Oleh: Evi Sofia Inayati*
Dewasa ini, kita sering mendapati berbagai istilah pakaian muslimah di masyarakat, mulai dari jilbab syar’i, hijab halal, hingga pakaian hijrah/niqab/ cadar. Kesemuanya mengarah pada model, ukuran, dan bentuk tertentu. Sebagian kalangan berpandangan bahwa ukuran kesalehan perempuan pertama kali dilihat dari pakaiannya; semakin lebar, panjang, dan tertutup pakaian yang digunakan untuk menutup tubuhnya menandakan bahwa si pemakai adalah muslimah sejati dan paripurna/kaffah keimanannya.
Pandangan ini muncul karena anggapan bahwa seluruh tubuh perempuan itu indah dan mengundang fitnah, meskipun sebenarnya hal tersebut dapat dipengaruhi oleh cara pandang terhadap perempuan, bahwa perempuan itu adalah makhluk penggoda. Muslimah yang hendak “hijrah” dianggap tidak cukup memakai hijab yang segi empat dan ukuran sedang atau biasa digunakan sehari-hari.
Dalil Kewajiban Menutup Aurat
Kewajiban menutup aurat didasarkan pada Q.s. an-Nur [24]: 30-31 dan Q.s. al-Ahzab [33]: 59. Q.s. an-Nur [24]: 30- 31 merupakan ayat yang berkaitan dengan mahram. Adapun Q.s. al-Ahzab [33]: 59 adalah ayat berkaitan dengan pemakaian busana muslimah.
Ditilik dari asbabun nuzul, turunnya Q.s. an-Nur [24]: 30 diawali oleh adanya riwayat dari Ali bin Abi Thalib yang mengatakan bahwa pada masa Rasulullah saw., ada seorang laki-laki yang berjalan di Madinah, kemudian ia melihat seorang perempuan, dan perempuan itupun melihatnya. Lalu setan pun menggoda keduanya sehingga keduanya saling pandang karena terpikat. Maka ketika laki-laki tersebut mendekati suatu tembok untuk melihat perempuan tersebut, hidungnya tersentuh tembok hingga luka. Lalu ia bersumpah, “demi Allah saya tidak akan membasuh darah ini hingga bertemu Rasulullah saw. dan memberi tahu kepadanya tentang masalahku”. Laki-laki itu kemudian datang kepada Rasulullah dan menceritakan peristiwa yang ia alami. Kemudian bersabdalah beliau saw: “Itu adalah balasan dosamu”, lalu turunlah Q.s. anNur [24]: 30. Riwayat ini ditakhrijkan oleh Ibnu Mirdawaih.
Adapun asbabun nuzul, Q.s. an-Nur [24]: 31 ialah sebagai berikut: ketika Asma’ binti Marsad berada di kebun kurmanya, ia didatangi oleh beberapa perempuan dengan tidak memakai izar (kain), sehingga tampaklah gelang kaki dan dada mereka. Maka berkatalah Asma’ binti Marsad, “Itu tidak baik.” Kemudian Allah swt. menurunkan Q.s. an-Nur [24]: 31. Riwayat ini di-takhrijkan oleh Ibnu Katsir dari Muqatil ibnu Hibban dari Jabir ibnu Abdillah al-Ansariy yang mendengar Jabir ibnu Abdillah al-Ansariy menceritakan riwayat tersebut. Adapun sabab diturunkannya Q.s. al-Ahzab [33]: 59 yaitu ketika istri Rasulullah saw. dan para perempuan muslimah keluar malam untuk suatu keperluan, mereka sering diganggu oleh para laki-laki yang duduk di pinggir jalan. Peristiwa tersebut kemudian dilaporkan kepada Rasulullah saw.
Meskipun Q.s. al-Ahzab [33]: 59 diturunkan karena adanya sebab tertentu, namun ayat ini berlaku untuk seluruh kaum mukmin. Pada Q.s. an-Nur [24]: 30-31, Allah memerintahkan kepada kaum mukminin, baik laki-laki maupun perempuan agar menahan pandangannya terhadap lawan jenis yang bukan mahramnya, dan melarang memandang kecuali hanya bagian yang diperbolehkan memandangnya. Allah juga memerintahkan kaum mukminin untuk menjaga kemaluannya dari perzinaan dan menutup auratnya hingga tidak terlihat oleh siapapun, sehingga hatinya menjadi lebih bersih dan terjaga dari kemaksiatan. Apabila dengan tidak sengaja memandang sesuatu yang dilarang, segera memalingkan pandangannya, dan jangan mengulanginya dengan pandangan yang penuh syahwat.
Perempuan muslimah tidak diperbolehkan untuk menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak, selain kepada mahramnya. Jika perhiasan tersebut nampak tanpa sengaja, maka tidak mengapa, Allah Maha Pengampun. Hal ini berkaitan dengan kebiasaan berpakaian perempuan masa jahiliyah yang suka membuka bagian leher, dada, dan lengannya, bahkan sebagian tubuhnya hanya sekadar menyenangkan laki-laki hidung belang.
Baca Juga: Adab-adab Berpakaian
Ketiga ayat di atas memperoleh pandangan dan penafsiran yang berbeda dari madzhab. Madzhab as-Syafi`iyyah dan al-Hanabilah berpendapat bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat, dengan alasan bahwa Q.s. an-Nur [24]: 31 tegas melarang memperlihatkan perhiasannya. Mereka membagi zinah (perhiasan) menjadi dua macam, yaitu: (a) zinah khalqiyyah (perhiasan yang berasal dari penciptaan Allah), seperti wajah. Ia adalah asal keindahan dan menjadi sumber fitnah, dan; (b) zinah muktasabah (perhiasan yang dibuat manusia), seperti baju, gelang, dan bedak.
Ayat tersebut mengharamkan kepada perempuan menampakkan perhiasan secara mutlak, baik zinah khalqiyyah maupun zinah muktasabah. Perempuan haram menampakkan sebagian anggota badannya atau perhiasaannya di hadapan laki-laki. Illa ma zahara minha (kecuali apa yang biasa tampak daripadanya) mereka takwilkan dengan menampakkan tanpa sengaja, seperti tersingkap karena angin, baik wajah atau anggota badan lainnya, sehingga makna ayat tersebut menjadi “janganlah mereka menampakkan perhiasannya selama-lamanya”.
Hadis riwayat Ibnu Abbas ra, ia menceritakan bahwa Nabi saw. memboncengkan al-Fadl Ibnu Abbas di belakangnya pada hari Nahr, dia adalah orang yang bagus rambutnya dan berkulit putih. Ketika itu datanglah seorang perempuan meminta fatwa kepada beliau, kemudian al-Fadl melihatnya dan perempuan itupun melihat al-Fadl. Kemudian Rasulullah saw., memalingkan wajah al-Fadl ke arah lain… (ditakhrijkan oleh al-Bukhari, dari Ibnu Abbas, Bab Haji Wada’).
Apabila keharaman melihat rambut dan kaki telah disepakati oleh para ulama, maka keharaman melihat wajah adalah lebih pantas disepakati, sebab wajah adalah asal keindahan dan juga sumber fitnah, maka bahaya memandang wajah adalah lebih besar. Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat kecuali wajah dan dua tapak tangan dengan alasan Q.s. an-Nur [24]: 31 mengecualikan apa yang biasa tampak, yaitu yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan. Pendapat tersebut dinukil dari sebagian sahabat dan tabi’in. Sa’id bin Jabir juga berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan apa yang biasa tampak adalah wajah dan dua telapak tangan, demikian pula Ata.
Mereka menguatkan pendapat tersebut dengan hadis yang ditakhrijkan oleh Abu Dawud dari ‘Aisyah ra. ketika Asma’ binti Abi Bakar menghadap Rasulullah saw. dengan pakaian yang tipis. Kemudian Rasulullah berpaling daripadanya dan bersabda, “Hai Asma’, sesungguhnya apabila perempuan itu sudah sampai masa haid, tidaklah boleh dilihat sebagian tubuhnya kecuali ini dan ini”, dan beliau menunjuk kepada muka dan kedua tapak tangannya.
Di antara dalil yang memperkuat pendapat bahwa wajah dan dua telapak tangan adalah bukan aurat, ialah bahwa dalam melakukan salat dan ihram, perempuan harus membuka wajah dan dua telapak tangannya. Seandainya kedua anggota badan tersebut termasuk aurat, pasti tidak diperbolehkan membuka keduanya pada waktu mengerjakan salat dan ihram, sebab menutup aurat adalah wajib, tidaklah sah salat atau ihram seseorang jika terbuka auratnya.
Dua pandangan dan penafsiran yang berbeda ini menandakan tafsir tentang batasan aurat perempuan yang harus ditutup tidaklah satu atau tunggal. Jika demikian, bagaimana sebenarnya ketentuan berbusana muslimah sesuai ajaran Islam dan tentu sudah termasuk memenuhi ketentuan syar’i, sedangkan bentuk dan model busana juga sangat dipengaruhi oleh budaya dan kebiasaan tertentu? Dalam Adabul Mar’ah fil Islam, Keputusan Muktamar Lajnah Tarjih tahun 1972 yang ditanfidz pada tahun 1976, dinyatakan bahwa sebagai makhluk terhormat dan mulia, manusia memiliki rasa kehormatan, rasa malu, dan mengerti bagian tubuh yang tidak pantas diperlihatkan, dan ini merupakan anugerah Allah swt.
Berpakaian adalah wujud memenuhi kebutuhan akan rasa malu dan pengertian perlunya mengenakan pakaian. Pakaian perlu memenuhi tiga kegunaan, yaitu: (a) menutup bagian tubuh yang tidak pantas terlihat; (b) hiasan dan keindahan yang tidak meninggalkan kesusilaan agama, dan; (c) menjaga kesehatan. Namun, ketiganya harus disempurnakan dengan pakaian hati, yaitu takwa sebagaimana Q.s. al-A’raf [7]: 26.
Bagian tubuh perempuan muslimah yang boleh terlihat adalah wajah dan kedua telapak tangan (punggung dan tapak tangan), salah satunya adalah hadis riwayat Abu Dawud. Rasulullah saw. bersabda, yang artinya: “Wahai Asma, sesungguhnya seorang perempuan itu jika sudah haid (sudah baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya (HR. Abu Dawud).
Hadis lain yang senada dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari ‘Aisyah ra. ini adalah hadis riwayat Ibnu Jarir At-Thabrani dari Abu Qatadah, hadis riwayat Abu Dawud, dan hadis riwayat At-Thabrani dan ‘Aisyah ra. Tuntunan berpakaian adalah kesopanan dan menurut kebutuhan dalam pergaulan. Patut atau tidak patutnya adalah sangat tergantung kepada keadaan yang memakainya. Perempuan yang sudah lanjut usia tidak akan sama pakaiannya dengan yang masih belia, pakaian perempuan yang sedang bekerja di ladang tentu akan berbeda dengan pakaian yang dikenakan dalam pertemuan.
Pandangan Muhammadiyah terhadap Cadar
Pandangan Muhamadiyah tentang pemakaian niqab/cadar dituangkan dalam tiga fatwa Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tiga fatwa tersebut merespons tiga pertanyaan yang diajukan terkait dengan pemakaian cadar. Pada fatwa pertama yang dimuat dalam Tanya Jawab Agama Jilid 4 tentang Masalah Wanita, Majelis Tarjih memberikan tanggapan pada pertanyaan bagaimanakah hukumnya perempuan memakai cadar dan apakah ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan hadis, dengan mengemukakan Q.s. anNur [24]: 31, Q.s. al-Ahzab [33]: 59, dan hadis riwayat Abu Dawud dari ‘Aisyah ra., tentang batas aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, sebagai dasar. Dari ketiga dalil/nash tersebut tidak mengisyarakatkan perintah pemakaian cadar. Bahkan jika diperhatikan, pemakaian cadar bertentangan dengan isi ayat-ayat dan hadis di atas.
Baca Juga: Peran Muslimah dalam Revitalisasi Masjid
Pada fatwa kedua, ditanyakan tentang kewajiban menutup aurat bagi perempuan muslimah di Indonesia serta batas-batas aurat yang harus ditutupi, dan apakah derajat wajibnya itu seperti wajibnya salat lima waktu. Si penanya adalah seorang laki-laki bermukim di Makkah al-Mukarramah. Dalam Tanya Jawab Agama Jilid 7 tentang Aurat dan Jilbab, sekali lagi dalil yang dijadikan sumber sama dengan fatwa pertama. Majelis Tarjih berpandangan bahwa pendapat aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan adalah lebih kuat, dan pendapat tersebut lebih pas bagi muslimah di Indonesia. Sekalipun demikian, menutup wajah dan telapak tangan tidaklah terlarang, bahkan merupakan perbuatan kehatihatian yang terpuji, dan menutup aurat dengan libāsut-taqwa (pakaian takwa) adalah paling baik.
Sepintas, fatwa pertama dan kedua ini tampak bertentangan. Namun, apabila dicermati, maka fatwa kedua bersifat sangat kontekstual, si penanya bermukim di Makkah yang memiliki tradisi pekaian perempuan bercadar. Perempuan Indonesia yang tinggal di Saudi Arabia ketika bercadar dapat dimaklumi karena menyesuaikan tradisi setempat.
Pada fatwa ketiga, pertanyaan yang diajukan kepada Majelis Tarjih adalah hukumnya cadar dan jenggot menurut al-Qur’an dan hadis, apakah semua istri Nabi Muhammad memakai cadar, dan apakah orang yang tidak memakai cadar dan jenggot itu ingkar sunnah. Menjawab pertanyaan pertama, Majelis Tarjih merujuk pada fatwa pertama, yang dituntunkan syariat Islam bagi perempuan adalah memakai jilbab, bukan cadar. Menjawab pertanyaan kedua, Majelis Tarjih mengemukakan bahwa banyak para sahabat perempuan (shahabiyaat) tidak bercadar atau menutupi wajah dan kedua telapak tangan.
Salah satu riwayat menceritakan tentang kisah Bilal melihat perempuan yang bertanya kepada Nabi saw. yang diceritakan bahwa pipi perempuan tersebut merah kehitam-hitaman. Ini artinya Bilal dapat melihat wajah perempuan tersebut. Pertanyaan ketiga dijawab oleh Majelis Tarjih bahwa tidak bercadar dan berjenggot tidaklah tergolong ingkar sunnah, karena yang dimaksud dengan ingkar sunnah adalah orang-orang yang tidak mempercayai sunnah Nabi dan hanya mengamalkan apa yang termaktub dalam al-Qur’an saja.
Manusia dijadikan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal satu sama lain sebagaimana Q.s. alHujurat [49]: 13. Dalam tata pergaulan, salah satu cara mengenal adalah melalui wajah. Oleh karena itu, sebaiknya wajah ditampakkah, toh agama juga tidak memerintahkan menutup wajah. Tradisi berpakaian dari tempat tertentu tidak harus dikaitkan dengan pemahaman agama.
Didasarkan pada berbagai pandangan termasuk Muhammadiyah atas dalil pemakaian busana muslimah, jelaslah bahwa muslimah memakai kerudung hingga menutup dada itu sudah memenuhi ketentuan menutup aurat, dengan model pakaian yang tidak sesak. Berpakaian juga perlu mempertimbangkan prinsip wasathiyah, tidak kurang tetapi juga tidak berlebih-lebihan sehingga tidak terjebak pada ghuluw (sikap berlebihan) dalam memahami dan mengamalkan agama yang akhirnya justru tidak sesuai dengan prinsip Islam itu sendiri. Model dan warna busana (pakaian dan kerudung) dapat beragam tergantung dari kenyamanan dan kebiasaan si pemakai sepanjang masih memenuhi ketentuan agama.
*Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah Majelis Tabligh dan Ketarjihan