Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Kak ‘Aisy yang saya sayangi. Saya seorang guru SMP Muhammadiyah yang jauh di pelosok. Kemarin, saya mengikuti Baitul Arqam untuk Pendidik dan Tenaga Kependidikan melalui daring. Alhamdulillah, meski harus mencari tempat yang agak tinggi agar mendapatkan sinyal yang bagus, saya dapat mengikutinya. Ada satu materi yang menurut saya adalah suatu hal baru, yaitu tentang kesesuaian Pancasila dengan nilai-nilai Islam. Isi materi dan penyampaian dari narasumber cukup bagus. Namun demikian, masih menyisakan pertanyaan bagi saya: “Apa kaitan antara Pancasila dengan Muhammadiyah?” “Mengapa Pancasila dijadikan salah satu materi dalam Baitul Arqam?” Mudah-mudahan melalui majalah Suara ‘Aisyiyah ini, saya mendapatkan jawaban dari Kak ‘Aisy. Atas jawaban Kak ‘Aisy, saya menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Wassalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Fitriyanti
***
Jawaban
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wa barakatuh
Ibu Fitriyanti yang dirahmati Allah. Kak ‘Aisy ikut bergembira dan memberikan apresiasi atas kesungguhan Ibu dalam berikhtiar mengikuti Baitul Arqam yang sangat bagus untuk penguatan ideologi bagi guru yang bekerja di amal usaha Muhammadiyah. Kak ‘Aisy yakin alur materi yang diberikan tidak akan lepas dari nilai-nilai Islam Berkemajuan, termasuk Ideologi Muhammadiyah sebagai materi pokok, dan berbagai materi lainnya yang disampaikan untuk memperluas wawasan.
Sejarah telah mencatat dengan tinta emas, dan tidak dapat dimungkiri bahwa lahirnya Pancasila sangat berkaitan dengan Muhammadiyah. Pasalnya, sejumlah tokoh Muhammadiyah bersama tokoh lain, ikut berkontribusi langsung membidani lahirnya Pancasila. Misalnya Ki Bagus Hadikusumo, yang sangat serius mendiskusikan rumusan sila pertama Pancasila yang sempat memanaskan situasi saat pengajuan pemotongan tujuh kata kala itu. Usulan awal pada Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 sila pertama berbunyi: Ketuhanan yang Maha Esa, dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Akan tetapi, dengan mempertimbangkan persatuan bangsa, tujuh kata akhir dari sila pertama tersebut dihilangkan, tanpa mengurangi makna pentingnya tauhid bagi umat Islam. Akhirnya, melalui sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 18 Agustus 1945, rumusan sila pertama Pancasila memuat kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana terkandung dalam UUD 1945 sekarang ini. Demikianpun tokoh lain, seperti Prof. Kahar Mudzakir, Mr. Kasman Singodimejo, dan Kyai H. Mas Mansyur (salah satu dari empat serangkai) yang sejak awal aktif berperan dalam BPUPKI.
Baca Juga: Islam dan Nasionalisme
Menyadari bahwa saat ini bangsa kita berada dalam pusaran berbagai ideologi dan proses perubahan demografi besar-besaran, terutama sejak terbukanya pintu reformasi, Muhammadiyah menyikapi dengan merumuskan kembali Ideologi Pancasila yang berkesesuaian dengan nilai-nilai Islam. Rangkaian perumusan tersebut dilakukan ketika sidang Tanwir di Bandung pada 2012, diperkuat sidang Tanwir di Samarinda pada 2014, dan disahkan pada sidang Muktamar ke-47 di Makassar tahun 2015. Adapun hasil rumusan tersebut adalah “Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdi wa asy-Syahadah”. Konsep tersebut didasarkan pada ideologi dan pemikiran resmi organisasi yang diharapkan menjadi landasan serta orientasi pemikiran dan tindakan bagi warga Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam rumusan di atas, Negara Pancasila dipahami sebagai ideologi negara hasil konsensus segenap elemen bangsa (dar al-ahdi) dan sekaligus sebagai tempat untuk pembuktian atau kesaksian (dar asy-syahadah) untuk mewujudkan negara yang aman dan damai (dar as-salam). Dengan adanya konsep Pancasila sebagai Dar al-Ahdi wa asy-Syahadah, Muhammadiyah telah berhasil menemukan titik temu antara keislaman dan kehidupan berbangsa. Muhammadiyah sadar jika agama Islam harus menjadi ruh spiritual dalam kehidupan bernegara. Di sisi lain, Muhammadiyah juga tidak menafikan bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang beragam dengan muatan “Bhinneka Tunggal Ika” di dalamnya.
Menurut Prof. Yunahar Ilyas (almarhum), kata syahadah pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 143 (yang artinya), “dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat tengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu”. Asy-syahadah bermakna referensi, teladan, tempat umat Islam mengekspresikan, menjalankan ajaran Islam, dan harus berlomba dengan pemeluk agama lain dalam membangun negeri ini (fastabiqul khairat).
Ibu Riyanti, dari sejarah perumusan Pancasila dan dirumuskannya “Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdi wa asy-Syahadah” di atas, dapat disimpulkan bahwa ada kaitan yang erat antara Pancasila dengan Muhammadiyah. Ringkasnya, Muhammadiyah turut membidani lahirnya Pancasila dan berupaya menjaganya sebagai bagian dari konsensus atau kesepakatan bersama elemen-elemen bangsa, melalui upaya fastabiqul khairat untuk mewujudkan negara yang aman dan damai. Ada spirit “kompetisi dalam kebaikan” di sini yang mengisyaratkan umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, untuk selalu siaga berlomba maju ke depan dalam kebaikan memajukan bangsa, dengan nilai-nilai Islam sebagai pondasinya.
Hal ini harus terus disosialisasikan pada kalangan warga Muhammadiyah dalam ikhtiar kita sebagai warga negara Indonesia yang ikut menjaga Pancasila dengan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Apalagi ibu Riyanti adalah sosok guru yang memegang amanah mendidik dan mencerdaskan anak bangsa, sudah sepantasnya menjadi syuhada’, menjadi rujukan atau referensi bagi orang lain di tengah masyarakat.
Semoga sedikit penjelasan dari Kak ‘Aisy ini dapat menguatkan pemahaman Ibu Riyanti dan para pembaca yang memerlukan. Untuk mendapatkan penjelasan dan pendalaman yang lebil luas lagi, Ibu dapat membaca buku Negara Pancasila sebagai Dar al-Ahdi wa asy-Syahadah yang sudah dicetak dan terdapat di toko milik Muhammadiyah.
Selamat membaca.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
(Bunda Imah)
1 Comment