Sosial BudayaWawasan

Pendidikan Anak dan Peran Perempuan Berkemajuan di Masa Pandemi Covid-19

anak belajar

anak belajarOleh: Afra Hanifah Prasastisiwi

Covid-19 pertama kali dinyatakan oleh World Health Organization (WHO) sebagai pandemi pada 12 Maret 2020. Sejak itu, segala bentuk pencegahan transmisi dilakukan oleh banyak negara dengan beragam cara, salah satunya melalui praktik penutupan sekolah. Di Indonesia, penutupan sekolah tercatat sudah dilakukan sejak 24 Maret 2020. Penutupan sekolah secara penuh dilakukan selama 4 bulan pertama dan berlanjut seterusnya terutama di wilayah dengan zona merah. Akibat penutupan sekolah, pembelajaran formal di Indonesia mengalami pergeseran dengan beberapa kali memanfaatkan fasilitas TV Nasional dan perpindahan metode ke sistem daring.

Bergesernya metode pembelajaran menjadi sistem daring sendiri sekaligus mendekatkan pendidikan Indonesia ke arah sustainable education atau pendidikan yang berkelanjutan. Hal tersebut terkait dengan praktik pembelajaran daring yang sejalan dengan gagasan pendidikan masa depan (future education idea). Di mana gagasan tersebut berusaha memenuhi misi pembelajaran di era revolusi industri 4.0 dan komunitas 5.0 yang ingin memajukan pendidikan melalui digitalisasi sistem pembelajaran. Serupa dengan digitalisasi pada aspek kehidupan masyarakat lainnya, pendidikan masa depan juga diharapkan memiliki efisiensi dari segi waktu maupun tempat. Dalam hal ini, pembelajaran daring mampu memfasilitasi pendidikan untuk dapat mencapai efisiensi tersebut.

Meski menawarkan sustainability atau keberlanjutan, beberapa studi terdahulu memperlihatkan bahwa praktik penutupan sekolah dan pembelajaran daring tidak sepenuhnya berjalan sempurna di Indonesia. Banyak persoalan yang muncul akibat pembelajaran daring, di antaranya hambatan jaringan, kurangnya literasi digital, besarnya biaya internet, hingga kelelahan mental karena video conference atau zoom fatigue. Adanya hambatan tersebut kemudian meningkatkan kemungkinan anak akan putus sekolah. Bahkan menurut data World Bank, setidaknya 24 juta pelajar di masa pandemi kemungkinan tidak akan pernah kembali ke sekolah setelah wabah mereda.

Anak Putus Sekolah

Menyoroti lebih lanjut, persoalan anak putus sekolah nyatanya tidak jauh dari perkara ketimpangan/inequality. Pasalnya anak dari keluarga berpenghasilan rendah memiliki risiko lebih tinggi untuk putus sekolah. Risiko tersebut berkaitan dengan alasan anak memilih untuk tidak kembali ke sekolah. Alasan yang dimaksud diakibatkan oleh beban ekonomi yang meningkat di kala pandemi yang seringkali turut membebani anak. Bagi beberapa keluarga, tetap mempertahankan anaknya sekolah terkadang dianggap “beban” terlebih melihat biaya (cost) yang dikeluarkan. Dengan begitu, untuk mengurangi “beban”, orang tua cenderung memperbolehkan anaknya melangkah ke dunia yang lebih dewasa, di antaranya untuk bekerja dan menikah.

Jika sebelumnya dilihat dari sisi orang tua, maka berikutnya perlu diperhatikan pula pertimbangan putus sekolah dari sisi anak. Anak yang banyak menghabiskan waktu di rumah akibat penutupan sekolah dan pembelajaran daring secara tidak langsung melihat situasi keluarganya secara utuh. Muncul kemungkinan bahwa anak merasa tidak perlu lagi bersekolah karena urgensi ekonomi yang besar di keluarganya.

Akibat dari itu, anak dapat memilih dropout untuk mengurangi beban ekonomi keluarga, yang kemudian akan meningkatkan risiko bekerja di bawah umur dan/atau menikah dini. Hal ini juga dapat terjadi sebaliknya, anak memilih menikah untuk mengurangi beban biaya, kemudian dropout karena beban sosial dari bekerja dan/atau menikah dini. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), kedua hal itu—dropout dan bekerja/menikah dini—masih belum jelas yang mana penyebab dan akibatnya, namun yang pasti sama-sama memberi kerugian bagi anak.

Bencana Generasi

Kerugian yang mungkin muncul akibat putus sekolah, bekerja di bawah umur, maupun menikah dini meliputi hal-hal yang serius dan mendekatkan Indonesia pada fenomena bencana generasi. Istilah bencana generasi (Generational Catasthrope) pertama kali dikenalkan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dalam konferensinya sebagai fenomena penurunan produktivitas angkatan kerja di masa depan akibat generasi muda yang terhambat pendidikannya. Produktivitas tersebut menurun diindikasikan oleh beragam aspek diantaranya; akademik, ekonomi, kesehatan, hingga kesejahteraan.

Berdasarkan teori sosiologi klasik oleh Mannheim, generasi sendiri tidak dibatasi hanya oleh rentang usia tetapi juga meliputi konteks sosiohistoris. Dalam kasus ini, seluruh pelajar memiliki pengalaman yang kurang lebih serupa pada situasi pendidikan di masa pandemi. Dengan kata lain, seluruh individu yang mengenyam pendidikan semasa pandemi dapat dikategorikan sebagai satu generasi. Generasi itu sendiri diistilahkan sebagai “Generasi Covid-19”.

Baca Juga: Mengenalkan Perubahan Iklim pada Anak Usia Dini

Generasi Covid-19 di Indonesia mengalami banyak kemunduran dibandingkan generasi sebelumnya terutama pada kemampuan akademik. Melemahnya akademik menjadi akar dari persoalan-persoalan lain yang berpotensi muncul kedepannya. Berdasarkan data World Bank, diperkirakan siswa sekolah menengah di Indonesia akan kehilangan rata-rata 11 poin dalam skor PISA pada aspek membaca. Kemudian karena pendidikan berkaitan dengan pendapatan masa depan, data tersebut juga memproyeksikan bahwa siswa Indonesia akan kehilangan pendapatan hingga US$ 484 setiap tahunnya. Dengan kata lain, dampak dari penutupan sekolah dan ketidaksiapan pembelajaran daring berpotensi meyakiti ekonomi Indonesia di masa depan.

Selain dalam aspek akademik dan ekonomi, kerugian juga muncul pada segi kesehatan serta kesejahteraan. Jika sudah menikah, anak—khususnya anak perempuan—rawan untuk hamil dan kondisi kehamilan pada anak cukup berisiko bagi kesehatannya. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa anak perempuan dalam kasus ini menjadi pihak yang paling dirugikan. Kemudian terkait putus sekolah, kesejahteraan masa depan keluarga anak tersebut pun juga turut terancam. Persoalan kesehatan dan kesejahteraan ini sendiri merupakan buntut dari ketiadaan orang tua sebagai pelindung dewasa yang dalam hal ini justru melepas anaknya karena beban ekonomi.

Peran Perempuan Berkemajuan

Merefleksikan uraian di atas, peran perempuan menjadi penting untuk membawa perubahan positif pada pendidikan anak Indonesia. Perempuan, khususnya yang berkemajuan, bahkan dapat dikatakan bertanggung jawab akan situasi tersebut. Perempuan berkemajuan sendiri adalah perempuan modern yang tidak lagi menganggap ketimpangan gender menghambat dirinya untuk mengakses segala kepentingan dalam aspek kehidupan bermasyarakat. Karena itu, perempuan berkemajuan harus dapat menularkan personanya agar turut dirasakan perempuan lain. Dalam kasus pendidikan masa pandemi ini, perempuan berkelanjutan diharapkan dapat berperan untuk menanamkan pemahaman mengenai pentingnya pendidikan dan bahaya putus sekolah, bekerja di bawah umur, serta menikah dini baik pada anak perempuan maupun ibunya.

Khususnya pada kasus pernikahan dini yang paling merugikan anak perempuan, urgensi akan penanaman edukasi oleh perempuan berkemajuan menjadi cukup tinggi. Berdasarkan laporan BPS dan UNICEF, 1 dari 9 anak perempuan Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun pada 2018. Dari sisi agama Islam, seseorang diperbolehkan menikah bila sudah akil baligh. Tetapi, masih banyak masyarakat yang memisahkan konsep akil (dewasa akal) dan baligh (dewasa fisik). Karena ini, masih banyak yang beranggapan bahwa agama memperbolehkan pernikahan anak.

Dengan demikian, peran perempuan berkemajuan yang diharapkan di sini ialah untuk membawa pemahaman akan akil baligh tersebut. Ibu maupun anak perempuan, kedepannya harus dapat menyuarakan ketidaksiapannya untuk menikah baik secara akil, baligh, maupun keduanya.

Perempuan berkemajuan dapat mengaktualisasikan edukasinya melalui pemahaman akan pentingnya pendidikan di mana hal ini dapat mencegah praktik pernikahan anak. Atau dengan kata lain, pendidikan dapat dijadikan “tameng” untuk mencegah praktik pernikahan tersebut terjadi. Selanjutnya bila peran tersebut dapat diimplementasikan secara baik oleh banyak perempuan, sustainable education yang disinggung sebelumnya diharapkan mampu terwujud dan kesejahteraan anak perempuan dapat semakin terjamin di Indonesia.

Related posts
Berita

Pendidikan Politik Perempuan Berkemajuan

Pekalongan, Suara ‘Aisyiyah – Dalam rangka menjelang Pesta Demokrasi, Pilpres dan Legislatif yang Insyaallah akan berlangsung tanggal 14 Februari 2024 Pimpinan Daerah…
Berita

Masa Depan Dunia di Tangan Anak, Abdul Mu’ti Sebut Tiga Pihak yang Bertanggung Jawab pada Anak

Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyebutkan bahwa masa depan dunia ada di tangan anak. Hal…
Anak

Membawa Anak ke Masjid, Salahkah?

Oleh: Aninda Khairunnisa Sudiaji* Membawa anak kecil ke masjid merupakan keputusan baik dan bermanfaat untuk membangun landasan keimanan yang kuat sejak dini….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *