oleh : Nan Ayuning Aisyah
Setiap kata yang terdapat dalam Al Qur’an pasti memiliki makna-makna tertentu. Baik makna secara dasar atau linguistik maupun makna secara kontekstual nya. Menurut Toshihiko Izutsu, Jika sekarang kita mengambil Al-Qur’an dan menelaah istilah-istilah kunci di dalamnya dari sudut pandang kita, maka kita akan menemukan dua hal, yang satu begitu nyata dan sering begitu dangkal dan biasa untuk dijelaskan, dan yang lainnya mungkin sepintas kilas tidak begitu jelas.
Sisi nyata persoalan tersebut adalah bahwa masing-masing kata individual, diambil secara terpisah, memiliki makna dasar atau kandungan kontekstualnya sendiri yang akan tetap melekat pada kata itu meskipun kata itu kita ambil di luar konteks Al-Qur’annya (Toshihiko Izutsu, 2003, 11).
Adapun mengenai makna kontekstual biasanya merujuk pada segala sesuatu yang berkaitan dengan konteks, yaitu situasi, kondisi, atau lingkungan di mana sesuatu terjadi atau digunakan. Dalam studi bahasa, istilah kontekstual sering kali berkaitan dengan bagaimana situasi atau latar belakang mempengaruhi makna dan penggunaan bahasa. Konteks dapat berupa konteks fisik (tempat dan waktu), sosial (hubungan antara pembicara dan pendengar), atau linguistik (teks atau percakapan sebelumnya).
Dalam linguistik, pendekatan kontekstual berfokus pada bagaimana makna dan interpretasi bahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor ini. Misalnya, pragmatik adalah cabang linguistik yang secara khusus meneliti bagaimana konteks mempengaruhi cara kita memahami dan menggunakan bahasa dalam komunikasi sehari-hari.
Bagaimanapun, di sini kita tahu bagaimana makna kata dipengaruhi oleh kata yang ada didekatnya, oleh keseluruhan sistem dimana kata itu berada. Kata yang menunjukkan “rasa syukur” tidak akan pernah mungkin memperoleh makna yang dekat dengan “percaya” atau “yakin” kecuali setelah dimasukkan ke dalam medan semantik khusus, di mana semua unsur-unsur memiliki andil langsung yang memungkin kata-kata tersebut berkembang ke arah itu.
Dan dalam kaitannya dengan pembedaan kita antara makna ‘dasar’ dan makna ‘relasional’, kita dapat mendeskripsikan dengan agak lebih memadai dengan menyatakan bahwa dalam kasus shakara makna relasional karakteristik yang menonjol berkembang di sekitar inti semantik dasar kata tersebut di dalam Al-Quran sehingga memungkinkan kata itu digunakan kadang-kadang hampir sinonim dengan âmana, sementara pada kasus kafara “tidak bersyukur”. makna relasionalnya menjadi kuat dan mengatasi makna dasarnya sede- mikian rupa sehingga menghasilkan kata baru dengan makna dasar “tidak percaya” (Toshihiko Izutsu, 2003, 15).
Begitupun juga dengan makna dunia yang memiliki makna secara linguistik atau makna dasar dan makna secara kontekstualnya. Kata “dunia” sendiri dengan menggunakan term duniā beserta seluruh derivasinya dalam al-Qur’an tersebar dalam 115 tempat, dalam 39 surat, 108 ayat. Dari 39 surat, yang masuk ke dalam kategori makkiyyah adalah 25 surat, dan madaniyyah 14 surat (Muhammad Fuad Abdul Baqi, 322-324).
Baca Juga: Antara Gibah dan Kritik
Makna Kata Dunia
Kata dunia berasal dari dana– dunuwwan, danawah semakna dengan qaruba yang berarti dekat. Dinamakan dunia karena dekat posisinya dengan tempat kita bahkan kita inipun berada dalam dekapan dunia. Maka ada ungkapan as-Sama’ ad-Dunya artinya langit yang dekat dengan keberadaan kita. Selain itu dunia dikenal juga dengan nama kehidupan yang dijalani sekarang karena jauh dari akhirat. Terkadang kata dunia terambil juga dari kata daniy – danayah, dinayah jadi ya disini sebagai ganti waw yang bermakna kelemahan, jatuh atau terhina (Ibnu Manzhur, 1435).
Adapula yang mengemukakan bahwa dunia berasal dari dana – yadnu – dunuwwan, danawah yang dapat juga berasal dari daniya – yadna – danayah yang bermaksud rendah, hina, sempit. Beberapa penelusuran dari kata dunia dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan dunia adalah tempat yang kita diami sekarang termasuk langit atau jagat raya yang memang dekat sesuai maknanya ( dekat ) dari pandangan dibanding akhirat yang tak dapat tercium sama sekali. Dapat juga diartikan sebagai kehidupan sekarang yang sangat rendah, hina, tidak abadi (Ahmad Warson Munawwir, 1997, 426).
Adapun makna secara kontekstual, Al-Qur`an dalam berbicara mengenai dunia seringkali dikaitkan dengan tujuh kata, antara lain matā’, la’ib, lahw, zīnah, dan garar(Khalisatun Naqiyah, 2017, 21). Lima kata tersebut digunakan untuk menggambarkan karakteristik dunia dan dinamika kehidupannya. Ketika kata-kata tersebut dihubungkan dengan kata al-dunyā, terdapat beberapa makna yang luas, antara lain adalah sebagai berikut:
- Mata’ : Dunia sementara, ingkar janji, nilai, waktu, kesenangan sementara, kualitas
- La’ib, lahw : Membuat asumsi tentang kehidupan, nyanyian, senda gurau, membelanjakan harta untuk bersenang-senang
- Zinah : Sarana beribadah, perhiasan yang menyebabkan kedurhakaan dan kedzaliman, perhiasan yang menyebabkan kesombongan, perbuatan yang digunakan untuk menghiasi keburukan, amal-amal shaleh lebih baik dari nilai perhiasan, perhiasan yang fana
- Garar : Kehidupan dunia yang menipu, kesenangan yang menipu.
Pesan dari Kata Dunia
Dari apa yang dipaparkan sebelumnya tentang pemaknaan dunia dari penggunaan kata al-dunyā dan kata-kata yang dihubungkan dengannya, terdapat pesan yang disampaikan terkait kehidupan yang harus dijalankan oleh umat manusia di dunia. Ayat-ayat tersebut ketika menyampaikan pesan kepada umat manusia menggunakan kalimat peringatan, baik berupa sindiran ataupun gambaran. Berikut pesan-pesan yang disampaikan al-Qur`an terkait dunia:
- Menjadikan Perhiasan Dunia sebagai Sarana Beribadah
- Menjadi Khalifah di Muka Bumi
- Menggunakan Waktu dengan Sebaik-baiknya