
foto: dakta.com
Oleh: Susilaningsih Kuntowijoyo
Pembinaan keagamaan dalam keluarga merupakan proses pertama dan utama dalam pembentukan religiusitas atau rasa keagamaan yang kemudian akan menjadi pedoman dalam kehidupan selanjutnya. Dalam buku Tuntunan Menuju Keluarga Sakinah (2016) disebut sebagai Pembinaan Aspek Spiritual.
Target pembinaan keagamaan adalah terbentuknya hati nurani (religious conscience) yang akan menjadi penggerak untuk menentukan baik atau buruk, benar atau salah, serta tepat dan tidak tepat dari suatu perilaku, bagi semua jenjang usia manusia. Kandungan dari hati nurani adalah nilai-nilai agama, sosial, dan budaya yang yang telah mengkristal sebagai hasil dari proses internalisasi secara kontinyu dan konsisten semenjak usia dini, terutama melalui keluarga.
Proses internalisasi nilai agama memerlukan usaha penuh kesadaran dan ketelatenan dari para pendidik dalam keluarga, terutama kedua orang tua, yang harus mempunyai satu visi, baik secara substansi maupun strategi. Di samping itu, juga diperlukan adanya usaha penjagaan secara bijaksana dari intervensi nilai-nilai yang tidak senada atau bahkan berlawanan, termasuk yang berasal dari luar rumah, baik dari sekolah, pergaulan antar teman sebaya, dan tayangan-tayangan di media sosial.
Hal itu terutama perlu dilakukan pada usia anak, yaitu sampai menjelang usia remaja, karena proses pengkristalan nilai-nilai dalam diri manusia terjadi semenjak usia dini sampai akhir usia anak. Hati nurani mulai berfungsi semenjak awal usia remaja, ketika anak sudah mulai cenderung bertindak berdasarkan kata hatinya dari pada pendapat orang lain termasuk orangtuanya sendiri. Apabila pada akhir usia anak hati nurani belum terbentuk, pada masa remaja akan mudah terpengaruh oleh intervensi nilai-nilai lain yang berlawanan dari nilai-nilai yang disosialisasikan oleh keluarganya.
Baca Juga: Peran Anak dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah
Pemeliharaan hati nurani harus terus dilakukan, terutama pada usia remaja dan dewasa karena tantangan hidup cukup berat pada usia tersebut, yang seringkali harus berhadapan antara tuntutan diri yang harus dipenuhi dengan tawaran jalan yang penuh liku dan bahkan berlawanan dengan nilai-nilai dalam nuraninya. Hal tersebut dapat memancing terjadinya konflik dalam diri, dan kalau berkepanjangan dapat melemahkan nilai-nilai yang sudah tertanam dalam hati nurani. Usaha pemeliharaan hati nurani dapat dilakukan dengan selalu memperbarui esensi nilai-nilai agama, dalam hal ini nilai-nilai keislaman, melalui berbagai cara, di antaranya melalui forum pengajian dan membaca buku.
Penggunaan pendekatan dan strategi yang tepat perlu dilakukan agar pembinaan keagamaan dalam keluarga dapat berjalan secara efektif. Dari berbagai sumber dapat ditemukan tawaran berbagai macam strategi pembinaan agama. Beberapa di antaranya yang dapat digunakan sebagai rujukan akan disajikan pada tulisan kali ini.
Pendekatan Pembinaan Keagamaan
Setidaknya, ada dua macam pendekatan yang bisa digunakan dalam pembinaan keagamaan keluarga, yaitu pendekatan komprehensif dan pendekatan kasih sayang (ramah anak). Pendekatan komprehensif mengindikasikan bahwa selain proses internalisasi nilai-nilai agama dalam keluarga, perlu diterapkan pula internalisasi nilai-nilai sosial, moral, dan budaya yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Penyampaiannya dapat secara terpilah ataupun terpadu, disertai dengan pemahaman tentang perbedaan dan persamaan dari nilai-nilai tersebut, serta cara penerapannya. Khusus dalam proses internalisasi nilai-nilai agama, dalam hal ini Islam, penyampaiannya juga perlu dilakukan dengan pendekatan komprehensif.
Pendekatan kasih sayang adalah pengutamaan suasana yang dapat menimbulkan rasa nyaman dalam proses pembinaan keagamaan dan terhindar dari perasaan terancam bagi anggota keluarga, walau mendapat teguran karena telah berbuat salah. Perasaan dicintai adalah sumber energi bagi manusia semua usia untuk dapat produktif dalam kehidupannya. Pendekatan kasih sayang juga mengacu kepada sifat Allah (Ar-Rahman dan Ar-Rahim) yang telah memberikan rahmat-Nya kepada semua makhluk, mengampuni manusia yang mau bertaubat dan mau memperbaiki diri setelah melakukan kejahatan dan kesalahan (Q.S. al-An’am [6]: 54).
Strategi Pembinaan Keagamaan
Ada banyak strategi yang dapat ditawarkan untuk pembinaan keagamaan dalam keluarga. Bahkan dari hasil telaah tentang bagaimana Nabi Muhammad saw menyampaikan agama Islam, Abd. Al-Fattah Abu Ghaddah dapat mensarikan adanya 40 macam strategi pembelajaran (1997, Alih Bahasa Sumedi dan R. Umi Baroroh, 2005). Dalam tulisan ini disampaikan lima (5) strategi pembinaan keagamaan, yaitu tauladan, dialog, pembiasaan, cerita dan ibrah, serta disiplin. Dalam penerapannya, lima strategi tersebut utamanya memang dipakai untuk usia anak dan remaja, tetapi secara umum dapat juga dipakai untuk usia dewasa dan juga lansia.
Pertama, strategi tauladan. Strategi ini merupakan cara penyerapan dan peniruan nilai-nilai agama, sosial, dan budaya melalui ucapan dan perilaku yang disengajakan pendidik di dalam keluarga terutama oleh kedua orang tua. Penerapan dari strategi tauladan utamanya terkait dengan sikap, ucapan, dan perilaku keagamaan, baik di dalam rumah maupun di luar rumah ketika bersama dengan anak. Strategi ini dapat diterapkan saat masih usia anak-anak, dan juga untuk remaja, karena pada dasarnya manusia itu mempunyai kecenderungan untuk meniru orang-orang yang intensif berhubungan dengan dirinya. Sebagai contoh, seorang anak mempunyai kecenderungan memiliki gaya bicara seperti orang tuanya.
Strategi tauladan juga merupakan salah satu dari strategi pembelajaran yang dicontohkan Rasulullah saw. Orang tua perlu memiliki pemahaman dan kesadaran tentang strategi tauladan ini sebab penerapannya memerlukan usaha kontrol diri tentang kemungkinan munculnya sikap dan perilaku negatif yang muncul secara spontan. Misalnya ekspresi kekesalan dan kemarahan yang tak terkendalikan, dan percekcokan antar suami isteri. Untuk melengkapi penerapan dari strategi teladan dapat dikombinasikan dengan strategi dialog agar anak dapat memperoleh pemahaman tentang makna hal-hal yang diteladankan, dengan bahasa sesuai dengan usia anak.
Kedua, strategi dialog. Strategi dialog merupakan proses pembinaan keagamaan melalui penyampaian materi tentang nilai-nilai agama, sosial, budaya dengan memberikan kesempatan subyek didik mengajukan pertanyaan ataupun pendapatnya. Strategi ini dapat diterapkan pada usia anak, remaja, maupun dewasa. Penerapan strategi ini diharapkan dapat mendorong subyek didik untuk mengembangkan sikap terbuka, serta memacu aktivitas dan kreativitas berpikirnya.
Strategi dialog dapat mendorong subyek didik melaksanakan ajaran agama dengan kesadaran diri sendiri. Sebaiknya strategi ini diterapkan semenjak usia dini, ketika anak sudah dapat diajak bicara, untuk menstimulasi kerja kognisi anak terkait dengan keagamaan, misalnya ketika mengenalkan anak terhadap lingkungan alam. Pengajaran tentang hal-hal yang bersifat doktriner misalnya tentang kewajiban shalat dan halal-haram dapat juga disampaikan dengan strategi dialog. Strategi dialog juga merupakan salah satu dari 40 strategi pembelajaran Rasulullah saw.
Ketiga, strategi pembiasaan. Strategi ini adalah cara atau jalan untuk membentuk dan menguatkan sikap dan perilaku dari nilai-nilai agama, sosial, dan budaya agar dapat menetap pada diri seseorang sehingga menjadi sikap dan perilaku yang bersifat spontan. Seringkali sikap, gaya dan cara bicara, serta perilaku seseorang yang bersifat spontan memang produk dari kebiasaan yang terbentuk semenjak usia anak, yang pada umumnya tidak disengajakan, atau terjadi begitu saja. Karenanya, seringkali seseorang memiliki sikap dan perilaku spontan yang kurang sesuai dengan harapan orangtua atau masyarakat.
Oleh karena itu, sikap dan perilaku keagamaan perlu dilatihkan dan dibiasakan semenjak usia anak agar dapat menjadi ekspresi sikap dan perilaku yang spontan atau menjadi kebiasaan, seperti tersenyum ketika berpapasan dengan seseorang walau tidak dikenalnya, sikap siap membantu orang lain, dan salat pada awal waktu. Strategi pembiasaan memerlukan kesadaran dan ketelatenan dari orang tua karena harus dilakukan dengan terus menerus secara konsisten.
Keempat, strategi cerita dan ibrah. Strategi yang juga dapat disebut sebagai strategi kisah dan i’tibar ini adalah penyampaian cerita atau kisah tentang suatu cerita dengan maksud untuk menjadi contoh, untuk ditiru ataupun untuk dihindari (Q.S. Al Hasyr [59] : 2). Strategi ini dapat disampaikan secara lisan maupun tulisan. Secara lisan, strategi yang biasa juga disebut sebagai strategi dongeng ini tepat diterapkan untuk usia anak.
Di samping dapat digunakan sebagai media untuk menjadi contoh dalam bersikap dan berperilaku, dapat juga digunakan untuk mengembangkan daya imajinasi dan kreativitas berpikir anak. Untuk itu, diperlukan kemampuan mendongeng yang ekspresif bagi pendongengnya, baik oleh orang tua maupun guru, dan para penyampai dongeng yang lain.
Bagi remaja dan orang dewasa perlu juga didorong menyukai buku-buku yang berisi cerita, kisah, atau sejarah, termasuk sejarah para nabi, khulafaur rasyidin, dan para pejuang Islam lainnya. Khusus untuk Rasulullah Muhammad saw, bukan hanya perlu dibaca sejarahnya saja, tetapi perlu dipelajari sirahnya, yaitu perjalanan kehidupan beliau agar mampu mendorong diri menerapkan semua ajaran-ajaran yang telah dicontohkan.
Kelima, strategi disiplin. Strategi ini adalah suatu cara agar seseorang melaksanakan atau mematuhi aturan yang berisi perintah dan larangan yang telah disepakati dalam suatu kelompok. Aturan tersebut merupakan turunan dari suatu materi yang telah disosialisasikan sebelumnya. Dalam pembinaan keagamaan bagi keluarga, strategi ini tepat dilakukan untuk membentuk ketaatan kepada aturan tersebut, khususnya pada usia anak dan remaja. Ajaran agama yang telah disosialisasikan sebelumnya tidak selalu berbentuk perintah dan larangan secara konkret. Maka agar ajaran itu dapat dilaksanakan perlu dikonkretkan menjadi aturan berupa perintah dan larangan.
Baca Juga: Pendidikan Karakter Takwa dalam Keluarga Sakinah
Penerapan strategi disiplin memerlukan adanya empat unsur, yaitu aturan, hadiah, sanksi, dan konsistensi (Elizabeth B Hurlock, 1978). Aturan yang bersifat konkrit dan diskriptif diperlukan sebagai panduan bersikap dan berperilaku. Dalam hal ajaran Islam misalnya hukum Islam halal, haram, sunnah, mubah, makruh, tentang akhlak mahmudah dan mazmumah, atau aturan-aturan yang dibuat oleh masing-masing keluarga.
Hadiah atau penghargaan berfungsi untuk mendorong dan menguatkan perilaku dalam melaksanakan aturan. Secara psikologis hadiah menimbulkan rasa senang sehingga seseorang merasa nyaman untuk melakukan aturan-aturan yang telah diajarkannya. Hadiah bukan hanya berupa barang tetapi dapat juga berupa pujian atau bentuk apresiasi lainnya.
Sanksi atau hukuman berfungsi untuk menghalangi terjadinya kesalahan atau pelanggaran terhadap suatu kesalahan dari aturan yang telah dipahamkan atau disosialisasikan sebelumnya. Suatu sanksi biasanya menimbulkan rasa tidak nyaman, sehingga selanjutnya subyek didik termotivasi untuk menghindarkan diri dari terjadinya pelanggaran agar terhindar dari rasa tidak nyaman itu. Sebaiknya sanksi yang diterapkan tidak menimbulkan rasa sakit hati atau sakit fisik bagi subyek didik.
Untuk itu, dalam mengenalkan suatu peraturan perlu disampaikan adanya dan macamnya sanksi dari suatu pelanggaran yang terjadi, bahkan dapat ditulis bersama dengan subyek didik. Bentuk sanksi dapat bervariasi, misalnya berupa teguran, penambahan tugas, maupun dihindarkan dari kesenangan yang biasanya diterima.
Konsistensi atau keajegan adalah adanya stabilitas terlaksananya tiga unsur disiplin di atas, yaitu dalam penerapan dan macam aturan, pemberian penghargaan, serta pemberian sanksi. Misalnya bila suatu penghargaan atau sanksi diterapkan pada seseorang maka juga harus diterapkan pada orang yang lain. Ketiadaan konsistensi dari adanya proses disiplin akan mengurangi efektifitas dari fungsi suatu aturan.
Dalam penerapannya, proses pembinaan keagamaan dalam keluarga memang tidak mudah. Perlu kesadaran, ketelatenan, dan pengetahuan yang harus dimiliki oleh para pendidik dalam keluarga itu, khususnya para orang tua.