KesehatanPendidikan

Pendidikan Seksual Bukan Hal Tabu

Di Indonesia, pendidikan seksual masih dianggap sebagai hal yang tabu. Ketika diwawancarai Suara ‘Aisyiyah, Masroer dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menjelaskan bahwa anggapan tersebut muncul karena kesalahpahaman masyarakat tentang definisi pendidikan seksual.

Sebagian besar masyarakat menganggap pendidikan seksual adalah mengenalkan dan mengajarkan seseorang cara melakukan hubungan seksual suami-istri. Padahal, menurut Masroer, definisinya tidak sesempit itu. Menurutnya, pendidikan seksual adalah pendidikan untuk mengenalkan dan memahamkan seseorang tentang tubuh dan organ reproduksinya.

Melengkapi definisi Masroer, Supriyatiningsih dari Majelis Kesehatan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menjelaskan, “Pendidikan seksual adalah pendidikan untuk mengenal organ reproduksi laki- laki dan perempuan agar dari awal, baik pihak laki-laki maupun perempuan, mampu mempelajari organ-organ reproduksinya untuk meningkatkan harkat dan martabat mereka menjadi manusia yang sehat jasmani, rohani, fisik, mental, spiritual, dan sosial-kemasyarakatan.”

Menurut Supriyatiningsih yang akrab dipanggil dokter Upi ini, pendidikan seksual merupakan bagian dari pendidikan kesehatan reproduksi (a small part of reproductive health education). Posisi pendidikan seksual yang berada di bawah rumah besar pendidikan kesehatan reproduksi ini mempunyai implikasi yang penting.

Selain mengajarkan seseorang untuk mengetahui fungsi reproduksi organ tubuhnya dan organ lawan tubuhnya, juga yang tak kalah penting adalah untuk menumbuhkan sikap penghormatan terhadap hak-hak reproduksi orang lain.

“Kalau orang dapat mengetahui kesehatan reproduksi dirinya dan orang lain, maka penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi dan problem-problem yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi akan dapat dicegah, kalaupun sampai terjadi dapat diselesaikan permasalahan kesehatannya dengan baik,” ujar Upi yang merupakan Dokter Spesialis Obsgyn.

Tak Kenal Usia, Tak Kenal Siapa

Sejak kapan kesehatan reproduksi mesti diajarkan? Sejak dini. Sampai kapan? Sampai seseorang masuk ke alam kubur. Jawaban tersebut secara tegas disampaikan oleh Upi. Menurutnya, seseorang tidak harus menunggu masa remaja atau dewasa untuk mendapatkan informasi mengenai organ reproduksi serta fungsi dari organ tersebut.

Upi mengungkapkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi dibagi menjadi dua fase, yakni usia dini dan usia remaja sampai lanjut usia. Pembagian dua fase pendidikan tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi sesuai dengan fase umur seseorang. “Di setiap fase itu ada pemahaman yang harus diberikan selevel orang tersebut,” jelasnya.

Pendidikan kesehatan reproduksi usia dini, menurut Upi, tidak mungkin membahas tentang hubungan seksual suami istri, tetapi akan lebih banyak membahas tentang organ tubuh, seperti alat kelamin, payudara, dan bagian-bagian tubuh yang dalam agama disebut sebagai aurat.

Tujuannya agar anak-anak paham tentang tubuh mereka berikut hak-haknya. Lantas meletakkan penghormatan dan menanamkan etiket sejak kecil; bahwa ada bagian tubuhnya yang harus ditutup karena dia harus melindungi dirinya.

Sebaliknya, jika pendidikan kesehatan reproduksi tidak ditanamkan sejak dini, problem-problem kesehatan reproduksi dan sosial di kemudian hari, seperti perkawinan anak, kehamilan yang tidak diinginkan, kekerasan dalam hubungan seksual, dan kekerasan dalam rumah tangga akan terus terjadi. “Itu semua tanpa disadari karena buah dari pendidikan kesehatan reproduksi yang tidak ditanamkan sejak dini,” kata Upi.

Pada fase remaja dan dewasa, kesehatan reproduksi perlu ditanamkan agar masing-masing pihak, baik laki-laki maupun perempuan, mampu menempatkan pihak lain pada posisi yang setara dan penuh penghormatan. Misalnya, seorang laki-laki harus mengetahui mana bagian tubuh perempuan yang berharga dan harus dijaga. Begitu pun sebaliknya.

Baca Juga: Hikmah Puasa untuk Kesehatan Reproduksi

Lalu apa pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi diberikan kepada orang tua? Orang tua, kata Upi, juga mempunyai alat reproduksi.

“Kita sering melupakan itu. Orang tua sering dianggap tubuh renta yang sudah tinggal masuk kuburan. Itu keliru! Justru di usia tua itu kita harus memuliakan mereka. Tidak sekadar bagaimana agar mereka terhindar dari serangan stroke dan komorbid, misalnya, tetapi juga agar mereka tetap hidup bahagia seka- lipun di usia tua, yakni dengan sehat secara reproduksi,” ujarnya.

Selain tak kenal usia, pendidikan kesehatan reproduksi juga tak kenal siapa. Setiap orang, baik yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan, kaya maupun miskin, dan apapun latar belakang sosial-ekonomi-politik-keagamaannya, harus mempunyai pengeta- huan tentang kesehatan reproduksi. Demikian idealnya.

Sayangnya, realitas berbicara lain. Masroer mengungkapkan bahwa kuan-titas masyarakat Indonesia yang melek pendidikan kesehatan reproduksi dan secara khusus pendidikan seksual masih sangat sedikit. “Orang tua masih banyak yang tergagap-gagap ketika memberikan pendidikan seksual ke- pada anak-anaknya,” jelasnya.

Sementara itu, lanjut Masroer, riuhnya informasi di ruang media maya nyatanya tidak banyak membantu. Era teknologi informasi memang memberi kemudahan akses informasi kepada khalayak ramai. Akan tetapi, banyak juga informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, mitos-mitos seksualitas, dan konten- konten pornografi yang bertebaran.

Akhirnya, alih-alih teredukasi, sebagian masyarakat malah terjerembab ke dalam stigma kesehatan reproduksi baru yang keluar dari rel atau arah yang tepat. Menurut Upi, lemahnya literasi digital tersebut merupakan dampak dari tidak adanya konsep kesehatan reproduksi yang terumuskan.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Masroer menjelaskan bahwa keluarga mempunyai peran sentral untuk memberi pendidikan seksual. Namun, ketika keluarga belum mempunyai kapasitas untuk menjadi penyampai informasi, negara harus mengambil alih peran tersebut, misalnya dengan memasukkan materi pendidikan seksual (yang mendalam dan komprehensif) di lembaga pendidikan formal.

Selain melalui pendidikan formal, Masroer juga melihat institusi negara dan agama sebagai pintu masuk yang bagus untuk menanamkan kesadaran tentang pentingnya kesehatan reproduksi kepada masyarakat luas.

Hal senada disampaikan Upi. Menurutnya, tiga pintu tersebut (negara, pendidikan formal, dan agama) dapat dijadikanstarting point yang bagus untuk memi- nimalkan stigma ketabuan pendidikan kesehatan reproduksi di masyarakat.

“Saya yakin sekali bahwa mem- bicarakan ini dengan para tokoh agama dan dengan para ahli akan dapat muncul satu konsep pendidikan formal tentang pendidikan kesehatan reproduksi pada usia dini dan remaja yang betul-betul bisa bercirikan dua hal untuk Indonesia, yaitu bercirikan kultur Indonesia yang kuat dengan tata krama dan sopan santun, sekaligus kultur yang religius,” jelasnya.

Upi menjelaskan bahwa beberapa organisasi sosial-keagamaan, seperti ‘Aisyiyah memang sudah mempunyai best practice pendidikan dan pencegahan penyakit kesehatan di masyarakat, tetapi upaya tersebut tidak cukup. Oleh karena itu, menurutnya, best practice tersebut harus disuarakan ke pemerin- tah agar mempunyai pijakan regulasi yang jelas dan kuat.

“Sekali lagi bahwa regulasi dari pemegang kebijakan itu sangat penting. Tanpa itu kita akan mustahil dapat melakukan ini secara komprehensif dan menyeluruh. Best practice itu sebagai piloting. Itu bagus. Sebagai contoh itu sangat bagus. Tetapi dia hanya akan berhenti sampai di sana karena ruang lingkupnya kecil. Betul, memang dapat direplikasi di tempat lain, tetapi kalau itu tidak dibarengi dengan suatu peraturan yang kuat dan memayungi, ya kalau ada yang mau mereplikasi silakan, yang tidak juga silakan. Replikasi itu kan sifatnya suka rela,” ungkap Upi

Hal yang tidak kalah penting dalam proses perumusan regulasi tersebut, menurut Upi, adalah bagaimana mem-blended-kan antara pengetahuan kesehatan modern dengan konsep spiritual dan konsep budaya yang luhur. Tujuannya adalah agar pendidikan seksual tidak lagi dianggap tabu, dan lebih dari itu, dapat menaikkan harkat dan martabat kemanusiaan setiap individu. (Sirajuddin)

Related posts
Kesehatan

Mengurai Tabu, Meneguhkan Martabat: Refleksi Hari Kesehatan Seksual Sedunia

Oleh: Hana Mufidatul Roidah* Setiap 4 September, dunia memperingati Hari Kesehatan Seksual Sedunia (World Sexual Health Day) yang pertama kali digagas oleh…
Parenting

Perlindungan Anak melalui Pola Asuh Pendidikan Seksual

Oleh: Yuniar Wardani* Akhir-akhir ini, media sosial banyak menulis tentang maraknya perilaku penyimpangan seksual di kalangan anak dan remaja, termasuk lesbian, gay,…
Gaya HidupKesehatan

Menanamkan Pengetahuan Kesehatan Reproduksi kapada Remaja

Oleh: Nurul Soimah Kondisi kesehatan dan tumbuh kembang masa remaja seringkali berhadapan dengan situasi dilematik yang berdampak pada kurangnya stabilitas emosi dan…

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *