“Kami santri abad dua hiji
Welas asih dan empati
Selalu happy tanpa bully
Yang lemah kami lindungi.”
Itu adalah potongan lirik Mars Peacesantren Welas Asih, sebuah pesantren yang terletak di Garut, Jawa Barat. Dari lirik tersebut sebagaimana pula nama yang dipilih untuk menamai lembaga pendidikan ini, yaitu peacesantren, tercermin nilai yang dijunjung, salah satunya adalah penghargaan, empati, dan perdamaian.
Sebagai tempat untuk mendidik karakter dan menimba ilmu, sekolah rasanya tercederai jika mengingat temuan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2011-2019, terdapat nyaris 1000 siswa-siswi yang menjadi korban perundungan. Itupun baru yang masuk dalam data KPAI, entah berapa banyak yang tidak terlaporkan.
Di tengah kabar meresahkan tersebut, kehadiran Peacesantren Welas Asih ibarat hembusan angin segar. Lembaga pendidikan ini tidak semata-mata mengajarkan mata pelajaran dalam bentuk teori atau hafalan sebagaimana biasa diajarkan lembaga pendidikan pada umumnya, namun juga berkomitmen untuk mewujudkan nilai-nilai perdamaian di lingkungan sekolah secara nyata. Selasa (13/6/2023) lalu, Irfan Amali selaku Mudir alias Direktur Peacesantren Welas Asih berkenan berbagi cerita kepada wartawan Suara ‘Aisyiyah.
Bukan Pesantren Biasa
Sekolah ini betul bernama “peace- santren”, bukan pesantren. Nama ini awalnya muncul dari nama acara yang sejak tahun 2010 sudah rutin diadakan oleh Peace Generation (Peacegen), sebuah social entreprise yang berfokus pada edukasi mengenai perdamaian dan toleransi.
Irfan Amali yang juga merupakan Co-Founder dari Peacegen menceritakan latar belakang “peacesantren” ini berubah menjadi benar-benar pesantren. Mulanya, ketika anaknya lulus dari bangku SD, Irfan sempat risau mencarikannya SMP/MTs yang tepat karena merasa belum menemukan sekolah yang selaras dengan spirit yang dimilikinya.
Laki-laki yang dulu merupakan Ketua Bidang Advokasi Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) periode 1998-2000 ini mengaku bahwa sumber-sumber bacaannya ketika menjadi aktivis dulu kebanyakan adalah mengenai pendidikan yang membebaskan. Sayangnya, konsep ini belum dapat ia temukan secara praktis 161 dan nyata di kebanyakan sekolah.
Oleh karena itu, pada tahun 2018, ia berinisiatif membentuk Peacesantren Welas Asih yang salah satu komitmennya adalah menggemakan dan mewujudkan 12 nilai perdamaian di lingkungan sekolah. Nilai-nilai yang juga merupakan spirit Peace Generation itu terdiri dari: 1) menerima diri sendiri, 2) menghapus prasangka, 3) keragaman etnik, 4) perbedaan agama, 5) perbedaan gender, 6) perbedaan status sosial, 7) perbedaan kelompok, 8) merayakan keberagaman, 9) mema- hami konflik, 10) menolak kekerasan, 11) mengakui kesalahan, serta 12) memaafkan.
“Bully itu salah satunya adalah mereka tidak terbiasa melihat sesuatu yang berbeda,” ungkap Irfan. Mereka tidak terbiasa melihat orang yang punya bentuk tubuh yang berbeda, logat yang berbeda, warna kulit yang berbeda, agama yang berbeda, dan sebagainya.
Oleh karena itu, nilai-nilai perdamaian untuk mengenalkan keberagaman perlu untuk terus dilakukan. Irfan menggunakan angklung untuk mengibaratkan indahnya keragaman, “Kalau angklung itu nadanya sama semua, bunyinya nggak akan bagus itu. Justru karena berbeda, itu akan menjadi indah,” tuturnya.
Berdasarkan sebuah riset kecil yang dilakukan Irfan di pesantren, terdapat 82% santri yang mengaku pernah menjadi korban bullying. Oleh karena itu, meskipun sebagai sebuah pesantren, Peacesantren Welas Asih mengupayakan kegiatan-kegiatan interaktif dan kolaboratif. Mereka tidak memisahkan kegiatan belajar laki-laki maupun perempuan. Selain itu, terdapat berbagai kegiatan yang mempertemukan anak- anak dengan murid sekolah lain dari usia dan agama yang berbeda.
Baca Juga: Fenomena Cyberbullying: Ketika Media Sosial Menjelma Media (Penyakit) Sosial
Selain itu, terdapat pula kegiatan-kegiatan dengan warga di sekitar sekolah. Para peserta didik mengikutin program pengelolaan sampah bersama para warga dan program Ramadani Dermawan di mana mereka diarahkande untuk mengidentifikasi warga sekitar yang memerlukan bantuan sosial. Bahkan pada kegiatan Awarding, yaitu acara pembagian rapor, para warga yang tinggal di sekitar sekolah juga dilibatkan dalam kegiatan bernama Festival Welas Asih untuk berjualan dan mengelola parkir wali murid.
Bukan Sekadar Jargon
Islam punya spirit Rahmatan Lil Alamin yang mestinya terwujud di dalam kehidupan antar sesama muslim, termasuk di pesantren. “Bukan sekadar jargon cuma stop bully. Tapi dibuat menjadi sebuah budaya sekolah,” tegas Irfan. Ia menyampaikan terdapat tiga budaya yang dibangun di Peacesantren Welas Asih, yaitu budaya hubungan reflektif, belajar efektif, serta disiplin positif. Hubungan reflektif yang membangun rasa empati adalah salah satu budaya yang paling berdampak dalam perwujudan anti-bullying.
Belajar efektif yang dimaksud dimaksud oleh Peacesantren adalah menjadikan semua pembelajaran berbasis aktivitas. Ini berangkat dari keresahan karena banyak sekolah mengajarkan murid untuk fokus bisa menjawab soal tapi tidak bisa menjawab isu global dalam kehidupan. Sehingga, Peacesantren memilih menerapkan metode project-based learning yang lebih praktis dan berorientasi pada critical thinking untuk memecahkan masalah nyata.
Para santri menyusun berbagai projek sesuai tema pembelajaran di tingkatan sekolahnya. Irfan bercerita santri-santri di usia SMP membuat projek untuk mengenal diri, keluarga, dan lingkungan. Salah satunya ada yang eksperimen tentang diri sendiri, misalnya kebiasaannya boros atau malas atau perasaannya mengalami insecurity. “Salah satu santri itu kemudian produknya berupa diary semacam self reflection, kemudian diterbitkan,” ungkapnya. Ada juga yang membuat projek pengembangan teknologi dengan panel surya untuk menyelesaikan masalah lingkungan sekitar yang sering mati listrik.
Di samping itu, terdapat budaya disiplin positif, yakni anak-anak tidak lagi dibiasakan dengan budaya pemberian reward punishment, melainkan lebih berfokus pada penumbuhan kesadaran dirinya. Menurut Irfan, reward dan punishment cenderung membiasakan anak untuk dipengaruhi dengan efek eksternal ketika hendak melakukan sesuatu. Ia berharap, melalui tumbuhnya kesadaran, pembiasaan itu lebih berkelanjutan.
Membangun Sistem
Kaya akan nilai-nilai perdamaian di sekolah ternyata tidak juga membuat Peacesantren Welas Asih sama sekali bebas dari kemungkinan adanya bullying. Oleh karenanya, Irfan menegaskan pentingnya sistem penanganan bullying baik saat pra kerjadian, saat kejadian, maupun pasca kejadian.
Pada tahap pra kejadian, hal yang paling utama adalah integrasi mata pelajaran agar dapat menjadi pelajaran reflektif yang mendukung kesadaran akan nilai-nilai perdamaian tersebut.
“Di pelajaran hadis ada, di pelajaran Al-Qur’an nilai-nilai itu harus ada, di pelajaran literasi juga ada,” ungkapnya. Di samping itu, upaya deteksi dini yang diwadahi lewat konseling maupun survei tiap bulan juga merupakan hal penting. Hal yang dialami dan dirasakan oleh peserta didik terekam secara rutin.
Bila ada kejadian, perlu ada dorongan bagi seluruh warga sekolah agar punya mental sebagai pembela, bukan penonton. Kadang-kadang peserta didik lain hanya menjadi penonton pasif, kadang mereka takut untuk melaporkan. Peacesantren juga memastikan bahwa pemahaman soal nilai-nilai ini diinternalisasi oleh para guru dan pembina asrama. Bullying terjadi pada dasarnya karena ada over power yang terjadi secara berulang, di sini guru juga tidak terlepas dari kemungkinan menjadi pelaku.
Pada tahap pasca kejadian, guru-guru juga disiapkan untuk melakukan pendekatan yang tepat ketika terjadi bullying. Salah-salah, malah menempatkan pelaku sebagai kriminal dan membuatnya jadi trauma. Hal lain yang ditegaskan oleh Irfan adalah pentingnya pencatatan atau dokumentasi sebagai rekaman sekolah untuk pembelajaran ke depannya.
Dari Peacesantren, kita belajar bagaimana stop bullying bukan sekadar jargon tetapi tumbuh menjadi budaya sekolah dan karakter para santri. Peacesantren: wadah belajar menempa diri menjadi pribadi inklusif. [7/23] (Ahimsa W. Swadeshi)