Politik uang rawan terjadi pada setiap penyelenggaraan pemilu, tak terkecuali Pemilu 2024. Pilihan mengawal pemilu agar berkeadaban bisa dilakukan dengan melakukan pemantauan hingga menjadi pemilih kritis dan bermartabat.
Hasil survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan pada tahun 2019 sebanyak 48% masyarakat menganggap politik uang adalah hal yang biasa. Padahal larangan politik uang telah tertuang dalam Pasal 278 ayat (2), 280 ayat (1) huruf j, 284, 286 ayat (1), serta 515 dan 523 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Nurlia Dian Paramita, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), menyebut politik uang sebagai perusak demokrasi yang terlanjur mengakar dan kerapkali dianggap lumrah oleh masyarakat.
Ikhtiar Masyarakat Sipil
Imam Muchtar, Sekretaris Bidang Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Ponorogo menyampaikan bahwa pemantauan pemilu merupakan ikhtiar yang dilakukan masyarakat sipil untuk memantau proses penyelenggaraan pemilu apakah sudah berjalan sesuai regulasi atau belum.
Pemantauan pemilu menjadi penting, imbuh Imam, karena jumlah pengawas pemilu terbatas. Di tingkat kabupaten terdapat 5 pengawas, di tingkat kota 3 pengawas, tingkat kecamatan 3 pengawas, tingkat desa 1 pengawas, dan tingkat TPS 1 pengawas. Di TPS misalnya, 1 pengawas harus mengawasi sekitar 300 pemilih. Masih terbatasnya jumlah pengawas menunjukkan bahwa kapasitas pengawasan pemilu sangatlah terbatas sehingga diperlukan keterlibatan masyarakat untuk memastikan tahapan pemilu berjalan dengan baik dan benar.
Dalam melakukan pemantauan, perempuan yang akrab disapa Mita ini mengingatkan pentingnya memastikan inklusivitas pemilu, misalnya dengan menghadirkan TPS yang ramah bagi difabel maupun lansia. Selain itu, pemantau juga dapat memantau proses transfer hasil pemungutan suara dari TPS ke PPK yang rawan terjadi kecurangan. Calon perempuan, tambah Mita, juga sangat mungkin tidak memiliki cukup saksi. Dalam tahap ini, pemantau dapat membantu agar calon perempuan tidak dicurangi. Menurut Mita, pemantauan memang berat untuk dilakukan karena tidak dibayar.
Pemantauan ialah kerja yang sifatnya kerelawanan dan berangkat dari partisipasi pribadi. Disampaikan Mita, partisipasi masyarakat dimulai dari hal semacam ini karena keinginan untuk menyelamatkan demokrasi. Merespons banyaknya Lembaga Pemantau Pemilu (LPP) yang sudah terakreditasi BAWASLU, menurut Imam, hal tersebut menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat sangat tinggi. Mita selaku Koordinator Nasional JPPR yang juga terdaftar sebagai Lembaga pemantau pemilu mengungkapkan, lembaga-lembaga ini ingin bermitra dengan BAWASLU untuk melakukan pemantauan karena ingin menguatkan proses pemilu agar berlangsung adil, jujur, dan sesuai prosedur.
Proyeksi Pemantauan
Masa kampanye menjadi tahapan pemilu yang krusial karena terdapat larangan-larangan tertentu. Misalnya, tidak boleh melibatkan anak-anak agar mereka bersih dari hal-hal yang sebaiknya belum dikonsumsi. Selain itu, tidak boleh menggunakan fasilitas umum sebagai sarana kampanye, misalnya tempat pendidikan, taman kota, rumah sakit, aset pemerintah daerah, dan fasilitas umum lainnya. Perlu diperhatikan pula, pihak-pihak yang dilarang mengikuti kampanye, misalnya ASN, TNI Polri, Kepala Desa, Perangkat Desa, dan sebagainya. Kepada para pemilih, perlu dipastikan juga untuk tidak menyebarkan ujaran kebencian dan berita hoaks.
Baca Juga: Bijak Menghadapi Momen Politik dalam Perspektif Islam
Pada pemilu yang berlangsung di era digital ini, menarik juga untuk bisa memantau kampanye para calon melalui media sosial. Mengingat ruang publik sifatnya terbatas, maka media sosial menjadi episentrum untuk melakukan kampanye para calon. Ditambah lagi masyarakat Indonesia sebagian besar adalah warganet (netizen).
Momentum pemungutan suara, menurut Imam, menjadi titik tahapan yang telah disiapkan sejak berbulan-bulan lamanya. Perlu dilakukan pemantauan agar terhindar dari proses jual beli suara atau politik uang karena jeratan pidana politik uang akan berlaku saat pemungutan suara. Selain itu, perlu dipastikan agar tidak terjadi manipulasi suara, sehingga suara yang dicatat petugas KPPS ini benar-benar sesuai dengan suara yang sah. Perlu juga untuk memastikan orang-orang yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) adalah orang yang benar memiliki hak pilih di TPS tersebut, dan memperhatikan orang-orang yang tidak memiliki hak pilih, seperti TNI Polri agar tidak terlibat dalam pemungutan suara.
Pasca pemungutan suara, terdapat proses rekapitulasi yang dilakukan secara berjenjang, mulai dari TPS, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan pusat. Pada proses ini, Imam menuturkan, rawan terjadi kesalahan dalam pencatatannya. Artinya, proses ini perlu menjadi fokus utama agar tidak terjadi kesalahan penulisan atau kecurangan yang mencederai kualitas tahapan pemungutan dan rekapitulasi suara. Nantinya hasil pelaporan pemantauan yang telah ditulis Lembaga Pemantauan Pemilu ini, bisa disampaikan kepada BAWASLU sesuai tingkatannya, misalnya Bawaslu kab/kota atau provinsi.
Ketika terjadi kecurangan, masyarakat sipil atau Lembaga Pemantauan Pemilu bisa melaporkan atau memberikan informasi awal terhadap dugaan pelanggaran kepada BAWASLU. Selain ke BAWASLU, Mita menyampaikan, masyarakat sipil juga dapat melaporkan hasil pemantauan ke Seknas JPPR. Saat ini, JPPPR telah menyediakan kanal pelaporan melalui website dan tengah mengembangkannya melalui aplikasi mobile.
Peran Persyarikatan Menurut Imam, semua organisasi masyarakat yang berbadan hukum, termasuk Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah memiliki peluang untuk menjadi pemantau pemilu dengan mendaftarkan diri secara resmi ke BAWASLU sesuai dengan tingkatannya (kota/kabupaten, provinsi, dan pusat). Dengan mendaftarkan secara resmi, maka Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah akan menjadi LPP yang terakreditasi dan memiliki perlindungan hukum.
‘Aisyiyah, jelas Mita, juga tergabung dalam JPPR yang terdaftar sebagai LPP sehingga dapat pula melakukan pemantauan pemilu. Menurut Mita, organisasi masyarakat sipil memiliki peran yang sangat strategis. Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah berfungsi sebagai penjaga nilai para calon pemimpin. Indonesia, terang Mita, kekurangan pemimpin yang mampu mendarma baktikan dirinya sebagai negarawan. DPR sebagai wakil rakyat sudah sepatutnya menjadi kanal aspirasi dan melayani rakyat dengan benar.
Tugas Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah adalah menjaga para politisi ini agar tetap memegang teguh nilai dan prinsip Muhammadiyah. “Bagaimana para kader di partai politik tetap bisa membawa aspirasi kebangsaan Muhammadiyah,” imbuhnya. Penting juga bagi para politisi ini melakukan dialog dengan para penerusnya. Menjemput aspirasi dari para kader penerus akan membentuk keberlanjutan sehingga menghasilkan proses regenerasi. Dengannya, maka akan terus lahir kader-kader Muhammadiyah yang berperan sebagai kader bangsa dan mampu berkontribusi untuk negara. [1/24] (Salma Asyrofah)
1 Comment