra. Kepercayaan publik itu sangat penting karena kepercayaan merupakan modal institusional untuk bisa berkembang dan berkemajuan.

Ketujuh, rekognisi. Pesantren ‘Aisyiyah harus mendapat pengakuan nasional dan internasional (baik institusi atau lulusannya); banyak memiliki capaian prestasi nasional dan internasional yang membanggakan.

Optimalisasi peran ‘Aisyiyah dalam pembangunan dan pengembangan pesantren ke depan sangat ditentukan oleh dikembangkan atau tidaknya budaya fundamental dan instrumen dalam menekuni amal usahanya, termasuk pesantren.

Budaya fundamental ini, menurut Prof. Syafiq Mughni, tecermin dalam: (1) Bersumber kepada al-Quran dan Sunnah; (2) Mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya; (3) Gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar; (4) Ijtihad, tajdid, modernitas, puritanisme (antisyirik, takhayul, bid’ah, khurafat, jumud, dan taklid); (5) Islam berkemajuan; (6) Tidak bermazhab; (7) Gerakan pencerahan; (8) Keikhlasan: Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah; dan (9) Spirit Al-Ma’un dan Wal ‘Ashri.

Adapun budaya instrumental dalam pengembangan pesantren ‘Aisyiyah yang perlu diteguhkan dalam kepemimpinan dan kinerja ‘Aisyiyah meliputi: (1) etos fastabiq al-khairat, (2) tidak menjadikan amal usaha Muhammadiyah (AUM) seperti milik pribadi atau milik keluarga, (3) tidak mengejar jabatan, tetapi tidak menghindar jika diberi jabatan, (4) dakwah yang menggembirakan, menyejukkan, mencerahkan, dan mencerdaskan, (5) berpikir luas dan bersikap luwes, (6) sedikit bicara, banyak bekerja, kaya karya nyata, dan prestasi tinggi; (7) budaya pesantren dalam belajar dan mengembangkan pemikiran Islam yang luas dan luwes; dan (8) kemandirian (otonomi), pola hidup damai, dan mendamaikan.

Dengan demikian, ‘Aisyiyah dapat mewujudkan optimalisasi perannya sebagai (1) penggerak (dinamisator) pesantren berkemajuan melalui jejaring kelembagaannya (institutional networking) dari pusat hingga akar rumput (2) regulator dalam pengelolaan pesantren yang berbudaya unggul, profesional, kompetetif, dan produktif; (3) penyuplai (supplier) ide-ide dan gagasan-gagasan inovatif untuk pemajuan pesantren; dan (4) supervisor dan evaluator dalam pembinaan, pengawasan, dan penilaian agar pesantren ‘Aisyiyah berkinerja unggul dan berkemajuan. Dalam konteks ini, ‘Aisyiyah dapat merancang dan mengembangkan sistem akreditasi pesantren yang kelak dapat dijadikan sebagai sarana penilaian dan pemeringkatan status akreditasi pesantren.

Baca Juga: Menilik Kaderisasi Ulama Perempuan Persyarikatan

Optimalisasi peran tersebut diharapkan dapat mengatasi dan memberi solusi terhadap berbagai persoalan yang kerap dihadapi pesantren. Pertama, kekurangan kader ulama perempuan yang bersedia menekuni dan mengembangkan pendidikan pesantren. Umumnya, sangat sulit mencari dan menemukan bu nyai yang mau mewakafkan dirinya untuk mengabdi dan memajukan pesantren.

Kedua, perhatian PCM/PCA, PDM/ PDA, dan PWM/PWA terhadap perintisan dan pengembangan pesantren ‘Aisyiyah masih sangat terbatas dan minim. Ketiga, pendanaan pesantren ‘Aisyiyah boleh jadi masih sangat terbatas; mengandalkan dana masyarakat dan wali santri.

Keempat, manajemen pesantren terkadang masih belum efektif dan fungsional karena minimnya literasi manajerial, literasi finansial, dan literasi digital.

Kelima, kerja sama dan kemitraan strategis pesantren, baik dengan AUM maupun dengan instansi lain belum terbangun dan dikembangkan secara optimal.

Oleh karena itu, dalam rangka memasok kecukupan SDM (kiai dan bu nyai, ustadz dan ustadzah) untuk pengembangan pesantren, ‘Aisyiyah perlu menjalin dan membangun kerja sama nasional dan internasional, terutama dengan PCIM di Timur Tengah, seperti PCIM Mesir, Arab Saudi, Sudan, Maroko, Yaman, dan sebagainya. Selain itu, pesantren ‘Aisyiyah juga harus memiliki jaringan kolaboratif dengan PTM/PTA.

Idealnya, sebagian pesantren ‘Aisyiyah dioptimalisasikan fungsinya sebagai pesantren laboratorium PTM/PTA dan lulusan pesantren ‘Aisyiyah diberdayakan sebagai pemasok SDM (calon mahasiswa PTM/PTA). Sudah saatnya, setelah lebih dari satu abad mengabdi untuk negeri, Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah bergandeng tangan, berkolaborasi, dan bersinergi memajukan pesantren sebagai pusat kaderisasi ulama dan zu’ama (pemimpin) masa depan bangsa. Semoga!

Related posts
Tokoh

Aisyah al-Ba’uniyah: Ulama Perempuan yang Seharusnya Dikenal Dunia

Oleh: Farid Aditya* Pembahasan kembali sejarah tasawuf selalu melibatkan tokoh ulama di dalamnya, terutama ulama laki-laki. Misalnya, Imam Ghazali, Ibnu Arabi, al-Qushayri,…
Perempuan

The History of Women Ulama’s Thought

By: Samia Kotele* The autonomy of women in Southeast Asia, both economically, socially, and politically has received particular attention from historians. Women…
Berita

Ketua LP2 PWM Jawa Tengah: Pesantren Tafaqquh fi Ad-Din Media Wujudkan Kader Ulama

Kendal, Suara ‘Aisyiyah – Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) Pimpinan Wilayah Muhamamdiyah (PWM) Jawa Tengah melakukan sosialisasi program pesantren ke Pondok Pesantren Daarul…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *