Kekerasan terhadap anak dalam berbagai bentuknya, baik secara fisik maupun emosional, masih menjadi salah satu problem yang dihadapi masyarakat Indonesia. Kemajuan teknologi dan penggunaan internet yang luas memunculkan bentuk baru, yakni kekerasan berbasis online dengan segala ragamnya, seperti perundungan (bullying) dan pengiriman pesan dan gambar-gambar anggota tubuh privat atau yang bernada seksual. Bukan tidak mungkin bahwa bagi para pedofil, internet merupakan media yang mudah dan efektif untuk menggaet korban. Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat dan orang tua tentang pentingnya pendampingan bagi anak dalam menggunakan internet juga masih sangat rendah.
Terkait dengan kekerasan dan pelecehan seksual pada anak, baik secara offline maupun online, ada bentuk modus kekerasan seksual atau pelecehan yang belum banyak dipahami oleh masyarakat yang disebut dengan grooming. Secara bahasa, grooming bermakna merawat atau mengurus. Dalam konteks pelecehan seksual terhadap anak, grooming bisa didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan pelaku untuk menyiapkan anak, remaja, atau anggota keluarga lainnya agar pada saatnya, bisa menerima dan menoleransi aktivitas seksual yang dilakukan pelaku.
Data dari berbagai negara menunjukkan bahwa tindakan kekerasan seksual tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan dipersiapkan oleh pelaku secara hati-hati dan terencana, bahkan dalam waktu yang cukup lama. Hal ini menyebabkan munculnya anggapan dari anak yang menjadi korban bahwa relasi yang mereka miliki dengan pelaku adalah relasi yang normal, bahkan aman, sehingga ketika nanti pelaku melakukan aktivitas pelecehan seksual, anak akan beranggapan bahwa itu adalah tindakan normal, atau mereka tidak punya pilihan lain, kecuali menerima perlakuan tersebut.
Bagaimana Grooming Dilakukan?
Grooming dilakukan misalnya dengan menjalin pertemanan dan komunikasi yang intens terhadap anak. Akibatnya, tumbuh kepercayaan dan ikatan emosional yang baik antara pelaku dengan anak dan keluarganya. Beberapa penelitian menunjukan bahwa tindakan grooming dilakukan dalam beberapa tahap dan dapat memakan waktu yang sangat lama. Hal itu bisa dimulai dari menentukan target korban, kemudian membangun trust atau rasa percaya dalam diri anak, lalu diteruskan dengan berbagai langkah yang bertujuan memenuhi kebutuhan anak, baik secara material maupun psikologis.
Ketika kepercayaan dan kebutuhan anak terhadap pelaku sudah terbentuk, pelaku akan mengisolasi anak dengan mengkondisikan agar pelaku bisa memiliki banyak kesempatan berdua dengan anak, misalnya dengan menawaran diri menjadi pelatih, memberi les, atau sekadar menemani bermain. Kondisi berdua ini membuka peluang bagi terjadinya aktivitas seksual yang biasanya dimulai dengan membangkitkan rasa ingin tahu anak. Ketika aktivitas kekerasan seksual sudah terjadi, pelaku akan melakukan kontrol, baik melalui ancaman atau cara lain yang lebih halus, agar anak tidak melaporan tindakan yang dialami kepada orang tua.
Jamaah raḥimakumullah
Beberapa tindakan grooming yang biasanya terjadi dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pertama, memberikan perhatian khusus kepada anak dan atau orang tuanya, termasuk memberikan hadiah, seperti mainan atau telepon genggam baru, sehingga anak atau orang tua merasa spesial atau berhutang budi.
Kedua, melakukan kontak fisik, mulai dari yang ringan, seperti menggelitik, kemudian secara perlahan meningkat semakin intensif, seperti wrestling (permainan bergelut) dan memeluk.
Ketiga, secara sengaja atau pura pura tidak sengaja menunjukan gambar atau video telanjang maupun materi yang bernada seksual atau bermuatan aktivitas seksual.
Keempat, melakukan kontrol terhadap anak atau remaja melalui ancaman, paksaan, atau penggunaan otoritas, sehingga anak takut melaporkan perilaku kekerasan yang diterimanya.
Pencegahan Grooming dalam Perspektif Islam
Memang tidak mudah untuk kita mengidentifikasi secara presisi apakah seseorang sedang melakukan grooming atau secara murni sedang menunjukkan kasih sayang kepada anak. Dengan kata lain, grooming lebih mudah dikenali setelah kejadian pelecehan terjadi. Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan masyarakat memahami grooming ini sehingga tindakan pencegahan dapat secara komprehensif dilakukan.
Apa yang dapat dilakukan orang tua agar grooming tidak terjadi pada anak? Pertama, mendengarkan anak. Islam sudah mengajarkan bahwa dalam relasi dengan anak, orang tua perlu mengedepankan prinsip-prinsip yang sudah dicantumkan dalam al-Quran, seperti prinsip hubungan kesetaraan (al-musawah) dan kasih sayang (al-mawaddah). Prinsip kesetaraan berarti orang tua menempatkan anak sebagai individu atau manusia yang sama, terlepas dari perbedaan usia yang ada. Surat al-Hujurat ayat 13 bisa dijadikan landasan dalam prinsip al-musawah di atas.
Artinya, “Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.”
Dalam praktiknya, prinsip al-musawah dan al-mawaddah ini akan memunculkan hubungan anak dan orang tua yang dialogis dan komunikatif, di mana orang tua tidak hanya mengharapkan anak untuk mendengarkan, tetapi juga didengarkan. Ketika orang tua dapat mendengarkan anak, kasih sayang, perhatian, dan penghormatan terbentuk untuk kedua belah pihak.
Baca Juga: Mengenal Kekerasan Berbasis Gender Online
Dalam konteks pencegahan grooming, membuka ruang komunikasi yang terbuka dan tanpa menghakimi terhadap anak dapat membangun rasa aman dan kepercayaan anak terhadap orang tua, serta perasaan dicintai dan dihargai. Dengan demikian, anak tidak menumpukan kebutuhan akan perhatian dan kasih sayang dari orang dewasa lainnya. Mendengarkan juga sangat penting untuk mendorong anak bersikap jujur terhadap apapun yang terjadi dalam kesehariannya. Oleh karena itu, identifikasi dini terhadap kemungkinan anak menjadi obyek grooming bisa dilakukan orang tua.
Kedua, memberikan pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini. Pemberian pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini, seperti pengenalan anggota tubuh serta mana bagian tubuh yang bisa disentuh orang lain dan mana yang tidak boleh disentuh, merupakan informasi fundamental untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak. Al-Quran dan juga fikih sudah merumuskan secara cukup jelas batasan privasi, tidak hanya antara lawan jenis, tetapi juga antara sesama jenis. Orang tua, misalnya, dianjurkan untuk memisahkan kamar anak ketika mereka berusia 10 tahun, sebagaimana ditunjukkan dalam hadis yang artinya sebagai berikut:
Artinya, “Suruhlah anak-anakmu melakukan salat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka apabila tidak mau melakukan salat ketika mereka berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka” (H.R. Abū Dāwūd, No. 495).
Islam juga mengajarkan adab saat memasuki kamar orang tua serta menjaga pandangan terhadap lawan jenis, sebagaimana dipaparkan surat an-Nur, ayat 31.
Jika dikaitkan dengan grooming, pendidikan reproduksi akan membantu anak memahami dengan jelas etika berinteraksi dengan orang lain, batasan-batasan privasi, dan memahami konsekuensi yang mungkin terjadi jika batasan-batasan privasi itu dilanggar. Harapannya, anak mampu mengenali dan mengantisipasi jika ada pelanggaran terhadap privasi yang dilakukan orang lain terhadapnya, terutama jika itu mengarah pada perilaku grooming.
Ketiga, ajari anak untuk bersikap asertif. Mengajari anak untuk bersikap asertif artinya kita memberikan pengertian bahwa mereka boleh atau memiliki hak untuk berpendapat dan berbicara. Dalam Islam, menghargai hak berbicara pada anak sudah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika Allah memintanya mengorbankan putranya, Ismail, sebagaimana diabadikan dalam surat as-Shaffat ayat 102.
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu! Ia menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Menghargai pendapat anak artinya membangun keberanian anak untuk mengatakan pendapatnya, termasuk mengatakan “tidak” terhadap tindakan-tindakan yang negatif, seperti grooming atau tindakan pelecehan dan kekerasan seksual lainnya. Dalam konteks grooming, asertif juga berarti anak boleh mengatakan ‘tidak’ tanpa harus menjelaskan lebih lanjut, terutama ketika boundaries atau batas–batas privasi yang sudah diajarkan, dilanggar oleh orang lain, termasuk oleh orang dewasa.
Keempat, menemani dan memberi batasan kepada anak dalam menggunakan internet. Sebagaimana dipaparkan di atas, kekerasan seksual berbasis online merupakan bentuk kekerasan baru yang mungkin lebih banyak terjadi dibanding kekerasan langsung. Proses grooming secara online juga banyak sekali terjadi karena dunia maya adalah dunia terbuka yang dapat diakses siapa saja tanpa memandang umur, letak geografis, jenis kelamin, dan komponen lainnya. Oleh karena itu, orang tua harus melek literasi, termasuk literasi digital, dan mengajarkannya kepada anak.
Dengan demikian, orang tua dan anak sama-sama memiliki keterampilan untuk menyaring informasi yang diterima dan menjaga informasi yang disebarluaskan. Dengan kata lain, orang tua perlu mendampingi dan hadir dalam aktivitas anak, baik secara offline maupun online. Jadilah teman anak di Facebook atau Instagram sehingga orang tua dapat memahami dan menyadari apa saja yang diunggah dan dibagikan anak dalam media online, kepada siapa saja anak membagi informasi, baik sengaja ataupun tidak sengaja, serta pengaturan privasi seperti apa yang dilakukan anak dalam media sosial.
Jamaah raḥimakumullah
Untuk menutup tulisan ini, perlu digarisbawahi kembali bahwa mayoritas kasus kekerasan seksual dalam bentuk grooming pada anak tidak terjadi secara tiba tiba, melainkan dilakukan pelaku secara bertahap dan sistematis, dan tidak jarang memakan waktu yang cukup lama. Korban bahkan mungkin tidak menyadari bahwa ia sedang dilecehkan. Oleh karena itu, grooming sulit diidentifikasi sampai kekerasan sudah terjadi.
Penting bagi orang tua untuk memahami perihal grooming ini dan dapat mengidentifikasi ketika grooming terjadi pada anak. Membangun rasa aman dan kepercayaan anak bahwa kita sebagai orang tua mencintai dan menghormati mereka adalah kunci utama. Tujuannya, kebutuhan psikologis anak terpenuhi secara optimal sehingga anak tidak menumpukan kebutuhan psikologis itu kepada orang lain.
*Majelis Kesejahteraan Sosial PPADivisi Keluarga dan Masyarakat MTT