Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Kak ‘Aisy yang saya hormati. Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (PCA) mendapatkan wakaf sebidang tanah seluas 750 meter dari salah seorang pimpinan ‘Aisyiyah yang aktif mengemban amanah sampai sekarang di Cabang kami. Maksud dari wakaf tersebut adalah agar tanah itu dapat dipergunakan oleh ‘Aisyiyah sebagai tempat untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat memajukan ‘Aisyiyah Cabang. Sebenarnya memang kami bercita-cita untuk memiliki Gedung Dakwah ‘Aisyiyah yang dapat dimanfaatkan sebagai pusat berbagai kegiatan sekaligus dapat disewakan untuk gedung pertemuan, sehingga produktif dan dapat menunjang pendanaan kegiatan ‘Aisyiyah.
Memang sudah agak lama kami menerimanya, tetapi karena pertimbangan biaya, tanah tersebut belum kami bangun untuk menjadi sarana kegiatan ‘Aisyiyah maupun untuk sebuah amal usaha. Tiba-tiba Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) meminta dan membangun gedung koperasi di tanah tersebut. Ibu pewakif agak kecewa dengan kami, terutama dengan PCM, sehingga ada ucapan akan mencabut kembali tanah tersebut.
Pertanyaan kami Kak ‘Aisy, bolehkan pewakif ikut campur dan ingin mencabut tanah wakaf tersebut? Lalu, bagaimana sikap kami, PCA, sebagai penanggungjawab yang menerima tanah wakaf tersebut? Atas jawaban Kak ‘Aisy, kami sampaikan terima kasih.
Wassalaamu’alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh.
Hormat saya, Mustika.
Jawaban:
Ibu Mustika rahimakumullah.
Kak ‘Aisy mengapresiasi baik kepada ibu yang telah berkenan memberikan wakaf tanah maupun kepada PCA yang mendapatkan kepercayaan diberikan tanah wakaf tersebut. Mungkin ada baiknya kalau kita mengawali dengan pengertian wakaf terlebih dahulu. Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya, untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu, sesuai dengan kepentingannya, guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Selanjutnya dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 41 Tahun 2004, tanah wakaf itu harus mendapatkan pengesahan, selanjutnya untuk memperoleh keabsahan wakaf, harus memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: wakif, nazhir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta benda wakaf, dan jangka waktu wakaf. Untuk itu, maka yang harus ditempuh oleh PCA adalah:
Pertama, bermusyawarahlah dengan PCM secara baik-baik.
Kedua, apakah PCA sudah membuat ikrar wakaf? Apabila belum maka harus membuat ikrar wakaf lebih dahulu. Apabila diperlukan dapat dilakukan bersama PCM sebagai saksi. Ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan dihadiri oleh nazhir dan sekurang-kurangnya 2 orang. Pernyataan secara lisan dan/atau tulisan yang dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW ini sangat perting sekali.
Ketiga, setelah ikrar wakaf ada, langkah selanjutnya adalah segera balik nama. Semua tanah milik ‘Aisyiyah, baik karena membeli maupun wakaf, apabila balik nama harus atas nama persyarikatan atau Muhammadiyah. Namun, nanti ada klausul yang menyatakan peruntukannya untuk kemanfaatan ‘Aisyiyah. Dengan demikian, hal itu sesuai dengan pernyataan atau kehendak wakif bahwa peruntukan harta wakaf itu untuk kemanfatan ‘Aisyiyah.
Keempat, selanjutnya PCA harus bekerja keras, kerja sama dengan berbagai pihak, baik internal bersama keluarga besar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah maupun eksternal yang bersifat tidak mengikat untuk mewujudkan cita-cita ‘Aisyiyah mendirikan Gedung Dakwah ‘Aisyiyah. Bagaimanapun juga, wakaf itu harus dimanfaatkan sesuai dengan ketentuan dari si pewakif yang sudah ditulis di kantor PPAIW dalam Akta Ikrar Wakaf.
Kelima, andaikan masih ada sisi yang sekiranya dapat dimanfaatkan, tentu saja dengan bermusyawarah mufakat dengan ‘Aisyiyah, dapat saja Muhammadiyah membuat kantor koperasi.
Nah, pertanyaan Ibu Mustika tentang apakah boleh pewakif menarik kembali tanah yang diwakafkan karena tidak sesuai dengan peruntukannya, maka menurut pengertian wakaf yang sudah Kak ‘Aisy sebutkan, pada prinsipnya, setiap harta yang telah diwakafkan sudah dilepaskan kepemilikannya. Termasuk hak-hak lain yang menyertainya, berarti sudah tidak boleh ditarik kembali.
Baca Juga: Menarik Kembali Harta yang Telah Diwakafkan
Apabila alasannya karena peruntukannya tidak seperti yang dikehendaki pewakif, hendaknya diluruskan kembali, yakni pada dasarnya, terhadap harta yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain selain yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Oleh karena itu, Akta Ikrar Wakaf yang dibuat di PPAIW ini sangat penting. Mudah-mudahan dengan niat kebaikan bersama dan kemaslahatan masyarakat, PCM dan PCA dapat menempuh musywarah yang sebaik-baiknya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh
(Bunda Imah)

