Oleh: Adib Sofia
Berbagai pemikiran Prof. Dr. Siti Baroroh Baried telah dituliskan di buku-buku, artikel-artikel ilmiah dan popular, bahkan terus-menerus diteliti, dikaji, dan diseminarkan oleh sejumlah kalangan. Ia memang istimewa karena merupakan perempuan cerdas dan multitalenta pada zamannya.
Namanya pun menjadi sangat ikonik, merepresentasikan bagaimana seharusnya seorang perempuan berkemajuan harus berkarya. Tak heran jika kini namanya disematkan di sejumlah bangunan amal usaha Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah untuk menjadi monumen pengingat perlunya keseimbangan dalam menggapai keilmuan dan mengimplementasikan nilai keagamaan.
Pemikiran Baroroh sangat banyak, tulisannya terserak di mana-mana. Apabila kita baca satu saja, akan terkandung pelajaran yang amat berharga. Kali ini kita akan menengok tulisannya yang dimuat di Al-Djami’ah: Madjalah Ilmu Pengetahuan Islam No. 4 Tahun ke-IV, Djuli 1965, halaman 17-20. Edisi tersebut memuat semua prasaran (makalah) yang dipaparkan pada Simposium Pelaksanaan Keputusan KIAA (Konferensi Islam Asia-Afrika) pada 3 Juli 1965.
Dalam majalah itu disebutkan bahwa simposium tersebut diselenggarakan dalam rangka lustrum pertama IAIN Al-Djami’ah atau peringatan 5 tahun IAIN Al-Djami’ah Sunan Kalijaga. Simposium dilakukan untuk menindaklanjuti hasil-hasil Konferensi Islam Asia-Afrika yang telah diselenggarakan sebelumnya di Gedung Merdeka, Bandung, pada 6-14 Maret 1965.
Di antara makalah penting yang terdapat dalam simposium tersebut adalah tulisan P.J.M. Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Soekarno; para Menteri; anggota DPRGR dan Ketua PB Muslimat NU, Hj. Mahmudah Mawardi; Dekan Fakultas Sastra Kebudayaan UGM dan Ketua PP ‘Aisyiyah, Prof. Dr. Siti Baroroh Baried; Ketua Umum PP Muhammadiyah, K.H. Ahmad Badawi; dan anggota DPRGR dan Sekjen Gasbiindo, Wartomo Dwidjojuwono.
Pentingnya Tablighul Islam dan Penguasaan Bahasa Arab
Baroroh membuka tulisannya dengan menegaskan bahwa al-Quran adalah pedoman hidup. Selanjutnya, agar mendorong umat Islam bertindak sesuai dengan ajaran Islam, diperlukan tablighul Islam yang terorganisasi dengan tiga tugas, yaitu memajukan dan menyebarkan agama Islam, desiminasi kebudayaan Islam, dan saling tukar informasi dengan muslim di seluruh dunia.
Baroroh juga menuliskan pentingnya penguasaan bahasa Arab karena bahasa Arab adalah bahasa agama serta sumber pengetahuan dan kajian agama. “Pengajaran agama Islam dapat dilakukan dengan sempurna dengan penguasaan bahasa al-Quran,” tulisnya. Merujuk pada keputusan KIAA, Baroroh menyebutkan bahwa tablighul Islam dan pembelajaran bahasa Arab perlu disusun secara sistematis dalam bentuk silabus agar selalu sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan zaman.
Konsep Dakwah Kebudayaan
Pada bagian tulisan yang lain, Baroroh menegaskan keprihatinannya bahwa umat Islam Indonesia belum memiliki perhatian yang besar pada dakwah kebudayaan. “Kebudayaan adalah meliputi bidang sebanyak aspek dalam kehidupan. Umat Islam Indonesia belum benar-benar mengarahkan perhatiannya dalam bidang ini,” tulisnya.
Diakuinya memang ada beberapa kegiatan kebudayaan umat Islam, misalnya dalam penampilan panggung teater-teater yang diorganisasi secara besar-besaran, tetapi itu semua dianggapnya masih kurang. “Mengingat prosentase umat Islam di Indonesia, kesemuanya masih sangat kurang dari pada yang seharusnya,” tulisnya.
Konsep dakwah kebudayaan pun ditegaskannya dengan kalimatnya yang elok, “Umat Islam harus menggali apinya Islam. Dengan menggali apinya Islam, yang berarti menggali pelajaran-pelajaran Islam yang murni, maka akan tampak lebih nyata lagi bahwa Islam adalah agama yang membentuk akhlak yang luhur, bahwa Islam adalah agama yang revolusioner, bahwa Islam adalah penuh dengan kedinamisan, jauh dari ajaran-ajaran yang statis, dan lain-lain.”
Jenis-Jenis Seni untuk Dakwah Kebudayaan
Menurut Baroroh, umat Islam perlu mengkaji kebudayaan yang berkepribadian Indonesia dan cocok dengan ajaran Islam. Lebih lanjut dituliskannya, “Semua yang dapat dihasilkan oleh bangsa Indonesia dalam bidang kebudayaan tentu dapat dihasilkan oleh umat Islam di Indonesia. Semua hasil itu dapat disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam, misalnya dalam bidang seni drama, seni sastra, seni suara, seni lukis, seni pahat, seni tari, dan lain-lain.”
Baca Juga: Keterlibatan Aisyiyah dalam Konferensi Islam Asia Afrika Pertama
Baroroh mengingatkan bahwa Islam adalah agama yang membentuk akhlak yang luhur. Ia pun mengutip sabda Nabi Muhammad saw. tentang diutuskan Nabi Muhammad saw. untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Karena itu, bagi Baroroh, tidak ada alasan lagi bahwa Islam harus disebarkan seluas-luasnya atau yang disebut dengan Dakwah Islam. Mengenai hal ini ditegaskannya sekali lagi dalam uraian sebagai berikut.
“Dengan kebudayaan, kita umat Islam harus dapat melaksanakan dakwah. Seni drama, seni tari, seni lukis, dan lain–lain harus dapat merupakan media dakwah. Untuk turun ke bawah, misalnya media ketoprak, wayang orang, wayang kulit, dagelan, panggung terbuka, seni suara, dan lain-lain, itu semuanya dapat diisi dengan ajaran-ajaran Islam atau dongeng-dongeng Islam,” urainya dengan detail.
Tugas Raksasa
Konsep sebagaimana telah diuraikan di atas, diakuinya bukan sesuatu yang mudah, bahkan ia menyebutkan sebagai tugas raksasa. Untuk mencapai dakwah Islam yang sebaik-baiknya, menurutnya, harus ada wadah untuk menampung seluruh potensi umat Islam yang mempunyai keahlian dan berminat dalam kebudayaan.
“Wadah itulah tempat mengolah semua materinya. Misalnya, materi yang akan diisikan dalam seni drama, seni suara, seni lukis, dan lain-lain. Wadah itulah yang akan memupuk keseniankesenian Islam yang sudah dirintis, seperti seni baca al-Quran, menerjemahkan al-Qur’an dengan syair-syair yang indah, model-model seni patung (pahat), seni lukis, dan lain-lain,” jelasnya.
Menurut Baroroh, wadah ini dapat mencerminkan kesatuan umat Islam Indonesia. Wadah ini sangat penting untuk bekerja sesuai dengan perencanaan yang oleh Baroroh disebut sebagai planmatig. Dengan planmatig orang-orang dalam wadah tersebut dapat bekerja dengan mengurutkan mana yang lebih dahulu dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan kemampuan biaya, perlengkapan, tenaga, dan sebagainya. “Misalnya, menyelenggarakan panggung terbuka akan lebih mudah daripada membuat film,” tulisnya.
Baroroh yakin apabila wadah ini sudah dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat Indonesia pada umumnya dan umat Islam Indonesia pada khususnya, mereka tidak akan segansegan mengulurkan bantuannya untuk membiayai jalan kelangsungan dakwah kebudayaan.
Makalah di atas dipaparkan oleh Baroroh 57 tahun lampau. Kini telah banyak lembaga-lembaga kebudayaan yang dimiliki umat Islam. Sejauh manakah pencapaian lembaga ini dalam melakukan dakwah kebudayaan yang sesuai dengan kebutuhan zaman? Tulisan Baroroh dapat membantu kita merefleksikan semua ini.