Pendidikan

Pembaharuan RUU Sisdiknas Butuh Keterlibatan Publik yang Bermakna

antarafoto-ujian-secara-tatap-muka-di-sdn-bekasi

Oleh: Alpha Amirrachman

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) saat ini sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sisdiknas. Pembaharuan UU Sisdiknas memang merupakan keniscayaan dikarenakan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah cukup lawas dan ada berbagai hal yang perlu disempurnakan, di antaranya bagaimana bangsa ini memyikapi perubahan masyarakat, seperti Industri 4.0 dan berbagai hal penting lainnya.

Ada tiga gelombang besar perubahan dunia. Pertama, adanya disrupsi teknologi. Kedua, perubahan demografi, profil sosio-ekonomi, dan populasi dunia. Ketiga, habisnya bahan bakar fosil, krisis air, perubahan iklim. Perubahan-perubahan tersebut diakselerasi dengan dengan pandemi Covid-19, terutama pada ranah perubahan disrupsi teknologi ketika guru dan siswa ‘dipaksa’ untuk meningkatkan literasi digitalnya, belum lagi implikasi sosial dan psikologisnya.

Sudah barang tentu Persyarikatan Muhammadiyah sebagai pemangku kepentingan di sektor pendidikan perlu untuk memberikan sumbangsih pemikirannya pada proses pembaharuan RUU Sisdiknas. Ikhtiar ini merupakan pergerakan moral untuk pemartabatan bangsa. Masa depan peradaban bangsa salah satunya ditentukan oleh model serta arah pendidikan yang akan kita jalani ini dan bagaimana kira menyesuaikan diri pada berbagai perubahan. Ini sebagai bentuk tanggung jawab Muhammadiyah selaku organisasi masyarakat yang sudah berkiprah sejak sebelum kemerdekaan dengan  amal-amal usaha pendidikannya yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, bukan hanya mencerdaskan kehidupan bangsa namun juga melahirkan kader-kader bangsa.

Pihak Muhammadiyah sempat diundang oleh Kemendikbudristek dalam proses apa yang disebut ‘uji publik’ naskah akademik dan RUU Sisdiknas. Namun demikian, prosesnya sangat singkat dan kurang tepat disebut sebagai uji publik. Terlebih lagi tidak semua pihak yang diundang mendapatkan akses penuh terhadap naskah yang dimaksud. Berbagai pihak melalui media juga menunjukkan keberatan terhadap minimnya pelibatan publik dan berbagai bagian dari RUU tersebut yang dianggap belum mewakili aspirasi berbagai pemangku kepentingan.

Baca Juga: Menyongsong Pendidikan Masa Depan

Undang-undang yang merupakan produk politik tujuannya adalah menyejahterakan masyarakat, namun bisa saja muncul resistensi dari masyarakat. Proses pembuatan RUU Sisdiknas ini juga ditandai dengan resistensi karena proses ini cenderung dibuat di belakang meja, jadi bukan merupakan kontrak sosial. RUU ini memang merupakan keinginan pemerintah, namun tidak bisa dipaksakan begitu saja kepada masyarakat. Jika dirasa kurang baik, maka masyarakat bisa saja nanti mengajukan judicial review.

Namun proses judicial review tentu saja akan menguras energi dan waktu. Sementara masih banyak persoalan pendikan terutama terkait tiga isu besar, yaitu akses, relevansi, dan kualitas yang perlu terus-menerus dibenahi. Ada baiknya dalam proses perumusan mulai dari perencanaan hingga pengajuan RUU ke DPR, Kemendibudristekl betul-betul melibatkan para pemangku kepentingan secara lebih bermakna.

Pelibatan para pemangku kepentingan akan sangat membantu pihak kementerian, ketimbang dibuat secara internal dengan pelibatan publik yang terkesan formalitas saja. Hal tersebut justru akan menyulitkan karena isu-isu yang berkembang tidak terkendali di publik sehingga tidak akan mungkin bisa dikelola dengan baik.

Oleh karena itu, Persyarikatan Muhammadiyah yang terdiri dari Majelis Dikdasmen dan Diktilitbang PP Muhammadiyah berinisiatif menyelenggarakan kelompok diskusi terpumpun yang difasilitasi Universitas Muhammadiyah Malang pada 21-22 Maret 2022. Isu yang lebih dulu muncul dalam diskusi tersebut adalah terkait dengan keindonesiaan dan agama.

Indonesia sebagai negara Pancasila di mana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka keindonesiaan kita harus berlandaskan dan bernafaskan agama. Pendidikan Islam yang dirancang, dilaksanakan, dan diproyeksikan Muhammadiyah adalah salah satu yang terbaik dan terdepan di negeri ini. Hal ini tidak terlepas dari upaya Muhammadiyah dalam memajukan dan memadukan dimensi agama dan sains, lompatan besar yang diiniasi Kiai Ahmad Dahlan lebih dari seratus tahun yang lalu dan sudah teruji dalam setiap gelombang perubahan yang menerpa bangsa ini.

RUU ini menunjukkan ada upaya menyamakan agama dan kepercayaan. Kedua istilah tersebut digunakan dalam pasal yang sama, sehingga memberikan kesan bahwa dua hal itu memiliki pengertian, kedudukan, dan peran yang sama. Hal ini dapat menimbulkan reaksi penolakan yang keras. Banyak pasal yang tidak sesuai dengan UUD 1945, terutama terkait dengan tujuan pendidikan nasional pasal 31 UUD 1945.

Terdapat inkonsistensi tujuan pendidikan di RUU Sisdiknas dan UUD 45. Tujuan pendidikan nasional pun teredusir dengan Profil Pelajar Pancasila yang lebih berorientasi pada dunia kerja, yang pada proses penyusunannya juga tidak dilandaskan pada naskah akademik yang dapat meyakinkan bagaimana Pancasila yang terdiri dari lima sila diinterpretasi menjadi Profil Pelajar Pancasila yang berjumlah enam butir, bagaimana juga Bhinneka Tunggal Ika bisa dipahami menjadi kebhinekaan global.

Lahirnya draf RUU Sisdiknas menunjukkan adanya perubahan pada paradigma arah pendidikan nasional. Paradigma pendidikan saat ini bergerak dari fixed standard ke flexible standard. Fungsi dan tujuan pendidikan tidak terdefinisikan dengan baik. RUU Sisdiknas ini juga ambigu karena ketidakjelasan dalam pengombinasian dua  aliran pemikiran yang bertolak belakang, yaitu behavioristic dan konstruktivisme.

RUU Sisdiknas berpotensi pula memecah-belah sekolah-sekolah yang ada, secara khusus sekolah berbasis masyarakat atau swasta yang menurut RUU ini hanya akan diatur oleh peraturan turunan. Dengan demikian, RUU Sisdiknas akan memberikan kekosongan beberapa pos kewenangan, sehingga memberikan ‘cek kosong’ terlalu besar kepada kementerian untuk mengatur jalannya pendidikan.

Pemerintah harus mengakui peran sekolah-sekolah berbasis masyarakat sebagai mitra, bukan sebagai tangan kanan yang melakukan kebijakan. Setiap sekolah memiliki keunikan dan kekhasan orientasi pendidikan, terpenting adalah tidak mengingkari kebenaran Pancasila. Sekolah berbasis agama juga akan mengalami kebingungan apakah masuk pada Kemenag atau Kemendikbudristek di mana RUU Sisdiknas tidak menegaskan hal tersebut. Ini berpotensi akan mengakibatkan perpecahan antar sekolah agama dan pendidikan agama.

Baca Juga: Lembaga Pendidikan Harus menjadi Garda Terdepan Membangun Peradaban

Dalam perkembangannya, ternyata kata ‘madrasah’ juga hilang dari RUU Sisidiknas ini. Dalam sebuah video klarifikasi Mendikbudristek mengatakan bahwa penamaan madrasah, sekolah, dan lain-lain akan disebutkan di dalam penjelasan UU Sisdiknas. Sementara pada video yang sama Menag justru mengatakan sebaliknya bahwa kata madrasah sudah masuk di dalam batang tubuh.

Menurut UU No 15/2019 tentang Perubahan atas Undang-undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan bahwa penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma. Hal ini menunjukkan dua hal. Pertama adanya krisis kompetensi dalam proses pembuatan RUU ini. Kedua, rendahnya sensitivitas terhadap pentingnya pendidikan agama sebagai bagian penting yang tidak terpisahnya dari sistem pendidikan nasional.

RUU Sisdiknas juga tidak memperhatikan tata kelola pendidikan dengan hilangnya beberapa struktur di dalamnya, seperti dewan sekolah, komite sekolah, dan lainnya. RUU Sisdiknas belum mengarah pula pada pengembangan pendidikan kontekstual sesuai kekayaan alam Indonesia. Pendidikan juga harus berjalan secara inklusif dengan memperhatikan hak yang sama bagi semuanya untuk belajar.

RUU ini juga belum menunjukkan adanya aspek terpersonalisasi dengan membangun profil kemampuan anak sesuai bakat dan minatnya. Desain pembelajaran saat ini sebenarnya sudah lebih terencana, terstruktur, dan terukur. Pengajaran terdeferensiasi sesuai gaya belajar peserta didik, dialogis-interaktif, dan memanfaatkan teknologi. Hal seperti ini akan menciptakan personalisasi setiap individu pembelajar. Hal yang kritis, RUU Sisdiknas justru belum mengatur secara rigid kualifikasi pendidikan guru yang dapat memberikan impikasi rendahnya kualitas guru-guru kita.

Mengingat masih begitu banyaknya persoalan di RUU yang sangat penting ini maka ada baiknya RUU ini tidak diajukan sebagai Prolegnas Prioritas tahun ini. Kemendikbudristek hendaknya membentuk Panitia Kerja Nasional RUU Sisdiknas yang lebih inklusif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Panitia ini akan bekerja dari awal lagi untuk menyusun peta jalan pendidikan nasional dalam bentuk grand design yang menentukan akan dibawa ke mana arah pendidikan kita. Selanjutnya, panitia dapat menyusun naskah akademik yang komprehensif baru kemudian RUU Sisdiknas. Setelah disepakati bersama, pihak Kemendikbudristek dapat mengajukan RUU ini ke DPR untuk dibahas.

*Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah

Related posts
Berita

Abdul Mu’ti Ajak Warga Muhammadiyah Sikapi Pemilu 2024 dengan Arif dan Bijaksana

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – PP Muhammadiyah mengawali Pengajian Umum tahun 2024 dengan mengusung tema “Muhammadiyah dan Pemilu 2024”. Pengajian yang berlangsung secara…
Sosial Budaya

Adaptasi Teknologi Muhammadiyah: Catatan dari Gen Z

Oleh: Avra Abida El Ravi Lahir dan besar di keluarga Muhammadiyah tidak lantas membuat seseorang merasa dirinya adalah kader Muhammadiyah. Ini dialami…
Berita

Sambut Indonesia Emas 2045, MPKSDI PP Muhammadiyah Akan Siapkan Kader Terbaik

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah dahulu, saat ini, dan masa depan tentu berbeda dan berubah. Pernyataan tersebut disampaikan oleh…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *