Oleh: Diyah Puspitarini*
Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi telah mengeluarkan Peraturan No 46 tahun 2023 tentang Pencegahan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Didalamnya ditegaskan tentang tiga dosa besar dalam pendidikan, yaitu bullying atau perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi. Peraturan ini menjelaskan tentang definisi, hingga pencegahan dan penanganan tiga dosa besar di satuan pendidikan.
Intoleransi hampir sama dengan diskriminasi dalam peraturan ini, yaitu setiap jenis perbuatan yang mengandung unsur kekerasan dalam bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan suku, etnis, agama, kelompok kepercayaan, ras, budaya, warna kulit, usia, status sosial ekonomi, kebangsaan, jenis kelamin, dan/atau kemampuan intelektual, mental, sensorik, psikis serta fisik.
Studi selama satu dekade terakhir telah memberikan informasi penting tentang sikap atau perilaku keberagaman anak di sekolah. Mutia (2014) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa perkembangan perilaku keagamaan pada anakterjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam keluarga, di sekolah, dan dalam masyarakat. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama akan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tindakan, kelakuan, dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.
Penelitian tentang tingkat toleransi siswa SD menjelaskan bahwa, bentuk toleransi keragaman keyakinan pada siswa di SD sudah sangat bagus. Terjadi relasi yang bagus antara siswa muslim dan non muslim, yang antara lain terlihat dari interaksi yang tidak saling menghina dan menjelekkan siswa yang berbeda agama (Mahmudah, dkk, 2023: 1485).
Sekolah dasar merupakan lembaga yang menyelenggarakan pendidikan untuk setiap siswa dengan latar belakang etnis, budaya, dan latar belakang yang berbeda. Toleransi telah menjadi menjadi perhatian utama bagi siswa (Ersanli, 2013) dalam menyikapi perbedaan. Dalam sistem pendidikan saat ini, sekolah dituntut untuk memfasilitasi siswa mengembangkan karakter toleransi (Kemendikbud, 2016). Untuk mengembangkan sikap toleran terhadap siswa, dapat dilakukan dengan memperkuat pendidikan karakter berbasis kelas berbasis kelas, budaya sekolah, dan masyarakat.
Penguatan pendidikan berbasis budaya sekolah adalah kegiatan pembiasaan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, dan menampilkan keteladanan di lingkungan sekolah. Pada tingkat sekolah dasar, keteladanan dan pembiasaan mempengaruhi pembentukan toleransi karena siswa dalam perkembangan operasional konkret secara kognitif melihat sesuatu secara nyata (Suparno, 2006). Sementara, penguatan pendidikan berbasis masyarakat berarti melibatkan masyarakat lingkungan sekitar sebagai sumber pembelajaran.
Menanamkan toleransi dimaksudkan untuk membuat hidup dalam keberagaman menjadi harmonis. Bagi guru sekolah dasar, sudah menjadi tuntutan untuk dapat menanamkan toleransi kepada siswa namun masih banyak definisi dan perbedaan indikator yang membuat standar toleransi belum terbentuk.
Karakteristik siswa sekolah dasar yang masih berpikir secara holistik memberikan tantangan dan corak tersendiri untuk membentuk toleransi. Toleransi bukanlah tujuan, melainkan sarana; toleransi adalah kualitas esensial minimal dari hubungan sosial yang menghindari kekerasan dan pemaksaan. Tanpa toleransi, perdamaian tidak mungkin terwujud. Dengan toleransi, berbagai kemungkinan positif bagi manusia dan masyarakat dapat diupayakan, termasuk evolusi budaya perdamaian (UNESCO, 1994).
Pengukuran tingkat toleransi biasanya didasarkan pada kemampuan sikap untuk menerima perbedaan diri dengan orang lain (Thomae, Birtel, & Witteman, 2016). Akan tetapi, ada kondisi tertentu bahwa sikap seseorang masuk dalam kategori toleransi. Sikap penerimaan tidak termasuk toleransi jika seseorang berada di bawah tekanan dan tidak berdaya, artinya dia mampu mengubah keadaan tetapi dia menerima keadaan tersebut (Janmatt, Vicker, & Everett, 2018).
Di Indonesia, toleransi dimaknai sebagai sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya (Kementerian Pendidikan Nasional, 2010). Pada akhirnya, pendidikan dianggap sebagai ujung tombak yang paling efektif untuk menanamkan sikap toleransi, hal ini dikarenakan salah satu tujuan pendidikan adalah untuk membentuk karakter kepribadian individu yang termasuk di dalamnya adalah toleransi (Fuad, 2017; Kemendikbud, 2016; Kurniawan, 2015).
Baca Juga: 3 Dosa Besar yang Membayangi Pendidikan Sekolah Dasar
Peran Guru
Dalam mengajarkan toleransi di tingkat sekolah dasar, guru memiliki setidaknya dua peran penting. Pertama, guru sebagai pelaksana penguatan pendidikan karakter di kelas yang menampilkan integrasi isi kurikulum dan mengembangkan penguatan evaluasi pengajaran toleransi.
Kedua, menjadi teladan dan pengaruh dalam membiasakan sikap toleran. Maka dari itu, dirasa perlu untuk menggali persepsi guru tentang toleransi sehingga akan lebih jelas dalam mengevaluasi pengajaran tentang sikap toleran terhadap siswa, khususnya di tingkat sekolah dasar. Acuan dalam membentuk sikap toleran pada siswa harus memperhatikan ranah afektif siswa, keteladanan yang ditunjukkan oleh guru, kegiatan pembiasaan terhadap perbedaan, dan praktik heterogenitas dalam masyarakat dan kelompok (Kurniawan, 2013, p. 132).
Guru Sekolah Dasar memiliki andil dalam membentengi generasi muda (siswa) dari pengaruh budaya luar yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlandaskan pada nilai-nilai budaya lokal. Guru harus mampu menjunjung tinggi karakter dasar kemanusiaan. Prinsip-prinsip dasar kemanusiaan tersebut terdiri dari keadilan, kesetaraan, kebijaksanaan, dan kebhinekaan.
Dalam kebhinekaan, terdapat berbagai bentuk kemajemukan, seperti agama, etnis, bahasa, adat istiadat, dan sebagainya. Keadilan dan kesetaraan berlaku untuk berbagai bentuk kemajemukan tersebut. Guru harus mampu membangun identitas nasional, antara lain melalui pendekatan kearifan antara lain melalui pendekatan kearifan lokal untuk menuju masa depan yang harmonis dan tangguh.
Strategi Pengajaran
Tiga hal yang menjadi inti perubahan dari pendidikan toleransi adalah: (1) tingkat pemahaman tentang toleransi, (2) sikap dan perilaku siswa yang lebih toleran, (3) budaya toleransi di lingkungan sekolah (Diyah Puspitarini, 2024: 267). Maka ketiga hal ini menjadi titik fokus untuk melaksanakan pendidikan toleransi di sekolah, terutama di sekolah dasar.
Strategi untuk mengembangkan pendidikan toleransi terutama di sekolah dasar dilakukan sebagai berikut: Pertama, melalui pengembangan sekolah yang inklusif. Sekolah inklusif adalah sekolah yang menjalankan aturan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009, bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan bersama dengan peserta didik pada umumnya. Maka sekolah inklusif artinya menerima bagaimanapun kondisi siswa tanpa diskriminasi.
Kedua, melalui peningkatan wawasan keagamaan secara inklusif. Peningkatan wawasan ini dilakukan agar guru menjadi lebih profesional dan memiliki kemampuan membentuk sikap dan perilaku siswa sesuai dengan ajaran umat beragama yang toleran. Ketiga, dengan menanamkan nilai toleransi sejak siswa masuk sekolah, yaitu dengan melakukan pembiasaan untuk saling menghormati sesama siswa di lingkungan sekolah.
Keempat, melalui peningkatan sarana melaksanakan pendidikan toleransi di sekolah. Kelima, melalui penguatan substansi kurikulum yang bernuansa toleransi. Keenam, melalui pemberdayaan organisasi kesiswaan. Ketujuh, dengan melibatkan peran keluarga siswa. Kedelapan, dengan melibatkan peran komunitas di lingkungan sekolah. Kesembilan, melalui peningkatan hubungan dengan pemerintah.
Kesepuluh, bagi siswa sekolah dasar, maka memberikan pemahaman tentang toleransi akan sangat mudah diterima dengan metode yang menyenangkan, terutama ada unsur permainan dan pelibatan mereka sebagai bagian dari pembelajaran. Implementasi pendidikan toleransi di sekolah umumnya menghadapi tantangan yang tidak mudah, karena lingkungan sekolah tidak terlepas dari berbagai pengaruh negatif keberadaan kelompok-kelompok intoleran dan konflik agama di luar sekolah.
Sejarah menunjukkan bahwa konflik agama di luar sekolah telah terjadi sejak lama (Bahrul Hayat, 2014: 47). Strategi implementasi pendidikan toleransi ini akan berjalan maksimal di sekolah jika dikelola dalam sebuah sistem manajemen, sehingga memiliki keberlanjutan secara simultan pada kondisi apapun.
Dengan demikian, pendidikan toleransi di sekolah menjadi kunci untuk membentuk generasi yang inklusif, hormat terhadap perbedaan, dan mampu hidup dalam harmoni dan stabilitas dalam masyarakat yang beragam. Langkah-langkah konkret, seperti pengembangan kurikulum yang inklusif, pelatihan bagi guru, dan pembiasaan nilai-nilai toleransi di lingkungan sekolah menjadi penting untuk mewujudkan tujuan tersebut. [6/24]
*Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia & Sekretaris PP ‘Aisyiyah