Oleh: Susilaningsih Kuntowijoyo
Pendidikan kesetaraan adalah proses pembentukan rasa dan sikap kesetaraan antar individu sehingga masing-masingnya mampu berperilaku proporsional dalam hubungan antar sesama, baik pada individu beda usia, beda pekerjaan, beda kedudukan, maupun beda jenis kelamin, antara laki-laki dan perempuan.
Perasaan setara adalah perasaan bahwa orang lain sebanding, seimbang, sepadan, atau sejajar dengan dirinya dalam hal nilai dan kedudukan. Perasaan setara tersebut akan menuntun kepada rasa nyaman dalam pergaulan serta menghindarkan dari sikap merendahkan dan sombong atas orang lain. Dengan demikian, suasana pergaulan yang nyaman dan bahkan bisa saling menguatkan dapat terwujud, baik dalam keluarga maupun dalam lingkungan sosial, misalnya di lingkungan pendidikan, dunia kerja, dan sosial kemasyarakatan.
Modal kejiwaan untuk memiliki rasa dan sikap kesetaraan adalah percaya diri, rendah hati, hormat terhadap orang lain, positif, apresiatif, berpola pikir terbuka, memahami nilai-nilai tentang kesetaraan manusia, serta mampu berkomunikasi dengan tepat. Rasa dan sikap kesetaraan itu tidak bisa dimiliki oleh individu begitu saja tetapi harus melalui proses pembentukan sejak dini, secara terus menerus, dan dengan cara yang tepat. Artinya, harus ada pendidikan kesetaraan yang dilakukan dalam keluarga, khususnya oleh orang tua.
Memang manusia dilahirkan dengan membawa karunia Allah subhanahu wata’ala berupa berbagai potensi kemampuan sebagai modal dalam kehidupan, termasuk kemampuan berkomunikasi Meskipun demikian, semua potensi itu harus dimampukan sehingga sikap dan perilaku itu terterapkan dalam pergaulan secara benar dan tepat. Keluarga sebagai tempat pendidikan pertama bagi manusia mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut.
Pada hakikatnya, manusia lahir sudah membawa perbedaan-perbedaan, khususnya perbedaan lahiriyah, di antaranya perbedaan jenis kelamin, usia, etnis yang sekaligus warna kulit, dan perbedaan status. Dalam persepsi awal anak usia dini, perbedaan lahiriyah itu tidak menimbulkan masalah karena yang dibutuhkan anak pada usia tersebut adalah kehangatan sikap dalam proses interaksinya dengan lingkungan. Anak akan merasa berbeda dengan lingkungannya ketika diberi persepsi tentang adanya perbedaan itu dan bagaimana ia semestinya bersikap terhadap pihak yang berbeda tersebut.
Sebaga contoh adalah posisi antara pengasuh (baby sitter) dengan diri anak yang diasuh. Orang tua memegang peran yang signifikan dalam menentukan pandangan anak tentang kedudukannya dengan sang pengasuh. Hal tersebut juga berlaku terhadap pandangan anak untuk bersikap dalam menghadapi perbedaan-perbedaan yang lain seperti perbedaan etnis dan jenis kelamin.
Baca Juga: Titik Temu Kesetaraan Gender
Peran orang tua sebagai pembentuk sifat dan sikap setara pada anak menjadi penting karena orang tua lah yang menjadi sumber teladan serta informasi tentang bagaimana anak mesti bersikap dan berperilaku, dalam hal ini adalah tentang bersikap setara dalam pergaulan.
Manusia memang diciptakan oleh Allah subhanahu wata’ala dalam keadaan berbeda-beda, namun di hadapan Allah, semua manusia itu adalah sama kecuali tingkat ketakwaannya (Q.S. al-Hujurat [49]: 13). Siapapun juga yang mengerjakan kebaikan, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, pasti Allah akan memberikan kehidupan yang baik dan membalas dengan memberi pahala (Q.S. an-Nahl [16]: 97). Dengan demikian, manusia dibedakan berdasarkan atas baik buruknya niat dan perilaku yang dikerjakan.
Oleh karena itu, setiap individu perlu memiliki pandangan yang setara terhadap individu yang lain karena hanya Allah subhanahu wata’ala, satu-satunya, yang berhak memberi pernilaian terhadap ketakwaan manusia. Karena orang tua berperan penting dalam membentuk sifat dan sikap kesetaran pada anak-anaknya, mereka perlu memahami tentang proses pembentukan rasa kesetaraan itu.
Di depan telah disebutkan beberapa unsur kejiwaan yang perlu dimiliki seseorang agar bisa memiliki sikap setara. Unsur-unsur tersebut perlu disosialisasikan atau dibentukkan pada anak. Kesemua unsur tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga hal yaitu modal kepribadian, pemahaman tentang nilai kesetaraan manusia, dan ketepatan berkomunikasi.
Modal Kepribadian Bersikap Setara
Paling tidak, ada empat modal kepribadian yang perlu dimiliki seseorang agar bisa bersikap setara terhadap orang lain, yaitu rasa percaya diri, rendah hati, hormat, positif dan apresiatif terhadap orang lain, serta berpikiran terbuka. Sifat-sifat tersebut memerlukan proses pembentukan semenjak usia dini.
Pertama, rasa percaya diri. Perasaan ini bisa terbentuk pada seseorang yang semenjak kecil sering merasakan kasih sayang dan memperolah sikap apresiatif atas sikap dan perilakunya. Kasih sayang yang diterima dan dirasakan, serta sikap apresiatif dari orang lain menandakan bahwa diri dan perilakunya diterima oleh orang lain, terutama oleh orang tuanya serta anggota keluarga yang lain. Dalam pergaulan, rasa percaya diri menjadi modal bagi seseorang untuk bisa bergaul dan dalam menghadapi berbagai masalah secara optimis.
Seseorang yang memiliki rasa percaya diri mudah memiliki rasa setara terhadap orang lain. Sebaliknya, seseorang yang memiliki rasa tidak percaya diri, yang sering kali merupakan produk dari adanya sikap direndahkan atau ketidakpercayaan dari orang lain pada masa kanak-kanak, tidak mudah untuk memiliki rasa setara terhadap orang lain. Pasalnya, orang lain diproyeksikan sebagai saingan.
Sangat disayangkan bahwa sikap merendahkan dan tidak percaya itu kemungkinan bisa datang justru dari orang tua atau orang-orang terdekat, bahkan dapat berlanjut hingga pada masa remaja, Oleh karena itu, pembentukan rasa percaya diri semenjak usia dini perlu dilakukan oleh orang tua agar seorang anak mudah diarahkan untuk memiliki rasa dan bersikap setara terhadap orang lain.
Kedua, rasa rendah hati dan rasa hormat terhadap orang lain. Untuk bisa bersikap setara, diperlukan adanya rasa rendah hati dan hormat terhadap orang lain, yaitu sikap tidak ingin menyombongkan diri, walaupun dirinya memiliki kelebihan. Rasa hormat pada orang lain perlu dilakukan tanpa melihat status seseorang.
Rasa rendah hati bisa dibiasakan semenjak usia dini. Rasa ini bisa muncul pada pribadi-pribadi yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak suka menyombongkan kelebihan dirinya, hormat pada setiap orang, dan dalam pergaulan tidak membedakan sikapnya terhadap orang lain. Artinya, apapun posisi orang lain itu dalam masyarakat, bahkan terhadap orang yang lebih muda sekalipun, juga bersikap hormat.
Dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak sampai usia remaja, orang tua perlu memberikan teladan dan menyampaikan sikap setara pada anak-anaknya. Penyampaian tentang apa yang yang harus dilakukan pada anak, di samping disampaikan secara verbal, juga perlu dicontohkan secara langsung. Ketika orang tua meminta anaknya melakukan sesuatu, hendaknya tidak menggunakan bahasa perintah, tetapi meminta, bahkan seringkali menggunakan kata meminta tolong.
Orang tua juga perlu membiasakan untuk meminta maaf pada anak ketika dia merasa melakukan kesalahan dan menyampaikan terima kasih ketika anak telah melakukan apa yang diminta untuk dilakukannya. Sikap pola pengasuhan yang menunjukkan penghargaan pada anak merupakan indikator sikap kesetaraan. Dengan demikian, anak akan berkembang menjadi pribadi yang rendah hati dan bersikap setara kepada orang lain dalam pergaulannya.
Ketiga, bersikap positif dan apresiatif terhadap orang lain. Bersikap positif adalah memiliki anggapan bahwa orang lain merupakan pribadi yang mesti dihormati sehingga harus disikapi secara baik. Sikap apresiatif adalah sikap menunjukkan penghargaan terhadap hal baik yang dilakukan orang lain.
Anak yang biasa merasakan dihargai dan diapresiasi orang tuanya atau orang dewasa lainnya, dan dibiasakan juga untuk menghormati dan menghargai orang lain akan mampu mengembangkan sikap hormat dan apresiatif pada orang lain. Hal tersebut juga akan menghindarkan tumbuhnya rasa iri dan dengki pada anak lain yang menghambat pergaulan dirinya.
Baca Juga: Peran Anak dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah
Sikap hormat dan apresiatif terhadap orang lain akan mendorong rasa dan sikap setara. Seseorang yang memiliki sikap apresiatif akan mudah menyampaikan rasa terima kasih terhadap kebaikan orang lain serta mudah bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala atas kebaikan apapun yang diperolehnya.
Keempat, berpikiran terbuka. Dengan memiliki pola pikir terbuka, seseorang akan mudah menerima pendapat di luar dirinya, tidak mudah tersinggung bila pendapatnya dikoreksi, bahkan sering ingin tahu secara tulus tentang pendapat orang lain. Orang yang berpikiran terbuka selalu ingin memperoleh pengetahuan baru. Hal ini mempermudah seseorang untuk memiliki sikap setara pada orang lain karena orang lain dianggap teman, bukan lawan.
Agar dalam suatu keluarga terbangun sikap setara, perlu dikembangkan juga pola pikir terbuka pada semua anggota keluarga. Usia anak adalah usia serba ingin tahu sehingga sering banyak pertanyaan yang diajukan. Orang tua perlu memiliki kemampuan menjawab dengan sikap yang apresiatif terhadap pertanyaan yang diajukan anak.
Anak juga perlu dilatih menerima pendapat dari teman-temannya. Pada anak perlu ditekankan bahwa pengetahuan itu bisa datang dari siapa saja. Kebiasaan membaca buku atau mencari informasi yang bagus dari media sosial, dengan bimbingan orang tua atau orang dewasa, juga diperlukan agar anak biasa memiliki daya pikir terbuka.
Pemahaman Keseteraan
Perasaan setara dengan orang lain diperlukan agar pergaulan antar manusia, baik pada anak dan remaja, pada orang dewasa, antar laki-laki dan perempuan, antar suku bangsa, serta antar kelompok sosial, bisa terjalin serasi, rukun dan damai. Memang dalam kehidupan itu manusia berada pada kondisi yang berbeda-beda. Setiap individu harus memiliki kemampuan untuk menerima perbedaan-perbedaan itu agar terjalin hubungan yang harmonis dalam kehidupan sosial, baik dalam lingkup keluarga maupun masyarakat.
Hal utama yang diperlukan dalam membangun rasa kesetaraan adalah adanya modal kejiwaan sebagaimana telah diutarakan di depan. Selanjutnya, diperlukan adanya kesadaran terhadap adanya perbedaan-perbedaan pada manusia yang mana di samping memiliki karakter dan kebutuhan yang sama, juga memiliki karakter dan kebutuhan yang berbeda. Pengakuan terhadap adanya perbedaan itu memang diperlukan.
Meskipun demikian, diperlukan juga pemahaman bahwa adanya perbedaan itu tidak pula menjadikan perbedaan dalam bersikap hormat kepada mereka yang berbeda dari kita. Sebagai contoh, anak laki-laki dan anak perempuan perlu diberi sikap yang sama dalam keluarga, misalnya dalam memberikan pembagian tugas dalam keluarga. Sampaikan dan teladankan pula sikap hormat yang setara dengan asisten rumah tangga sebagaiman sikap hormat yang sama dengan manusia yang lain, tanpa merendahkan hanya karena posisi profesinya tersebut.
Di samping itu, suasana dan sikap pergaulan yang setara juga harus menjadi karakter pada proses komunikasi sehari-hari dalam keluarga, baik itu antara ayah dan ibu, antara anak dan orang tua, juga antara anggota utama dalam keluarga dengan anggota tambahan, misalnya pengasuh anak atau asisten rumah tangga. Hal tersebut juga perlu dilakukan dalam lingkungan masyarakat, misalnya antara keluarga yang mampu dengan yang kurang mampu.
Ketepatan Berkomunikasi
Hal penting yang lain dalam membangun kesetaraan adalah cara berkomunikasi yang tepat antar individu. Setelah antar individu sudah terbangun rasa kesetaraan, perlu dikuatkan dengan adanya komunikasi yang mengindikasikan kesetaraan juga.
Pasalnya, walaupun seseorang telah memiliki kesadaran tentang dirinya dengan orang lain, tetapi bisa jadi cara berkomunikasi kesehariannya masih mengandung sikap otoriter atau diskriminatif meskipun tidak disadari. Hal ini dikarenakan cara atau pola berkomunikasi seseorang dengan orang lain itu sering menjadi bagian dari kepribadian yang terbentuk dalam waktu yang lama.
Baca Juga: Kesetaraan dalam Penciptaan Adam dan Hawa
Beberapa cara berkomunikasi yang mengandung unsur kesetaraan untuk membantu menguatkan usaha membangun rasa kesetaraan antar sesama dapat dilakukan dengan menyadari bahwa dirinya setara dengan pihak yang diajak berkomunikasi. Di samping itu, diperlukan pula kesadaran bahwa yang sedang diajak berkomunikasi kemungkinan mempunyai pemikiran yang berbeda. Hendaknya kita tidak memaksakan kehendak dan siap untuk menerima kemauan yang berbeda dari orang lain.
Menggunakan cara berkomunikasi dua arah, sehingga masing-masing bisa saling berpendapat juga merupakan cara berkomunikasi yang diperlukan. Kita perlu menyadari bahwa sebagai makhluk sosial, pada hakikatnya, kita saling memerlukan. Suasana nyaman dan akrab juga perlu dibangun saat berkomunikasi. Ingatlah bahwa memenangkan hati sesama hamba dan khalifah Allah, dalam rangka menegakkan Islam dan memakmurkan bumi, biasanya jauh lebih maslahat daripada memenangkan perdebatan.
Penutup
Membangun rasa kesetaraan memang diperlukan untuk membentuk sikap dan perilaku setara antara manusia. Di dalam prosesnya, perlu mempertimbangkan adanya tata cara pergaulan sesuai budaya setempat yang berkesesuaian dengan Islam, seperti budaya hormat yang muda kepada yang lebih tua, maupun murid terhadap guru. Bersikap setara antar sesama bukan berarti menghilangkan pola pergaulan dalam budaya setempat. Justru, bersikap setara hendaknya dijadikan kendaraan untuk dapat mensyiarkan Islam secara bijaksana. Semoga bermanfaat.