Kupang, Suara ‘Aisyiyah – Secara statistik, penduduk Papua mayoritas beragama Kristen. Meski begitu, secara kebangsaan penduduknya sangat heterogen, di mana terdapat berbagai suku, agama, ras, dan budaya di dalamnya. “Itulah kekayaan yang dimiliki bangsa ini di tanah Papua,” ujar Pendeta Lipiyus Biniluk, Rabu (25/5).
Pendeta Lipiyus Biniluk merupakan alumni sekolah Muhammadiyah yang oleh Din Syamsuddin didaulat sebagai anggota Muhammadiyah. Ia mengaku sangat dekat dengan warga Muhammadiyah di Papua.
Menjadi pemateri dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah Ke-48 dengan tema “Kerja Sama Antar Iman dan Integrasi Sosial” yang digelar Universitas Muhammadiyah Kupang, ia menjelaskan bahwa pada umumnya, kondisi kerukunan umat beragama di Papua relatif baik dan terpelihara. Kondisi ini perlu dicatat baik. Kalaupun ada riak-riak konflik kepentingan, kata dia, itu sifatnya hanya sedikit saja, seperti umumnya yang terjadi di daerah lain.
Konflik yang terjadi di Papua, Pendeta Lipiyus menjelaskan, umumnya disebabkan oleh kepentingan lain, misalnya kepentingan politik, ekonomi, dan masalah yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan agama. “Semoga tidak ada lagi,” harapnya.
Salah satu alasan mengapa kerukunan antar umat beragama di Papua terpelihara adalah karena ada potensi kerukunan antar umat beragama yang senantiasa dipelihara. Potensi ini pulalah yang menurutnya harus terus dipelihara. Dalam rangka itu, para tokoh lintas agama perlu mengambil peran penting dalam menjaga kerukunan umat beragama ini.
Baca Juga: Seminar Pra-Muktamar: Muhammadiyah Harus Jadi Aktor Perdamaian dan Integrasi Sosial Dunia
Budaya lokal Papua juga penuh toleransi. Yang tidak kalah penting, kata Pendeta Lipiyus, adalah bahwa agama Kristen yang dianut sebagian besar orang Papua mengajarkan ajaran Yesus untuk saling mengasihi sesama manusia. “Mengasihi sesama manusia ini ajaran yang ditekankan oleh Yesus,” terangnya.
Dalam perspektif agama Kristen, hidup rukun adalah sebuah keharusan. Mengutip kitab Mazmur, ia menegaskan bahwa hidup rukun, aman, dan damai akan melahirkan kesejahteraan dan kehidupan bagi manusia.
“Tidak boleh ada lagi radikalisme, terorisme yang ada di Indonesia. Merasa benar sendiri, yang lain itu tidak ada di Indonesia. Tidak. Perahu Republik Indonesia milik bersama, milik semua agama,” ujar Pendeta Lipiyus.
Cinta dan kasih itu, kata dia, mengikat semua perbedaan. Oleh karena itu, semua warga negara Indonesia perlu menanamkan perasaan cinta dan kasih di dalam dirinya, sehingga tercipta kehidupan sosial yang rukun, aman, dan damai. Kehidupan yang rukun, aman, dan damai ini tidak cukup hanya dengan sikap tanpa permusuhan, tetapi juga mesti terwujud dalam gaya hidup saling kerja sama untuk kepentingan bersama.
Dalam hal ini, Pendeta Lipiyus Biniluk mengapresiasi apa yang sudah dilakukan oleh Muhammadiyah. Karenanya, sikap dan gerak positif Muhammadiyah ini perlu ditularkan kepada bangsa Indonesia secara umum. “Muhammadiyah harus proaktif ke depan,” kata dia. (sb)