Politik dan Hukum

Pemilu Inklusif: Mandat yang Harus Dipenuhi Negara Demokrasi

Pemilu inklusif. Sc: GoodStats
  • Menjelang Pemilu 2024, Suara 'Aisyiyah menyediakan ruang #pemilukita. Ruang ini kami buka agar masyarakat dapat bersama-sama mewujudkan pemilu yang substantif dan inklusif.
Pemilu inklusif. Sc: GoodStats

Pemilu inklusif. Sc: GoodStats

Pernah terjadi, salah seorang petugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS) menemukan selembar kertas suara yang agak berbeda dari kertas suara pada umumnya. Pada kertas itu, telah terdapat lubang-lubang kecil yang tersebar merata. Tidak paham apa fungsinya, ia lantas menggunakannya sebagai landasan bagi para pemilih saat mencoblos. Usut punya usut, kertas suara itu dibuat khusus untuk warga difabel netra yang perlu membaca dengan menggunakan huruf Braille, yakni sistem tulisan dalam bentuk simbol titik-titik kecil yang dibuat timbul pada kertas agar bisa diraba. Kejadian tersebut terjadi di Mojokerto, Jawa Timur, dan menjadi salah satu gambaran bahwa perwujudan pemilu inklusif di lapangan masih menemui sejumlah tantangan (https://nasional.tempo. co).

Dalam wawancara pada Rabu (20/12), Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) ‘Aisyiyah, Tri Hastuti Nur Rochimah, menyampaikan, “Konsekuensi ketika kita memilih sebagai negara demokrasi, maka kemudian harus bisa menjamin agar semua warga negara tanpa bisa terpenuhi hak politiknya tanpa diskriminasi.” Sebab, sebagai bagian dari pembangunan, pemilu merupakan proses untuk memilih wakil rakyat yang akan mewakili suara dan kepentingan seluruh warga negara.

Untuk itu, Tri menegaskan bahwa negara perlu memberikan perhatian khususnya terhadap kelompok-kelompok rentan yang berpotensi terhambat dalam menggunakan hak memilihnya. Misalnya warga difabel, pekerja migran yang tinggal di luar negeri, orang-orang yang tinggal Lapas (Lembaga Permasyarakatan), masyarakat di daerah terpencil, masyarakat adat, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), dan kelompok marjinal lainnya. “Itu harus menjadi pemikiran bagi penyelenggara pemilu untuk bisa merangkul semua yang memiliki hak memilih sehingga hak politiknya tetap terjamin,” tegasnya.

Sudahkan Betul-Betul Diperhatikan?

“Penjaminan hak politik bagi disabilitas dalam pemilihan umum sudah ada dasar hukumnya,” jelas Purwanti atau yang akrab disapa Ipung, Divisi Advokasi dan Jaringan Lembaga SIGAB (Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel), saat mengisi acara Workshop Modul Pendidikan Pemilih untuk Pemilu Inklusif pada Sabtu (2/12), yang diselenggarakan oleh LPPA dan Program Inklusi. Ipung menyebutkan salah satunya ialah UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Meski begitu, penegakan undang-undang tersebut menemui beberapa tantangan.

Ipung menjelaskan bahwa tantangan utamanya adalah minimnya data mengenai jumlah dan kondisi difabel di Indonesia. “Data disabilitas belum ada yang up-to-date, yang menunjukkan benarbenar jumlah disabilitas di Indonesia,” ujarnya. Dalam wawancara dengan Suara ‘Aisyiyah, ia mengatakan bahwa proses pendataan pada Pemilu 2024 ini pun belum optimal. Banyak difabel yang belum tercatat identitasnya dan tidak memiliki KTP elektronik sebagai salah satu syarat memperoleh hak memilih, sebagian mereka tinggal di panti rehabilitasi, sebagian terkurung di rumah karena keluarga beranggapan mereka tidak perlu memilih.

Pada masa kampanye saat ini pun, tantangan muncul karena publikasi informasi dan materi kampanye dari para kontestan masih sulit diakses oleh difabel dengan beragam kondisi, misalnya difabel netra, rungu, ataupun intelektual. “Pamflet Pendidikan, brosur, dan visi misi kandidat calon hampir tidak pernah dicetak dalam huruf Braille atau tersedia dalam format audio atau bahasa yang sederhana yang bisa mudah dipahami oleh difabel,” tegas Ipung.

Hambatan partisipasi pemilu juga dialami oleh para pekerja migran. Hal tersebut diungkap Wahyu Susilo, Direktur Eksekutif Migrant CARE, dalam artikel berjudul “Pemilu 2024 dan Peminggiran Pekerja Migran Indonesia” yang dimuat di Kompas (18/12). Pasalnya, terdapat penurunan jumlah daftar pemilih tetap luar negeri (DPTLN) yakni dari 2.061.414 pada Pemilu 2019 menjadi 1.750.474 saat ini. “Angka ini terlalu kecil dibandingkan dengan populasi warga negara Indonesia yang sedang bekerja, belajar, dan bermukim di luar negeri,” tulis Wahyu.

Baca Juga: Pemantauan: Kawal Pemilu Bermartabat

Data Bank Dunia, misalnya, menyebutkan bahwa total populasi pekerja migran mencapai 9 juta orang. Tantangan penyelenggaraan Pemilu di luar negeri, menurut Wahyu, adalah belum adanya mekanisme pengawasan yang akurat dalam proses pelaksanaan pemilu bagi warga Indonesia di luar negeri. Apalagi beberapa waktu lalu, ada informasi dari panitia bahwa proses pemungutan suara di wilayah yang 99% pemilihnya pekerja migran hanya akan menggunakan metode pos/surat.

Padahal metode tersebut berpotensi menimbulkan kecurangan karena sulit diawasi. Meskipun kini ditangguhkan usai menuai banyak protes, Wahyu menilai keputusan tersebut telah memberi kesan bahwa penyelenggara pemilu tidak mempersiapkan pemilu secara berkualitas. Selain itu, ia juga membagikan hasil pengamatan Migrant CARE pada tiga pemilu terakhir di Hongkong, Malaysia, dan Singapura. “Temuannya, penyelenggaraan pemilu Indonesia di luar negeri tidak dilaksanakan secara maksimal sejak tahap pendataan yang mengakibatkan partisipasi rendah, tidak inklusif karena tidak melibatkan pekerja migran sebagai bagian dari penyelenggara pemilu, dan tidak adaptif/antisipatif atas terjadinya lonjakan pemilih pada hari pemungutan suara,” jelasnya.

Rekomendasi Pemilu Inklusif

Demi mendorong pemilu yang inklusif, Ipung menyebutkan sejumlah rekomendasi untuk mendorong perbaikan pada aspek struktural maupun lingkungan. Pada aspek struktural, rekomendasi pertamanya adalah menghilangkan persyaratan “sehat/mampu jasmani dan rohani” dalam persyaratan peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu. Keterangan “sehat/mampu jasmani dan rohani” ini perlu dipertegas agar difabel tidak dimasukkan pada kategori ini.

Selanjutnya, Ipung juga menyebutkan pentingnya penggantian istilah “disabilitas” menjadi “difabilitas”. Istilah disabilitas (disability) memiliki arti “ketidakmampuan”, sedangkan difabilitas (different ability atau differently able) berarti “kemampuan yang berbeda”. Penggunaan istilah ini, menurut Ipung, “mengandung pengakuan atas kesetaraan hak asasi manusia dan lebih konstruktif.” Selain itu, ia juga mengatakan bahwa UU Pemilu dan turunannya harus memuat jaminan kesetaraan hak politik difabel, serta perangkat KPU/D perlu segera membentuk unit difabel untuk mengakomodasi difabel di wilayah masing-masing.

Dalam aspek lingkungan, Ipung juga menyebut tiga rekomendasi. Pertama, pemerintah perlu memastikan bahwa fisik bangunan dan akses publik mesti sesuai dengan undang-undang yang memperhatikan kebutuhan difabel. Kedua, penyelenggara pemilu wajib menyediakan TPS yang aksesibel bagi pemilih difabel dengan berbagai kondisi, meliputi lingkungan TPS, bentuk bilik suara, letak kotak suara yang tidak terlalu tinggi, dan sebagainya. Ketiga, penyelenggara pemilu wajib menyiapkan Panduan Pelaksanaan Pemilu Aksesibel kepada KPPS.

Wahyu juga menyampaikan, bahwa untuk memastikan tersalurkannya kepentingan pekerja migran, Migrant CARE berupaya mencermati gagasan dan rekam jejak para kontestan di Daerah Pemilihan Jakarta II yang konstituennya meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan luar negeri. Sayangnya, “sebagian besar calon anggota legislatif sama sekali tidak memperlihatkan gagasan dan usulan mengenai agenda perlindungan pekerja migran,” imbuhnya. Meskipun begitu, ia juga melihat ada beberapa kontestan dengan latar belakang aktivis pekerja migran dan memiliki kesadaran untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Upaya lain juga dilakukan oleh PP ‘Aisyiyah yang turut mengambil andil dengan mengajak berbagai unsur advokasi kelompok rentan untuk melahirkan dokumen Panduan Pemilu Inklusif yang harapannya bisa menjadi acuan khususnya para pemilih dalam Pemilu 2024. Selain itu, Tri menjelaskan, “‘Aisyiyah juga sudah mendaftar sebagai official observer untuk memantau di berbagai TPS.” Ini dilakukan melalui Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang telah menjadi jaringan ‘Aisyiyah sejak tahun 1999.

Ia juga menyampaikan bahwa di samping memastikan hak-hak kelompok rentan yang telah disebutkan, para penyelenggara dan pengawas pemilu juga perlu memastikan agar penyelenggaraan pemilu dapat mengakomodasi kondisi masyarakat yang beragam, seperti ibu hamil, lansia, dan sebagainya. “Ibu hamil kalau antri juga dipastikan dapat tempat duduk yang priority seat. Kalau mereka mengajak anak-anak, ada nggak ya ruang bermain untuk anak-anak. Kalau mereka lansia, ada juga priority seat untuk lansia, di tempat yang nyaman untuk duduk,” jelasnya. [1/24] (Ahimsa W. Swadeshi)

Related posts
Politik dan Hukum

Pentingnya Pendidikan Politik, Pendidikan Kewargaaan

Indonesia sudah beberapa kali menyelenggarakan Pemilu pasca tumbangnya Orde Baru; baik pemilihan untuk memilih Presiden wakil Presiden, memilih anggota legislatif di tingkat…
Politik dan HukumSains dan Tekno

Cakap Bermedia Sosial di Era Polarisasi Informasi

Oleh: Firly Annisa Pemilu kita songsong sejak 14 Februari 2024 lalu. Kontestasi politik kali ini diprediksi oleh para pengamat politik tidak akan…
Berita

Nasyiah Jateng Perkuat Hubungan Kerja Sama dengan Bawaslu Jateng

Blora, Suara ‘Aisyiyah –  Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah (PWNA) Jawa Tengah (Jateng) perkuat hubungan dan kerja sama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *