- Menjelang Pemilu 2024, Suara 'Aisyiyah menyediakan ruang #pemilukita. Ruang ini kami buka agar masyarakat dapat bersama-sama mewujudkan pemilu yang substantif dan inklusif.

pemilu 2024 (foto: istockphoto)
Oleh: Susilastuti*
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidangnya pada 16 Juni 2023 menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), yakni terhadap pasal-pasal mengenai pemberlakuan sistem proporsional dengan daftar calon anggota legislatif (caleg) terbuka. Ketua MK saat itu, Anwar Usman yang menyampaikan amar keputusan MK Nomor 114/PUU-XX/2022 mengatakan MA menolak permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya.
Permohonan pengujian UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tersebut telah diajukan oleh Riyanto, Nono Marijono, Ibnu Rachman Jaya, Yuwono Pintadi, Demas Brian Wicaksono, dan Fahrurrozi. Para pemohon mengujikan Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan huruf d, Pasal 422, dan Pasal 426 ayat (3) UU Pemilu terhadap UUD 1945.
Terhadap pasal-pasal mengenai pemberlakuan sistem proporsional terbuka dalam penyelenggaraan pemilu itu, para pemohon pada intinya mendalilkan bahwa sistem tersebut telah mendistorsi peran partai politik. Dengan ditolaknya permohonan ini, pemilu anggota DPR dan DPRD 2024 tetap menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka.
Keputusan MK menunjukkan konsistensinya untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan Pemilu 2024 yang sudah melalui serangkaian tahapan. Pemilu merupakan salah satu indikator sebuah negara disebut negara demokratis. Pemilu memberikan ruang bagi masyarakat untuk menggunakan hak suaranya guna memilih wakilnya di lembaga legislatif yang dianggap paling baik. Selain itu, pemilu juga merupakan mekanisme pergantian pemimpin dengan cara yang paling damai.
Konsistensi MK untuk memberikan kepastian hukum bagi penyelenggaraan pemilu tidak memberikan celah terjadinya pergantian pimpinan secara inkonstitusional. Dalam sidang MK di Ruang Sidang Pleno, MK memberikan penekanan-penekanan tentang peran partai politik dalam proses pengajuan bakal calon legislatif (bacaleg) serta mekanisme yang harus diperhatikan untuk meminimalkan terjadinya praktik-praktik yang bisa mencederai pemilu, seperti praktik politik uang.
Dengan keputusan MK inilah para bacaleg dari partai politik, masyarakat pemilih, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) akan menjalankan persiapan-persiapan pemilu secara serentak. Masyarakat sebagai pemilih memegang kunci untuk memilih caleg tetap yang berasal dari partai-partai politik peserta pemilu.
Sistem Pemilu
Agar dapat berjalan dengan baik, clear and clean, pemilu harus diatur dengan menggunakan mekanisme tertentu. Mekanisme yang dipilih adalah yang dianggap paling cocok untuk diterapkan dalam satu negara. Sistem pemilu adalah sebuah mekanisme untuk menyeleksi calon-calon yang akan duduk di parlemen atau menjadi presiden dan wakil presiden. Mengapa para calon itu perlu diseleksi?
Sistem pemilu diterapkan ketika masyarakat dalam satu negara cukup besar sehingga perlu ditata dan diatur. Sistem pemilu memiliki suatu mekanisme yang akan digunakan untuk mengonversi hasil perolehan suara partai maupun para kandidat menjadi kursi-kursi di lembaga legislatif atau kursi presiden dan wakil presiden.
Ketika masyarakat memilih caleg suatu partai, tidak secara otomatis calon yang dipilih itu akan bisa melenggang ke parlemen. Ada mekanisme tersendiri untuk menentukan apakah caleg tersebut bisa menduduki kursi di DPR, DPRD provinsi, kota, atau kabupaten. Dalam hal inilah sistem pemilu di suatu negara tidaklah sama dengan sistem yang berjalan di negara lain.
Di Indonesia sistem pemilu yang pernah digunakan adalah sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka. Sistem pemilu proporsional merupakan sistem pemilu yang diterapkan satu negara di mana kursi yang disediakan di parlemen dibagikan kepada partai-partai peserta pemilu berdasarkan perimbangan suara pada pemilihan umum yang diikuti.
Baca Juga: Aisyiyah dan Ikhtiar Mewujudkan Pemilu 2024 Inklusif
Dengan sistem proporsional ini, setiap partai politik akan mendapatkan kursi berdasarkan suara yang diperolehnya. Namun, sebelumnya, mereka harus memenuhi angka Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP). Angka BPP adalah bilangan yang diperoleh dari hasil pembagian jumlah suara sah seluruh partai politik peserta pemilu dengan jumlah kursi anggota legislatif di semua level.
Dalam sistem proporsional terbuka, pemilih dapat memilih daftar nama calon legislatif. Sistem ini memungkinkan munculnya hubungan atau keterikatan antara pemilih dengan caleg yang dipilih. Dalam sistem ini aspirasi pemilih akan lebih menentukan siapa yang terpilih.
Adapun dalam sistem proporsional tertutup, aspirasi elite partailah yang menentukan. Dalam sistem tertutup ini, secara teknis pemilih hanya dapat memilih tanda gambar partai. Sistem ini berlaku dalam pemilu-pemilu masa Orde Baru dari tahun 1971 sampai 1997 (dengan jumlah partai yang dibatasi tiga saja). Dalam sistem ini, daftar caleg tidak ada di surat suara, tetapi hanya diumumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Selanjutnya, keterpilihan caleg berdasarkan nomor urut yang penentuannya diatur oleh mekanisme internal partai.
Dalam sistem proporsional tertutup ini, setiap menjelang pemilu terjadi mobilisasi pemilih untuk memberikan suaranya pada partai tertentu tanpa diketahui siapakah caleg yang akan dipilih oleh partai. Dalam sistem tertutup ini, tidak ada kewajiban bagi partai untuk mempublikasikan siapa calegnya.
Setelah berakhirnya Orde Baru, sistem ini masih dipakai dalam Pemilu 1999. Namun setelah itu, sistem pemilu menggunakan proporsional terbuka. Keputusan MK atas judicial review UU Pemilu 2017 memberikan kepastian tetap digunakannya sistem proporsional terbuka. Sistem proporsional terbuka ini mendorong partai politik peserta pemilu melakukan perbaikan mekanisme pengaderan dan penentuan bacaleg partai.
Diberlakukannya sistem proporsional terbuka juga mendorong upaya terpenuhinya keterwakilan 30 persen di parlemen. Affirmative action untuk mendorong keterwakilan politik perempuan yang sudah dilakukan sejak tahun 2004 belum bisa terpenuhi. Harapannya dengan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2024, hal itu bisa terpenuhi.
Kedewasaan Berpolitik
Setelah ada kepastian dari MK terkait sistem pemilu pada 2024, yang harus dilakukan adalah bagaimana kita semua, partai politik, masyarakat memiliki kedewasaan dalam berpolitik. Kedewasaan berpolitik diperlukan agar praktik-praktik yang tidak terpuji dalam kontestasi politik seperti penggunaan politik uang tidak terjadi lagi. Kita harus melawan praktik-praktik semacam itu.
Sistem pemilu secara proporsional terbuka memang tidak secara otomatis bisa menghilangkan praktik-praktik politik uang. Untuk membasmi praktik buruk itu, mekanisme kontrol dalam diri partai harus diberdayakan. Artinya, bila partai politik mendapati ada kader atau bacalegnya yang melakukan tindakan kotor itu, partai harus memberikan sanksi tegas.
Mekanisme partai yang berjalan baik untuk mendisiplinkan kader atau calegnya agar berpolitik secara bersih dan bermartabat akan meningkatkan kepercayaan konstituennya sebab partai politik adalah bisnis kepercayaan. Selama kader atau caleg partai mampu memberikan bukti nyata dalam menjalankan amanat dan menyuarakan aspirasi rakyat, mereka akan dipilih oleh rakyat.
Pelajaran lain yang harus dipetik dengan hasil keputusan MK ini adalah perlunya membangun mekanisme internal partai yang andal guna menentukan bacaleg partai yang berintegritas dan bermutu. Sesungguhnya tidak ada yang instan dalam politik.
Akan tetapi, dalam beberapa pemilu terakhir, muncul kecenderungan dari partai untuk menggunakan cara instan guna mendulang suara, yakni dengan menjadikan selebritas dan artis sebagai caleg. Kecenderungan ini tidak terlepas dari adanya aturan ambang batas minimal perolehan suara partai politik (electoral threshold) sebagai syarat untuk mendapatkan kursi di parlemen. Ambang batas ini juga diperlukan agar partai bisa ikut pemilu berikutnya.
Seperti kita ketahui pemilu tahun 1999 menggunakan electoral threshold (ET) sebesar 3% dari total jumlah suara. Artinya, partai politik yang ikut pemilu tahun 1999 bisa ikut pemilu tahun 2004 bila mendapatkan suara 3%. Dalam penerapan ET ini, hanya partai yang mampu memenuhi ET dan memenuhi BPP yang bisa menempatkan kandidatnya di lembaga legislatif. Selanjutnya, jika perolehan suara kurang dari 3%, maka untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya partai harus mengubah logo dan nama.
Pada tahun 2004, ET tidak lagi diberlakukan, tetapi parlementary threshold (PT). Besarnya ialah 2,5%. Artinya, hanya partai yang memenuhi PT 2,5% yang bisa menempatkan kandidatnya di lembaga legislatif. Tahun 2009 PT ini berubah menjadi 3% dan tahun 2014 naik menjadi 4%.
Apa maknanya? Partai membutuhkan sosok yang populer dan memiliki “pengikut”, yakni para penggemarnya, sehingga diharapkan sosok tersebut bisa menjadi penarik suara. Jadi, tidak mengherankan bila banyak artis dan selebritas yang akhirnya menjadi anggota DPR. Apakah salah?
Itu tidak sepenuhnya salah selama partai politik bertanggung jawab untuk menyiapkan kader populernya secara sungguh-sungguh dan tidak sekadar menempatkan mereka sebagai pendulang suara. Tanggung jawab itu harus benar-benar dijalankan oleh partai agar keberadaan public figure tersebut di parlemen bermanfaat bagi rakyat yang telah memberikan suaranya. Di sisi lain, kita sebagai pemilih harus dewasa menggunakan hak pilih dengan pertimbangan nalar secara benar.
*Pengajar UPN “Veteran” Yogyakarta, Dewan Redaksi SA