Hikmah

Pandangan Muhammadiyah tentang Kepemimpinan Perempuan (1)

muballighat digital

Topik kepemimpinan perempuan telah cukup lama menjadi diskursus keagamaan yang menarik perhatian Muhammadiyah secara umum dan Majelis Tarjih secara khusus. Sependek pengetahuan penulis, setidaknya ada tiga dokumen dari Majelis Tarjih terkait sikap Muhammadiyah mengenai hal ini.

Pertama, buku berjudul Adabul Marah fil Islam yang merupakan produk Muktamar Khususi Tarjih tahun 1976. Kedua, Fatwa Tarjih tahun 1997 yang termuat dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 4. Ketiga, buku berjudul Wacana Fiqh Perempuan Perspektif Muhammadiyah yang merupakan kumpulan makalah hasil seminar yang diselenggarakan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA tahun 2003.

Ketiga dokumen tersebut memiliki nilai penting tersendiri bagi warga Muhammadiyah karena memuat pandangan berkemajuan mengenai topik kepemimpinan perempuan. “Pandangan berkemajuan” perlu digarisbawahi di sini karena inilah karakter yang membedakan antara pandangan Muhammadiyah dari pandangan organisasi lainnya. Pandangan berkemajuan dirumuskan sesuai dengan watak gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid (pembaruan) dan juga sejalan dengan Manhaj Tarjih yang tidak terikat dengan preseden dari masa lalu (pendapat para fukaha).

Dalam tiga dokumen tersebut termuat tafsir keagamaan kontekstual terkait nas-nas Al-Qur’an dan hadis Nabi mengenai kepemimpinan perempuan. Tiga dokumen tersebut juga berisikan pemikiran Muhammadiyah yang melakukan upaya isti’ab wa tajawuz (akomodasi dan lompatan) terhadap dan dari pandangan para ulama klasik. Hal yang masih relevan dipertahankan dan yang dianggap tidak lagi sesuai tidak diakomodir dan, sebagai gantinya, dikembangkan suatu pemikiran baru yang, pada satu sisi tetap berpijak pada qaedah usuliyyah, namun di sisi lain lebih sejalan dengan kebutuhan masyarakat di era modern.

Pandangan Muhammadiyah

Dalam turast (warisan pemikiran) Islam, istilah kepemimpinan diekspresikan dalam berbagai terma, diantaranya imamah, khilafah, imarah, wilayah dan lain sebagainya. Tidak kurang, kepemimpinan perempuan (imamatul marah) juga menjadi bagian dari isu yang didiskusikan oleh para ulama dalam tradisi turast sejak periode klasik. Secara singkat dapat dikatakan di sini bahwa kecendrungan umum yang berlaku di kalangan para ulama adalah menolak kepemimpinan perempuan.

Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari misalnya melaporkan hal berikut: “ihtajja bi hadis Abi Bakrah man qala la yajuzu an tuliya al-marata al-qadla wa huwa qaulul jumhur (berhujjahlah dengan hadis Abi Bakrah orang yang berpandangan tidak boleh menugaskan perempuan sebagai hakim dan ini adalah pendapat mayoritas ulama)”. Ibnu Hazm bahkan mengklaim bahwa tidak bolehnya perempuan menjadi perempuan adalah kesepakatan para ulama. Dalam kitabnya Maratibul Ijma’ ia menulis: “jami’u firaqi ahlil qiblah laysa minhum ahad man yujizu imamah al-marah (dari kesuluruhan kelompok umat Islam tidak seorang pun yang membolehkan kepemimpinan perempuan)”. 

Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih mengambil jalan pikiran yang berbeda dari sikap para ulama di atas. Dalam Adabul Marah (1982: 52) disebutkan bahwa “tidak alasan dalam agama untuk menolak wanita untuk menjadi hakim, direktur sekolah, direktur perusahaan, camat, lurah, menteri, walikota dan sebagainya”. Dalam Wacana Fiqh Perempuan pernyataan tersebut dipertegas lagi bahwa untuk jabatan sebagai presiden sekalipun perempuan dapat menempatinya (2005: 50).

Dalam Fatwa Tarjih tahun 1997 juga termuat suatu pernyataan, “Majelis Tarjih PP Muhammadiyah tidak melihat adanya dalil-dalil yang merupakan nash bagi pelarangan wanita menjadi pemimpin”. Dari beberapa kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa pandangan Muhammadiyah mengenai kepemimpinan perempuan, baik di level bawah (kecamatan), komunitas, sampai pada wilayah publik sebagai presiden, yang dalam fikih klasik disebut wilayah uzma (kepemimpinan urusan terbesar), adalah pandangan suportif (memberi dukungan). Pandangan tersebut dilandaskan kepada dalil-dalil yang akan dibahas lebih lanjut di bawah ini: 

Pertama, dalil Al-Quran, yang artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [At-Taubah: 71].

Ayat di atas adalah suatu bukti tegas bahwa dalam agama Islam kepemimpinan perempuan sangat terbuka lebar. Setiap perempuan memiliki kesempatan yang sama dan tanggungjawab yang sama pula sebagai pemimpin. Pintu masuk pagi penafsiran mengenai bolehnya kepemimpinan perempuan dalam ayat di atas adalah frasa “amar makruf nahi munkar”. 

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa orang-orang mukmin perempuan dan laki-laki saling tolong menolong satu sama lain dalam melakukan amar makruf nahi munkar. Menurut Majelis Tarjih dalam putusan tahun 1976 termasuk dalam kegiatan amar makruf nahi munkar adalah masalah politik dan ketatanegaraan. Dengan perluasan makna amar makruf nahi munkar, ayat tersebut kemudian dapat dipahami sebagai dasar bahwa setiap laki-laki dan perempuan mengemban tanggungjawab yang sama dalam urusan kemasyarakatan dan umum sebagai seorang pemimpin publik.

Hemat penulis, penempatan surat At-Taubah ayat 71 sebagai dasar bagi kepemimpinan perempuan adalah suatu bentuk ijtihad baru. Para ulama dari periode klasik tidak mentafsirkannya demikian. Para ulama sebagai gantinya justru menolak kepemimpinan perempuan dengan menyandarkan argumentasinya pada ayat lain, yaitu Q.s. 4: 34. Ayat ini berbicara tentang qiwamah laki-laki atas perempuan. Bagaimana Majelis Tarjih memaknai ayat ini? Ada dua hal penting yang menjadi sikap Majelis Tarjih dalam memahami ayat di atas.

Bersambung ke Pandangan Muhammadiyah tentang Kepemimpinan Perempuan (2)

Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 4 April 2017, Rubrik Hikmah

Sumber ilustrasi : https://umroh.com/blog/category/sejarah-islam/page/13/

Related posts
PerempuanPolitik dan Hukum

Menembus Batas: Memahami Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Islam

Oleh: Najihus Salam Kepemimpinan perempuan terus menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Terlebih beberapa calon pemimpin di Indonesia masih ada yang berfikir perempuan…
Berita

Jambore Kader 'Aisyiyah Dibuka, Bappenas RI: Muhammadiyah dan 'Aisyiyah sudah Mempelopori Perspektif GEDSI Lebih Dahulu

Sleman, Suara ‘Aisyiyah –  Pembukaan Jambore Kader ‘Aisyiyah pagi ini (9/11) berlangsung dengan sangat khidmat. Dihadiri oleh sejumlah mitra yang menjadi tamu…
Lensa Organisasi

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah

Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) merupakan seperangkat nilai dan norma islami yang bersumber pada al-Quran dan as-Sunah yang dijadikan pola tingkah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *