Oleh: Dr. Hj. Hibana Yusuf (Anggota Majelis Tabligh PP ‘Aisyiyah)

Kemandirian, adalah salah satu hasil dari proses pendidikan. Kemandirian merupakan kemampuan otonom untuk mengambil keputusan bertindak dan memilih arah tindakan sendiri tanpa terhalang oleh pihak lain. Jiwa mandiri dimiliki anak tidak secara kebetulan, atau karena keturunan dari orang tuanya. Kemandirian butuh dibangun melalui proses pendidikan, latihan, dan bimbingan secara berkelanjutan. Kemandirian mencakup beberapa hal, antara lain kemandirian mental dan kemandirian material.
Kemandirian mental adalah kemampuan seseorang untuk berjiwa mandiri dalam mengambil sikap dan bertanggung jawab atas apa yang diputuskannya. Beberapa ciri dari kemadirian mental antara lain pertama, tidak mudah terpengaruh oleh gangguan, godaan, dan rintangan. Bila niat telah ditanamkan, dan tekat telah dicanangkan maka hanya ada satu pilihan, yakni maju terus pantang mundur. Gangguan dan hambatan menjadi tantangan yang justru semakin memperkokoh diri. Ciri kedua adalah tegar menghadapi kesulitan hidup. Tidak cengeng dalam menghadapi berbagai masalah. Karena dimanapun manusia berada akan selalu dihadapkan dengan masalah, tergantung bagaimana seseorang mensikapinya. Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan bahwa setiap satu kesulitan akan diiringi oleh dua kemudahan, sebagaimana firman Allah Qs. Alam Nasroh 6-7 yang berarti: “sesungguhnya setiap kesulitan ada kemudahan, dan setiap kesulitan pasti ada kemudahan”. Maka tidak layak bagi umat Islam untuk berputus asa dalam menghadapi masalah. Karena setiap ada masalah pasti ada solusi. Masalah yang dihadapi juga menjadi lahan belajar untuk semakin mematangkan diri.
Selanjutnya ciri yang Ketiga adalah berani mengambil peran. Pribadi yang mandiri secara mental tidak akan mudah menyalahkan orang lain atau lingkungan yang banyak kekurangan. Ia akan berani mengambil peran untuk turut menyelesaikan masalah yang ada. Menyalahkan orang lain tidak akan menyelesaikan masalah. Sikap suka menyalahkan orang lain justru menunjukkan kekurangan pada dirinya. Keempat, berani mengambil resiko. Setiap tindakan akan ada resikonya. Orang yang takut akan resiko tidak akan berani mengambil tindakan. Dia hanya akan berdiri pasif di zona aman. Hal ini tentu bukanlah jiwa seorang pejuang. Seorang yang kreatif dinamis akan senang mencoba hal-hal baru dengan segala resiko yang ada. Kelima adalah berani bertanggung jawab. Pribadi yang mandiri tidak akan mudah melemparkan kesalahan kepada orang lain atau mencari kambing hitam. Ia akan berani mengambil tanggung jawab dalam hidupnya. Kesalahan dan kekhilafan dalam melangkah akan dipertanggungjawabkan secara ksatria, sekaligus sebagai sarana belajar untuk terus mematangkan diri.
Strategi membangun kemandirian mental dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan memperkuat pendidikan dalam keluarga. Pendidikan dalam keluarga adalah fondasi bagi kepribadian anak. Orang tua sebagai guru pertama tidak hanya membiarkan anak berproses secara alami tanpa bimbingan dan arahan. Proses pendidikan yang paling efektif adalah pelatihan, yakni adanya contoh teladan dari figur yang dekat dengan anak, disertai dengan proses bimbingan. Seorang anak yang mendapatkan arahan dan bimbingan dari orang tua yang berkepribadian dan dapat menjadi figur bagi anak akan memiliki fondasi yang kokoh untuk mengembangkan karakter dan kepribadian anak lebih lanjut.
Strategi berikutnya adalah penguatan proses pendidikan di sekolah. Pendidikan tidak hanya transfer ilmu. Namun pendidikan adalah pembangunan jasmani dan rohani, kognisi, afeksi dan mental spiritual. Ilmu pengetahuan tidak boleh lepas dari nilai. Mengajarkan ilmu berarti juga harus mengajarkan nilai (value). Bila pendidikan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan tanpa diiringi dengan penguatan nilai dan karakter maka akan melahirkan manusia-manusia yang cerdas namun tidak berakhlak. Pandai tapi tidak bisa mandiri. Karena itu penguatan pendidikan menjadi sebuah keharusan.
Kemandirian material adalah kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan dasar, dan mekanisme untuk tetap dapat bertahan pada kondisi krisis. Allah telah memberikan bekal kemampuan kepada manusia berupa akal pikiran yang dapat dikembangkan tak terbatas. Selain itu Allah juga menyediakan berbagai sumber daya yang ada. Kekayaan alam yang disediakan oleh Allah tentu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh umat manusia. Namun bila potensi diri tidak dapat diungkap secara baik maka yang muncul adalah kekurangan, keterbatasan, kemiskinan, dan ketergantungan pada pihak lain.
Strategi membangun kemandirian material antara lain dengan mengembangkan kemampuan diri. Kuncinya adalah belajar dan berlatih. Dengan belajar seseorang akan terus bertambah ilmu pengetahuannya. Seseorang yang memiliki bekal pengetahuan yang memadai akan memiliki banyak pilihan untuk mengembangkan hidup. Hidup memang butuh perjuangan, namun akan selalu ada jalan untuk berkarya dan menjadi lebih baik.
Berlatih, artinya mengembangkan keterampilan hidup. Keterampilan hidup perlu dikembangkan dalam diri anak. Hal itu dapat dilakukan dengan mengembangkan satu atau dua keterampilan yang ditekuni dan dikuasai. Kepandaian akan lebih bernilai bila disertai dengan ketrampilan hidup. Keberanian untuk mencoba, semangat untuk terus berusaha, dan kemampuan untuk bertanggung jawab akan menjadi pintu pembuka untuk mengembangkan potensi diri lebih lanjut. Semua itu akan menjadi jalan untuk mencapai kemandirian yang lebih baik.
Pada akhirnya, pendidikan menjadi kebutuhan masyarakat yang tak terelakkan. Bahkan pendidikan menjadi neraca untuk mengukur tingkat kemampuan dan kualitas suatu masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu pengembangan kualitas pendidikan perlu terus dilakukan dengan segenap kekuatan. Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah telah banyak memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara melalui jalur pendidikan. Namun upaya peningkatan secara kualitas dan kuantitas harus tetap diperjuangkan dan ditingkatkan. Semoga !
Tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi Januari 2016, Rubrik Kalam
Sumber Ilustrasi : https://hexaware.com/industries/education/