Pengarusutamaan gender dalam isu lingkungan dinilai masih sangat minim. Padahal peran perempuan dalam melestarikan lingkungan sangat besar. Di sisi lain, perempuan menjadi pihak yang paling terdampak dari kerusakan lingkungan, baik itu bencana alam, konservasi lahan, sampah yang menumpuk, maupun masalah lingkungan yang lainnya.
Ditemui di Kantor PP ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris PP ‘Aisyiyah mengatakan sejak awal perempuan memang dekat dengan alam. Di samping karena peran-peran domestik yang kerap dilakukan perempuan juga peran tradisionalnya dekat dengan alam. Peran-peran tersebut di antaranya, peran menanam, bertani atau berkebun, memasak, memandikan anak, membersihkan diri ketika menstruasi, dan lainnya. Ketika perempuan memiliki kedekatan dengan peran tersebut sedangkan alam dirusak dan berakibat pada berkurangnya lahan maupun ketersediaan air, maka dampaknya jelas me-nimpa perempuan.
Dalam pandangan kearifan lokal, ujar Tri, alam sering diibaratkan sebagai rahim yang berperan selaku penyedia sumber kehidupan. Sebagai penyedia sumber kehidupan, imbuhnya, maka alam perlu dikasihi atau dilestarikan. Peran tersebut dipandang memiliki kedekatan dengan peran perempuan. Tidak heran, jika kelestarian alam sering dilekatkan dengan peran perempuan.
Dijelaskan lebih lanjut oleh Tri Hastuti, perempuan akan menjadi subjek yang paling menderita ketika lingkungannya terganggu akibat pencemaran, alih fungsi lahan, perubahan iklim dan lainnya. Oleh karena itu, ia menegaskan perlunya perhatian pemerintah pada pembangunan berkelanjutan, pengelolaan lingkungan, dan pencegahan pencemaran lingkungan dengan melibatkan perempuan sebagai subjek pembangunan lingkungan.
Sayangnya, Tri mengakui minimnya peran pemerintah dalam upaya tersebut. Menurutnya, hal itu terjadi karena perspektif yang dimiliki para pengambil kebijakan belum menyentuh ranah pembangunan yang berkelanjutan dan berperspektif gender. Pemerintah masih luput dalam dua hal tersebut padahal perubahan iklim sekarang juga menye-rang lingkungan yang akhirnya membuat perempuan paling terdampak. “Dalam pencapaian Sustainable Development Goals, penyelamatan lingkungan dan kese-taraan gender termasuk dalam isu prioritas. Sehingga penyelamatan lingkungan dan adil gender sudah seharusnya menjadi perspektif dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan,” tegas Tri.
Ia mencontohkan, saat kelompok perempuan Kendeng getol menolak pengalihan lahan, karena mereka sadar bahwa kaum perempuanlah yang akan terdampak. Ketika terjadi alih fungsi lahan maka mereka akan kekurangan air, sehingga tidak dapat mengakses air, bahkan tidak dapat bertani, dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Berangkat dari dampak tersebut, kelompok perempuan ini mati-matian mempertahankan lingkungannya, sungainya, tanahnya. Nah, tidak semua pemilik modal dan pengambil kebijakan yang kebanyakan laki-laki mampu memahami hal tersebut, karena laki-laki lebih luas kesempatannya untuk memilih pekerjaan lain di luaran sana.
Menyoal keberpihakan pada perempuan, Tri mengingatkan, tidak melulu tentang jenis kelamin. Perempuan adalah perspektif yang kemudian dijadikan bahan kajian untuk memberi perhatian pada kelompok rentan atau yang paling terdampak. Sehingga diharapkan para pengambil kebijakan juga memahami perspektif perempuan dalam pengambilan kebijakan perihal lingkungan. (Syifa R Dewi)
Baca selanjutnya di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 4 April 2020