Berita

Pandangan Muhammadiyah tentang Mitos dan Amalan di Masa Kehamilan

mitos kehamilan menurut Muhammadiyah

Yogyakarta, Suara ‘AisyiyahSudah sejak lama masyarakat Indonesia meyakini berbagai macam mitos kehamilan, seperti mitos bahwa ibu hamil tidak boleh minum kopi, tidak boleh berolahraga, tidak boleh berhubungan seksual, dan sebagainya. Mitos tersebut berkembang seiring adanya pandangan bahwa proses kehamilan merupakan sesuatu yang istimewa.

Masyarakat pun punya beberapa tradisi, yang ketika Islam hadir di bumi Nusantara, terjadilah proses akulturasi budaya. Tradisi mapati, mitoni, membaca surat Yusuf dan/atau Maryam, dan banyak bersedekah adalah beberapa di antara tradisi tersebut.

Ghoffar Ismail, Anggota Divisi Kaderisasi dan Organisasi Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyebut bahwa tradisi tersebut merupakan cara masyarakat menyiapkan kehamilan agar anaknya kelak menjadi orang baik.

Baca Juga: Kehamilan dengan Diabetes Melitus (DM)

Tradisi mapati, misalnya, dikaitkan dengan narasi hadis yang menjelaskan bahwa malaikat meniupkan ruh kepada janin pada bulan keempat kehamilan. Menurut Ghoffar, masyarakat sebenarnya hanya mengait-ngaitkan antara tradisi yang sudah ada dengan narasi hadis, sebab Nabi Muhammad tidak pernah melakukan hal khusus semacam itu.

Pertanyaannya adalah, apakah praktik semacam itu dibolehkan. Berbuat amal saleh, kata Ghoffar, boleh dilakukan kapan saja. Dalam pandangan Muhammadiyah, tradisi tersebut bukan bagian dari ibadah khusus (mahdhah), melainkan bagian dari muamalah duniawiyah.

“Maka sebenarnya tidak ada persoalan, asalkan tidak bertentangan dengan syariat,” terang Ghoffar dalam forum Pengajian Tarjih Muhammadiyah dengan tema “Menguak Mitos dan Amalan-Amalan di Masa Kehamilan”, Rabu (3/1).

Tradisi-tradisi tersebut, kata Ghoffar melanjutkan, tidak masalah selama tidak ada khurafat di dalamnya. Misalnya keyakinan bahwa jika tradisi tersebut dilakukan maka akan berdampak baik bagi si anak, dan sebaliknya, jika tidak dilakukan akan berdampak buruk bagi si anak. Keyakinan semacam inilah yang perlu dihilangkan dengan dakwah secara bertahap. (sb)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *