
Sc: Haaretz
Oleh: Hajriyanto Y. Thohari*
Beberapa tahun setelah Deklarasi Balfour tahun 1917 terjadilah pemandangan yang menarik di Palestina: setiap minggu ada beberapa kapal berlabuh di sejumlah pelabuhan laut di sepanjang Pantai Mediterania yang membawa orang-orang Yahudi dari Eropa. Deklarasi Balfour adalah surat yang dikeluarkan dan dikirim oleh Menlu Inggris Arthur James Balfour kepada Lord Jacob Rothscild (seorang Baron, bankir, dan tokoh Yahudi Inggris) tertanggal 2 November 1917 yang isinya menyetujui diberikannya tanah Palestina sebagai tanah air atau homeland bagi bangsa Yahudi. Perlu dicatat bahwa Inggris adalah pemenang Perang Dunia I yang menjadi pemegang mandat atas Palestina.
Pendatang Pongah
Orang-orang Arab Palestina yang merupakan penduduk asli Palestina sejak ratusan tahun sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya (Islam, Kristen Ortodox, dan lainlain) dan layaknya tradisi Arab yang memuliakan tamunya menyambut hangat tamu-tamu Yahudi yang berdatangan secara bergelombang dari Eropa itu. Dari geladak kapal tamu-tamu itu membentangkan spanduk panjang yang bertuliskan kata-kata memelas: “Kami dianiaya dan dibunuh di Eropa di kamp-kamp konsentrasi”, “Kami disambut hangat oleh saudara-saudara kami di tanah Palestina ini”, dan kalimat-kalimat kesedihan sekaligus persaudaraan yang lain.
Bangsa Palestina membentangkan kedua tangannya menyambut mesra saudara-saudaranya yang datang dari jauh itu. Bahkan ketika tamu-tamu itu masih berada di atas kapal di Pelabuhan Haifa, menunggu sampai kapal berhenti dengan sempurna, orangorang Arab Palestina menaikkan susu panas, baklava, falafel, shawarma, dan makanan khas Arab Syam lainnya ke atas kapal dengan tali untuk menjamu para tamu Yahudi-nya itu. Bayangkan, karena saking sayang dan hormatnya kepada para tamunya, mereka mengirimkan makanan dan minuman panas tersebut dengan tali ke atas kapal. Tradisi Arab Timur Tengah dalam memuliakan tamu dengan menjamunya memang luar biasa mengesankan. Tetapi semakin hari jumlah mereka yang berdatangan tersebut semakin besar saja.
Beberapa orang pemimpin masyarakat Palestina memang mulai ada yang curiga dengan fenomena yang mengundang tanya (Jawa: nyala wadi) itu. Rasanya memang ada sesuatu yang nyala wadi dan nganeh-anehi sekali. Tetapi kecurigaan itu hanya dirasakan oleh beberapa orang saja yang memiliki kepekaan sosial politik yang cukup. Sementara sebagian besar yang lain tidak menaruh kepedulian atau pertanyaan sama sekali, apalagi kecurigaan, kepada orang-orang Yahudi Eropa yang jumlahnya makin besar dan mencurigakan tersebut. Apalagi para pendatang ini mulai banyak tingkah: meminjam atau menyewa rumah-rumah penduduk, menempati tanah-tanah yang kosong baik dengan cara meminjam, menyewa, atau membeli.
Para pendatang Yahudi dari Eropa dan belahan dunia Barat lainnya ini memang tampak sangat percaya diri dan cenderung superior. Maklum mereka datang dari Eropa atau Barat yang lebih maju pendidikannya dibandingkan bangsa-bangsa Asia dan Afrika waktu itu. Apalagi mereka berkulit putih, berpakaian ala Barat (western), bicara bahasa Inggris atau bahasa Eropa lainnya, dan banyak di antaranya berpendidikan tinggi. Sementara bangsa Arab Palestina banyak yang buta huruf, karena Ottoman yang selama ratusan tahun memerintah kawasan itu tidak begitu memajukan pendidikan rakyatnya.
Gampangnya, para pendatang lebih superior, lebih pintar, dan lebih percaya diri daripada penduduk asli. Ada di antara mereka yang terbujuk memberikan tanahnya, meminjamkan, menyewakan atau bahkan menjualnya kepada pendatang Yahudi yang entah darimana selalu saja memiliki uang. Lambat laun, sedikit demi sedikit namun pasti, para Yahudi pendatang itu semakin kuat dan berani, melunjak, dan bahkan tidak jarang mulai memaksakan kehendak. Ketegangan antara penduduk asli Arab Palestina dan pendatang Yahudi pun mulai sering terjadi.
Baca Juga: Zainab Al Ghazali: Sosok Perempuan Pejuang yang Menulis Tafsir
Ketegangan dan bentrokan antara keduanya mulai mengarah pada tindak kekerasan. Apalagi secara mengejutkan para pendatang juga mulai kelihatan menggunakan senjata api, bahan peledak, bahkan bom molotov. Lebih mengejutkan lagi mereka mulai memiliki milisi, yakni kekuatan semi militer yang terorganisasi secara rapi dan sistematis. Sementara pemegang mandat Palestina, yakni Inggris, yang sejatinya adalah penjajah (kolonialis atau imperialis) secara mencolok mata tampak lebih akrab dengan para pendatang Yahudi itu. Maklum mereka datang dari negeri yang sama: Eropa dan Barat lainnya. Kulit mereka pun nyaris sama: putih. Mereka juga berbicara dalam bahasa yang sama: Inggris dan Eropa lainnya.
Singkatnya, penjajah Inggris tampak sekali memberi angin kepada para pendatang Yahudi. Konflik dengan kekerasan pun terjadi dan kemudian semakin sering lagi antara kedua golongan: penduduk asli dan pendatang. Akhirnya, terjadilah perang yang semakin meluas.
Deklarasi Sepihak dan Nakba
Pada gilirannya kaum pendatang Yahudi itu secara sepihak melakukan Deklarasi berdirinya Israel pada 14 Mei tahun 1948. Ben Gurion membacakan deklarasi tersebut. Yang menarik sekaligus mengejutkan, sebelas menit setelah deklarasi itu, Presiden Amerika Harry Truman mengakui berdirinya Negara Israel. Pengakuan Amerika sebagai pemenang Perang Dunia II tentu saja segera diikuti oleh negara-negara Lambat laun, sedikit demi sedikit namun pasti, para Yahudi pendatang itu semakin kuat dan berani, melunjak, dan bahkan tidak jarang mulai memaksakan kehendak.
Eropa, terutama Inggris, yang memang sejak awal mendukung diberikannya tanah Palestina kepada kaum Yahudi sebagai tanah air (Homeland) sekaligus negara nasional (National Land). Bayangkan para pendatang melakukan proklamasi kemerdekaan bangsanya di negeri yang menampungnya. Sementara itu, penduduk asli diteror dengan serangan bersenjata dan peledakan bom sehingga banyak yang tewas atau terpaksa lari meninggalkan rumah dan kampung halamannya menjadi pengungsi. Ada yang mengungsi ke daerah lain di Palestina yang aman seperti Jenin, Gaza, dan lain-lainnya, dan banyak pula yang mengungsi ke negara-negara tetangganya seperti Lebanon, Suriah, Yordania, Mesir, dan lain-lainnya.
Tragedi 1948 ini dikenal dalam sejarah sebagai Nakba (Arab: Al-Nakba), yakni malapetaka, katastropi, dan duka nestapa bangsa Palestina yang luar biasa mengenaskan. Tuan rumah yang kelewat lugu dan baik dibantai oleh pendatang yang superior, pongah, dan bermental perampok! Sungguh, itulah sebuah tragedi yang harus menjadi pelajaran bagi bangsabangsa lain, termasuk kita bangsa Indonesia. Apa pun yang terjadi, jangan pernah suatu bangsa meninggalkan rumahnya, kampung halamannya, apalagi negerinya. Negeri kita harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan, bahkan, ketika harus menyabung nyawa sekalipun! [1/24]
*Duta Besar LBBP RI di Lebanon