Oleh: Siti ‘Aisyah
Pernikahan merupakan fitrah kemanusiaan universal. Allah telah menciptakan makhluk-Nya secara berpasangan karena dengan berpasangan itulah kehidupan ini lestari. Allah mengisyaratkan hal ini antara lain dalam QS. adz-Dzariyat [51]: 49 dan QS. Yasin [36]: 36. Di antara maksud perjodohan laki-laki dan perempuan adalah dalam rangka melaksanakan tugas misi kekhalifahan. Sebagai ad-din pembawa rahmah dan bersifat universal, Islam telah menuntunkan bagaimana pernikahan disiapkan agar tujuan kesakinahan dapat terwujud.
Kesakinahan yang tidak terwujud dapat menyebabkan kegagalan keluarga, yaitu pernikahan yang berujung perceraian. Angka perceraian di Indonesia sendiri semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berbagai macam penyebab perceraian di antaranya adalah pernikahan anak, gugat cerai, dan KDRT.
Secara umum, perceraian terjadi karena kurangnya persiapan dari masing-masing pasangan dalam menjalani bahtera rumah tangga. Hal ini menyebabkan suami istri kurang memahami kewajiban dalam upaya memenuhi hak pasangannya, kurang mampu mewujudkan relasi yang setara dan berkeadilan, serta kurang adanya upaya mewujudkan sikap saling memuliakan, menghargai, mendukung pengembangan potensi, dan saling memahami kekurangan pasangannya.
Kewajiban Orang Tua Menikahkan Anaknya
Menikahkan anak merupakan salah satu kewajiban orang tua dalam memenuhi hak anak. Hal ini dituntunkan Rasulullah saw.
Artinya, “Kewajiban orang tua kepada anaknya adalah memberinya nama yang baik, mendidiknya sopan santun, mengajarinya tulis baca, mengajarinya berenang dan memanah, memberi rezeki kepada anak hanya yang baik-baik saja, dan menikahkannya apabila ia telah menghendaki” ( HR. al-Hakim).
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa orang tua berkewajiban memenuhi hak anak untuk dinikahkan bila anak sudah siap menikah. Persiapan itu dilakukan orang tua sejak dini. Setelah memberikan nama yang baik, orang tua memberikan pendidikan adab yaitu akhlak karimah, pendidikan intelektual, life skill, dan memberikan nafkah yang halal sebagai edukasi kemampuan untuk mandiri sebelum memasuki jenjang perkawinan.
Dalam buku Tuntunan menuju Keluarga Sakinah telah dirumuskan kewajiban orang tua terhadap anak yang terdapat pada Bab III tentang Hak dan Kewajiban dalam Keluarga Sakinah. Ada 8 kewajiban orang tua kepada anak pada masa usia dewasa dan menjelang perkawinan yang semestinya ditunaikan.
Baca Juga: Memperkuat Keluarga dengan Komunikasi Takarum (Saling Memuliakan)
Pertama, orang tua memberikan arahan agar anak aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan keorganisasian untuk memupuk jiwa sosial, kemanusiaan, dan kepemimpinan. Kedua, orang tua memberikan informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi sesuai dengan usia perkembangannya.
Kewajiban ketiga adalah apabila telah sampai waktunya, anak dipandu dalam memilih pekerjaan maupun profesi untuk mengamalkan ilmu dan keterampilannya serta mendapatkan rezeki yang halalan thayyiban dan berkah. Keempat, apabila anak telah ada kecenderungan untuk menikah, sebaiknya dilakukan pendekatan dan konsultasi agar tidak keliru dalam memilih pasangan dengan mengutamakan pertimbangan agama di samping faktor kafaah (setara) dalam pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Kewajiban kelima adalah mengarahkan anak agar dapat menjaga kehormatan diri dan keluarga dengan menerapkan pergaulan secara islami, bila sudah ada kesepakatan tentang calon yang dikehendaki. Hendaknya anak diarahkan untuk menghindarkan diri dari model tunangan dan pergaulan bebas. Keenam, bila sudah tiba waktunya segera dinikahkan sebagaimana kodrat manusia untuk mengikuti sunnah Nabi saw. dan kemudian dicatatkan di hadapan pegawai pencatat nikah. Perkawinan itu dimaksudkan untuk membentuk rumah tangga dan keluarga sakinah.
Setelah keduanya resmi menjadi suami-istri, orang tua memiliki kewajiban untuk selalu mengingatkan anaknya agar menyadari bahwa hidup sebagai orang yang beriman adalah selalu beribadah dan membersihkan diri dari segala perbuatan haram, terutama dalam mencari nafkah untuk keluarga. Terakhir, orang tua hendaknya juga mengingatkan anak bahwa dalam kehidupan rumah tangga itu ada pasang surutnya.
Dalam hal ini, sudah seharusnya suami-istri berjuang bersama-sama untuk mengatasinya. Pasang surut itu menjadi ujian bagi suami-istri karena bahagia, rasa senang, tenteram, gagal, sakit, sedih, kecewa, dan sebagainya pada hakikatnya adalah cobaan dari Allah swt.
Persiapan Pernikahan
Kesiapan pernikahan telah diisyaratkan Allah dalam QS. an-Nisa’ [4]: 6,
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Artinya, “dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya… “
Meskipun ayat tersebut terkait dengan anak yatim, secara eksplisit ayat tersebut menyebut usia matang untuk nikah, yaitu usia “rusydan”. Menurut Rasyid Ridha, rusydan dimaknai dengan ḥusnut-taṣarruf wa iṣābatul-khair, (mampu mengelola harta dan menggunakannya dengan baik) serta ṣiḥḥatul-‘aql wa wujūdatur-ra`yi (sehat akal dan matang dalam berpikir). Selanjutnya, ia menegaskan bahwa usia nikah adalah usia ketika seseorang sudah siap untuk menikah yaitu usia dewasa.
Beberapa hal perlu diedukasikan pada anak-anak dalam keluarga untuk mempersiapkan pernikahan menuju terwujudnya keluarga yang yang dilandasi rasa saling menyayangi dan menghargai dengan penuh rasa tanggung jawab dalam menghadirkan suasana kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat yang diridhai Allah swt. Persiapan dimaksud meliputi persiapan fisik, mental-psikologis, intelektual, ekonomi, kehidupan bermasyarakat, dan persiapan spiritual.
Kesehatan secara fisik, khususnya kesehatan reproduksi, perlu diedukasikan dalam keluarga. Ketika anak perempuan mengalami haid pertama dan anak laki-laki ihtilam, orang tua semestinya mendialogkan perlunya pemeliharaan kesehatan fisik. Kesiapan rahim perempuan untuk dibuahi dan persiapan untuk hamil perlu dibahas dengan anak perempuan.
Begitu juga orang tua perlu mendialogkan hal-hal terkait fungsi-fungsi reproduksi pada anak laki-laki. Edukasi kesiapan fisik juga terkait dengan usia nikah di mana menikah pada usia anak-anak menurut Tarjih Muhammadiyah tidak dianjurkan dengan segala pertimbangan hukumnya.
Baca Juga: Perkawinan Anak Tidak Sesuai dengan Tridimensi Tujuan Perkawinan
Dari sisi mental-psikologis, perkawinan merupakan masa transisi dari dunia remaja menuju fase dewasa. Peristiwa ini akan sangat berpengaruh terhadap kondisi psikologis sehingga diperlukan kesiapan mental dalam menyandang status baru sebagai suami dan istri. Kesiapan mental perlu diedukasikan dalam keluarga untuk memahami karakter, tradisi, dan budaya pasangannya. Dengan demikian, anak memiliki keterampilan untuk menghargai potensi dan kelebihan pasang-annya serta memahami kekurangan dan kelemahan pasangannya.
Kesiapan intelektual juga diperlukan sebelum memasuki pernikahan sebagai gerbang menuju kehidupan baru. Di era globalisasi, kehidupan baru dengan segala tantangannya memerlukan kemampuan intelektual dan kapasitas pengetahuan suami istri terhadap segala hal yang akan menghantarkan terwujudnya tujuan pernikahan. Kehidupan rumah tangga memerlukan ilmu-ilmu pendukung seperti ilmu agama, psikologi, sosial, komunikasi, ekonomi, tata laksana dan teknologi rumah tangga. Hal yang penting juga pengembangan keilmuan terkait dengan profesi suami dan istri.
Pernikahan juga perlu ditunjang dengan kesiapan ekonomi. Kesakinahan suatu keluarga sangat didukung oleh kestabilan ekonomi. Kesiapan ekonomi perlu diedukasikan dalam keluarga agar anak-anak mampu dan mandiri untuk memenuhi kebutuhan makan, sandang, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, sedekah, dan sebagainya. Kestabilan ekonomi perlu diperoleh dari sumber pendapatan yang halal, thayyib, dan barakah sangat diperlukan. Jangan sampai kekurangan dari segi ekonomi mendorong anggota keluarga untuk tidak mempertimbangkan nilai-nilai moral dan agama dalam memilih pekerjaan.
Di samping itu, kesiapan hidup bermasyarakat juga perlu diteguhkan. Melalui pernikahan, terjadilah persatuan dua keluarga menjadi extended family yang mungkin berbeda daerah, suku, tradisi, dan sebagainya. Pernikahan juga pintu gerbang memasuki kehidupan masyarakat yang lebih luas. Untuk itu diperlukan kesiapan sosial yang semestinya diedukasikan dalam keluarga untuk membangun silaturahmi dengan keluarga yang lebih besar. Anak perlu didorong dan dibiasakan aktif dalam kehidupan bermasyarakat serta berorganisasi untuk melatih diri memimpin dan menegakkan hak dan kewajiban suami-istri, keluarga, serta masyarakat.
Terakhir adalah kesiapan spiritual. Spiritualitas merupakan pilar utama penegak bangunan keluarga sakinah (QS. ar-Rum [30]: 21, QS. adz-Dzariyat [51]: 56). Esensi spiritualitas mewujud pada daya kepasrahan dan ketaatan pada Allah yang Maha Esa, yaitu dorongan penggantungan diri hanya pada Allah serta adanya keyakinan bahwa segala derap langkah kehidupan tidak lepas dari iradah Allah (QS. al-Fath [48]: 29).
Untuk itu, perlu diedukasikan spiritualitas dalam keluarga. Hal ini diyakini bahwa tingkat spiritualitas yang bagus dalam keluarga akan memunculkan rasa tentram, aman, dan damai pada jiwa setiap anggota keluarga. Dengan spiritualitas, permasalahan keluarga dan kehidupan dapat diatasi atas pertolongan Allah swt. Spiritualitas keluarga tercermin dalam perilaku ibadah dan mu’amalah yang terangkai dalam hubungan dengan Allah, manusia, dan alam sekitar (QS. al-Baqarah [2]: 177).