Oleh : Dr. Hamim Ilyas, M.Ag. (Wakil Ketua Majelis Tarjih & Tajdid PP Mujammadiyah dan Dosen Fakultas Syarih dan Hukum UIN Sunan Kalijaga)

Islam Wasaṭiyyah, menurut pengertian yang dikembangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional (Munas) IX di Surabaya, adalah model keberagamaan yang moderat dengan pola yang meliputi sepuluh kriteria. Model itu berbeda dari model ekstrem kanan (taṭarruf yamini) yang menganut pola keberagamaan eksklusif, intoleran, kaku/rigid, mudah mengkafirkan orang dan kelompok lain, mudah menyatakan permusuhan dan melakukan konflik, bahkan kalau perlu melakukan kekerasan terhadap sesama muslim yang tidak sepaham. Model ini juga berbeda dari model ekstrem kiri (taṭarruf yasari) yang menurutnya (MUI), menganut pola keberagamaan permisif dan liberal (Kiblat.net, 27-08-2015).
Dalam perspektif filsafat, model merupakan unsur utama dari paradigma dalam pengertian sebagai seperangkat gagasan yang berfungsi untuk memahami dan menafsirkan realitas. Adapun unsur utama lainnya adalah pandangan fundamental dan nilai. Dalam hubungannya dengan agama Islam, Islam Wasaṭiyyah merupakan model darinya dengan pandangan fundamentalnya sebagai agama raḥmatan lil-‘âlamîn dan nilai-nilai fundamental yang melekat padanya.
Model Islam Wasaṭiyyah
Menurut MUI, model Islam Wasaṭiyyah menggunakan pola keberagamaan dengan praktik yang meliputi sepuluh kriteria berikut: Tawassuṭ (mengambil jalan tengah), yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifraṭ (berlebih-lebihan dalam beragama) dan tafriṭ (mengurangi ajaran agama).
Tawazun (berkeseimbangan), yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi semua aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, tegas dalam menyatakan prinsip yang dapat membedakan antara inhiraf (penyimpangan) dan ikhtilaf (perbedaan). I’tidal (lurus dan tegas), yaitu me-nempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional.
Tasamuh (toleransi), yaitu mengakui dan menghormati perbedaan dalam aspek keagamaan dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Musawah (egaliter), yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi, dan asal usul seseorang. Syura (musyawarah), yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya.
Iṣlaḥ (reformasi), yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlaḥah ‘amah) de-ngan tetap berpegang pada prinsip al-muhafaḍah ‘alâ al-qadîm al-ṣâlih wa al-akhżu bi al-jadîd al-aṣlaḥ.
Aulawiyyah (mendahulukan yang prioritas), yaitu kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting dan harus diutamakan untuk diimplementasikan dibandingkan dengan yang kepentingannya lebih rendah.
Taṭawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif), yaitu selalu terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan sesuai dengan perkembangan zaman serta menciptakan hal baru untuk kemaslahamatan dan kemajuan umat manusia. Tahaḍḍur (berkeadaban), yaitu menjunjung tinggi akhlakul-karimah, karakter, identitas, dan integritas sebagai khairu ummah dalam kehidupan kemanusiaan dan peradaban (Kiblat.net, 27-08-2015).
Baca selanjutnya di Paradigma Islam Wasatiyyah (Part 2)
Sumber Ilustrasi : https://konsultasisyariah.com/33164-jangan-letakkan-apapun-diatas-mushaf-al-quran.html