Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Berdasarkan firman Allah swt. dalam Q.S. Ali Imran: 97, setiap muslim yang mampu wajib mengadakan perjalanan haji ke Baitullah.
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ
Artinya, “mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”.
Kewajiban menunaikan haji bagi setiap muslim hanya sekali seumur hidup. Adapun yang kedua dan seterusnya adalah sunnah. Meskipun begitu, keputusan untuk melakukan perjalanan haji yang kedua dan seterusnya mestinya harus dilandasi atas berbagai pertimbangan. Apalagi dalam konteks Indonesia, ada beberapa masalah yang muncul berkaitan dengan hal ini.
Baca Juga: Meneladani Kehidupan Harmonis Kaum Muhajirin dan Anshar
Pertama, kuota perjalanan haji terbatas, sementara peminat haji membludak. Alhasil, masa tunggu keberangkatan ke tanah suci menjadi sangat lama.
Kedua, keputusan untuk menunaikan haji untuk kali kedua dan seterusnya sama halnya dengan menutup atau memperkecil peluang orang yang belum pernah ke Baitullah. Hal ini tentu bertentangan dengan asas prioritas, yakni mendahulukan yang wajib daripada yang sunnah.
Ketiga, di Indonesia, tingginya animo umat Islam untuk menunaikan haji beriringan dengan masih tingginya angka kemiskinan masyarakat. Artinya, ada dimensi sosial yang terabaikan di tengah praktik haji berulang kali.
Atas dasar itu, Muhammadiyah menganjurkan agar umat Islam di Indonesia menahan diri untuk tidak melakukan haji berulang kali dengan pertimbangan: (a) mendahulukan yang belum, dan; (b) memprioritaskan ajaran al-Maun, yakni memberdayakan kaum dhuafa.
*Diolah dari Himpunan Putusan Tarjih Jilid 3 tentang Tuntunan Manasik Haji