Oleh: David Efendi*
Masa-Masa Paling Semarak
Meskipun tidak pernah segegap gempita perkembangan mode busana, musik populer, tren film, hobi, dan berbagai fenomena lain dalam ranah budaya populer, gerakan literasi kita pernah mengalami masa-masa pasang naik. Ini terjadi sekitar tahun 2016 sampai 2018, tahun-tahun yang penuh dengan perayaan gerakan literasi.
Sepanjang sejarah Republik Indonesia berdiri, kurun waktu itu mungkin merupakan masa yang paling semarak dalam oleh gerakan literasi. Ribuan komunitas literasi hadir di ruang publik. Ada 400 komunitas terdaftar di Serikat Taman Pustaka, beberapa modifikasi dari kerja berpuluh-puluh tahun muncul kembali. Ada Rumpun FTBM, Pustaka Bergerak, Serikat Taman Pustaka, masjid, pesantren, juga kelompok yang hidup di jalanan. Mereka ibarat orkestra demokrasi pengetahuan. Ada fenomena membawa buku ke luar rumah dan gedung untuk bertemu orang tua asuh dan atau pembacanya.
Saya menikmati tahun-tahun ini sebagai tahun penuh berkah sebelum gerakan literasi mengalami juga tahun-tahun pandemi atau pagebluk global. Saya terlibat dalam bagian yang suka “mengolahragakan” buku-buku. Buku-buku dibawa ke alun-alun untuk dijemur agar mereka sehat dan kuat melalui hidup pada zaman penuh petaka dan gulma. Buku harus kuat melawan rayap-rayap peradaban.
Pandemi memang memukul mundur gerakan literasi sampai terseok-seok kehilangan arah juang. Upaya menolak punah kerap dilakukan, misalnya dengan gerakan dari Rumah Baca Komunitas dan BirruNa, mengantar buku-buku dari rumah ke rumah. Cerita heroik di tengah prahara Pandemi Covid-19 itu menjadi sepenggal kisah yang layak diabadikan sebagai penanda zaman pancaroba literasi.
Salah satu inspirasinya datang dari Kerala India yang memberikan teladan bagaimana sebuah komunitas mengajarkan anak-anak perempuan agar bisa naik sepeda angin untuk dapat mengakses bacaan yang lokasinya berjarak cukup jauh. Dengan cara itu, mereka bisa berjuang memajukan pikiran bangsanya, memangkas ketertinggalan budaya.
Dari dalam negeri sendiri, inspirasi serupa itu juga ada. Kita ingat bagaimana dahulu pada masa kolonial, organi- sasi perempuan yang kelak bernama Nasyiatul ‘Aisyiyah juga pernah membuka Ruang Baca Muhammadiyah dengan Biblioteka-nya. Lalu pada era 1980-an, ada Dauzan Farook yang menjalankan perpustakaan kelilingnya yang bernama Mabulir (Majalah Buku Keliling Bergilir) secara mandiri di Kauman, Yogyakarta.
Mereka telah menciptakan sejarahnya. Jelas apa yang mereka lakukan itu merupakan sebuah kerja peradaban. Mereka membuka akses pengetahuan secara gratis, digerakkan oleh sema- ngat dan solidaritas anti penjajahan dan pembodohan.
Surutnya Gerakan Literasi
Akan tetapi, pasang naik itu tidak lama dan kini cenderung terus melandai. Sesekali memang ada video viral dari menara pencakar langit milik Perpustakaan Nasional RI yang membanggakan, tetapi tidak berumur panjang, dan lebih sering sunyi. Perpustakaan daerah di Yogyakarta atau Malang, misalnya, pernah dikenal sebagai perpustakaan yang inovatif, sekarang pun seakan kehilangan elan vital-nya. Ada proses kematian secara bertahap dan pasti.
Pada 2018 dalam suatu konferensi di Belanda terdengar cerita-cerita tentang makin banyaknya perpustakaan umum yang ditutup karena mahalnya biaya mengurus perpustakaan. Dari para mahasiswa Ph.D. dari Kyoto University didapati cerita yang sama: ditutupnya perpustakaan-perpustakaan umum.
Kini perpustakaan daerah di Yogya- karta makin sunyi dibandingkan pada 2007-2010-an yang marak karena inovasi-inovasinya. Pesta buku kerap digelar dengan melibatkan perpustakaan dan mode ini banyak ditiru di banyak perpustakaan daerah di berbagai tempat. Zaman perayaan literasi memang telah usai.
Proses itu muncul seiring dengan datangnya revolusi teknologi informasi dan komunikasi digital dengan internetnya yang mengubah banyak hal. Munculnya secara massif berbagai situs di dunia maya, platform informasi dan pengetahuan, penggunaan media sosial, secara dramatis telah menjauhkan peradaban manusia dari pendalaman pengetahuan, rumah kertas, buku-buku, dan semesta literasi yang sebelum era internet telah membentuk jati diri peradaban.
Baca Juga: Menelusuri Lorong Buku: Menggalakkan Literasi di Sekolah
Inilah senjakala perpustakaan publik yang punya urat nadi pada anggaran negara, tetapi tanpa kerangka dan otot kerelawanan. Bagaimana pula nasib gerakan literasi yang sumber gizi, otot, tulangnya berasal dari solidaritas kemanusiaan semata, dari niat baik untuk maju dan tumbuh bersama? Apakah para penggeraknya tetap mengimani dan berpegang teguh pada “ayat iqra” di tengah pancaroba politik yang tidak memihak perbukuan?
Pantang Menyerah
Kita yakin bahwa kemampuan membaca tetaplah penting bagi peradaban. Gerakan literasi harus tetap hidup. Lalu, bagaimanakah cara menjaga gerakan literasi yang ototnya adalah amal saleh seperti yang dicontohkan oleh para pejuang literasi itu akan bertahan? Apa saja syaratnya?
Pertama, semua jenis distribusi pengetahuan harus gratis dan tanpa syarat. Hal ini mengingat bahwa yang gratis saja belum tentu banyak jemaahnya, apalagi yang berbayar? Saya meragukan bahwa yang berbayar itu juga akan terus bertahan. Pinjam buku didenda itu warisan kolonial. Tidak boleh ada model begini, kita harus percaya sepenuh hati pada peminjam pembaca buku. Buku digital juga dapat meramaikan gerakan literasi asal ada diskusi dan ruang obrolan sehingga file buku tidak hanya ngendon dalam memori gawai.
Kedua, urun daya yang tanpa batas. Ini hanya melanjutkan sejarah bahwa semua orang dapat menjadi bagian dari gerakan literasi: penulis, penerbit, jurnalis, bloger, admin, loper koran, tukang arsip, penggosip gratisan buku atau peresensi, takmir, tukang kebun, guru, dosen, siapa saja. Pemerintah juga perlu membentuk kerangka dan otot penguat gerakan literasi jika masih merasa punya kewajiban mencerdaskan bangsa.
Membagi buku, menyubsidi penerbit, menggratiskan pengiriman buku (free cargo literacy) adalah “amal saleh negara” yang layak diperhitungkan dan dilanjutkan. Negara harus menolong gerakan literasi yang yatim piatu. Kalaupun bantuan itu tidak secara langsung, barangkali bisa dilakukan dengan cara lain yang memungkinkan karena sumber daya negara sangatlah memadai.
Bagi pegiat literasi yang sunyi dan tetap menyala “teruslah berkarya jangan andalkan negara” (Cak Nun) dan teruslah bekerja menciptakan peristiwa literasi untuk menerangi zaman. Kerja-kerja literasi adalah kerja untuk peradaban sebagaimana catatan Francis Cody dalam buku The Light of Knowledge (2012). Antropolog Amerika yang meneliti gerakan literasi di India itu berkesimpulan bahwa kerja literasi adalah mencerahkan dan mentransformasikan masyarakat.
Cody mendapati gerakan literasi di India telah melakukan usaha itu dengan sangat baik. Gerakan mereka mempunyai kekuatan membebaskan masyarakat dari keterbatasan akses pengetahuan. Upaya menyebarkan pencerahan di kalangan kaum tertindas ini merupakan bagian dari gerakan yang dikenal sebagai Arivoli Iyakkam (Gerakan Pencerahan). Gerakan ini di- anggap sebagai salah satu gerakan lite- rasi massal yang paling sukses dalam sejarah saat ini. Ada nalar kritis dan advokatif di dalamnya untuk menjadikan warga berdaya. Di Indonesia model gerakan literasi seperti ini disebut literasi emansipatif.
Muhammadiyah dan sayapnya telah jelas menjadi bagian dari gerakan literasi itu. Tugas kitalah untuk melanjutkannya. Jalan literasi Dauzan Farook, pustaka bergerak, tampaknya kian jarang ditempuh dalam tradisi mengelola pengetahuan berbasis amal saleh komunitas. Namun, pesimisme semacam itu tidaklah pas untuk kita hidupi. Kita harus kembali menggembirakan gerakan literasi.
Untuk menggairahkan kembali gerakan literasi, geliat literasi Taman Pustaka di Solo dapat kita jadikan penanda bagi perjuangan jihad untuk mengge- rakkan ilmu dan peradaban. Semangat berkumpul, berbagi, dan bergerak semoga kembali hidup dalam hati sanubari para pejuang dan penggerak literasi di Taman Pustaka Muhammadiyah. Wallahu ‘alam bi showab. [9/24]
*Ketua Serikat Taman Pustaka Muhammadiyah, Penggiat Rumah Baca Komunitas.