Oleh : Dr. Muqowim, M.Ag. (Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga)
Maraknya korupsi, konflik politik, permainan hukum, ketimpangan sosial, dan plagiarisme merupakan sedikit bukti dari banyaknya problematika dunia kontemporer. Manusia seakan sudah tercerabut dari jiwa aslinya yang penuh kedamaian (peace), cinta (love), kebahagiaan (happiness), daya (power), dan kemurnian (purity). Berbagai persoalan tersebut lebih banyak disebabkan oleh dominannya egoisme (ego), arogansi (arrogance), kemarahan (anger), kelekatan (attachment) pada dunia, dan nafsu (lust) yang dilakukan oleh manusia dalam kehidupan modern. Buku Armstrong di atas seakan menjadi warning bagi para pemeluk agama, terutama Islam, tentang misi agama yang selama ini diyakini sebagai pengemban rahmatan lil-‘alamin (Q. S. al-Anbiya’: 107).
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Berbagai penyimpangan yang terjadi sebagian dilakukan oleh orang Islam. Karena itu, muncul sebuah pertanyaan reflektif, apakah misi agama Islam hanya tercermin dari perilaku pemeluknya? Untuk menjawab hal ini kita patut merenungkan ungkapan seorang reformis pemikiran Islam pada awal abad ke-20, yaitu Muhammad Abduh. Menurutnya al-islam syai’un wa’l-muslimun syai’una akhar ‘Islam itu satu hal dan umat Islam itu hal yang lain’.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara Islam sebagai ajaran agama yang ideal-normatif dengan orang Islam sebagai pelaku yang memahami ajaran Islam dalam konteks historis. Ketinggian ajaran Islam sangat dipengaruhi oleh kualitas pemikiran orang Islam. Ketika orang Islam berkualitas maka akan tampak kehebatan ajaran Islam. Sebaliknya, ketika kualitas orang Islam menurun, ketinggian ajaran Islam tidak tampak dalam realitas.
Fenomena ketimpangan antara aspek yang ideal-normatif dengan yang empirik-historis di atas mengingatkan kita pada dua survei yang dilakukan oleh Muhammad Iqbal pada awal abad ke-20 dengan Rehman dan Askari dari George Washington University pada 2010 yang lalu. Ketika Iqbal berkunjung ke Eropa pertama kali, ia menga-takan bahwa ia melihat (nilai-nilai ajaran) Islam di sana, meskipun hanya sedikit orang Islam. Sementara itu, ketika ia di India banyak orang Islam tetapi hanya sedikit (nilai-nilai ajaran) Islam yang ada dalam kenyataan. Keprihatinan Iqbal tersebut mengingatkan kita pada dua hal, yakni pemeluk agama Islam (sebagai kuantitas) dan nilai yang terkandung dalam agama Islam (sebagai kualitas).
Sementara itu, penelitian Rehman dan Askari yang dimuat dalam Global Economic Journal tahun 2010 seakan menegaskan hasil pengamatan Iqbal di Eropa lebih dari seratus tahun yang lalu. Kedua peneliti tersebut melakukan survei terhadap lebih dari 200 negara terkait dengan indeks negara paling islami di dunia. Menurut riset tersebut negara paling islami ternyata adalah Selandia Baru. Bagaimana dengan Indonesia? Negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia ini menempati ranking 140.
Misi Utama Agama Islam: Rahmat bagi Semesta Alam
Islam diturunkan oleh Allah untuk mewujudkan dunia yang penuh de-ngan rahmat dan kasih sayang. Hal ini sebagaimana ayat “Dan tidaklah Kami mengutus engkau [Muhammad] kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta.”
Seharusnya, negara paling nyaman dihuni oleh umat manusia di dunia adalah negara yang berpenduduk muslim sebab nilai kasih sayang dan welas asih menjadi dasar dalam beraktivitas. Namun, agaknya harapan ini masih jauh panggang dari api. Nilai-nilai utama yang mestinya membumi ternyata baru sebatas hafalan dan pengetahuan kognitif yang belum sepenuhnya membumi.
Setiap melakukan aktivitas, orang Islam mengawali dengan lafadz bismillahirrahmanirrahim. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penya-yang. Jika kebiasaan membaca “basmalah” ini dikaitkan dengan salah satu hadis Nabi, maka umat Islam benar-benar menjadi model welas asih. Muhammad Iqbal, menyitir sebuah pernyataan yang oleh sebagian pendapat disebut sebagai hadis, mengatakan “takhallaqu bi-akhlaqillah”, berakhlaklah dengan akhlak Allah. Karena hampir setiap beraktivitas orang Islam mengucapkan “basmallah”, seharusnya nilai yang pa-ling banyak dihidupkan dan dirasakan umat manusia adalah kasih dan sayang. Namun, agaknya Piagam Welas Asih dari Armstrong di atas masih memprihatinkan dalam praktiknya.
Kembali pada misi utama ajaran Islam sebagai pembawa rahmat di atas, nilai ini bukan hanya perlu diwujudkan bagi umat Islam, namun juga bagi semesta alam yang tidak lagi mengenal batas termasuk agama, bahkan bagi tumbuhan dan binatang. Namun, jangankan menjadi rahmat bagi alam, menjadi rahmat bagi sesama muslim pun masih menjadi persoalan. Buktinya, di antara sesama orang Islam masih terjadi konflik karena berbagai sebab, terutama karena perbedaan kepentingan, baik politik, ekonomi, sosial, maupun pendidikan. Padahal, kehebatan ajaran Islam justru tampak ketika nilai yang dikandung bermanfaat dan dirasakan oleh alam. Namun, agaknya nilai ini kurang membumi di tangan orang Islam sendiri.
Pendidikan tentang Nilai Islam atau Pendidikan Berbasis Nilai Islam
Sejauh ini, sebagian umat Islam baru memahami ajaran Islam sebagai identitas kognitif-formal. Sebagian umat Islam baru sebatas memiliki agama (having a religion), tetapi belum sepenuhnya beragama Islam (being religious). Apa perbedaan antara keduanya? Yang pertama lebih menjadikan agama Islam secara kognitif dengan sejumlah ajaran dan ritual di dalamnya, sedangkan yang kedua merujuk pada pembumian nilai-nilai yang terkan-dung dalam ajaran Islam. Dalam konteks pendidikan, yang pertama lebih menekankan pada teaching (transfer of knowledge), sedangkan yang kedua fokus pada kesadaran nilai (transfer of values).
Hasil dari proses keduanya tentu berbeda. Yang pertama menghasilkan orang Islam yang mengetahui ajaran Islam secara kognitif namun belum tentu menghayati dan melaksanakannya dalam kehidupan, sementara yang kedua menghasilkan orang Islam yang menghayati dan mengamalkan ajaran Islam. Dari kedua corak tersebut tentu yang lebih penting menghayati ajaran Islam dan mengamalkannya.
Terkait dengan dua model di atas, bagaimana praktik pendidikan yang selama ini berlabelkan Islam? Agaknya, penekanan pada domain kognitif lebih dominan daripada domain afektif dan psikomotorik. Hal ini antara lain tampak dari penekanan pada aspek hafalan daripada penghayatan. Pembelajaran lebih menekankan pada aspek isi (content) sebanyak-banyaknya daripada penerapan. Selain itu, keberhasilan pendidikan juga lebih dilihat dari pe-nguasaan materi ajaran Islam daripada implementasi nilai yang terkandung di dalamnya. Tidak mengherankan jika keberhasilan pendidikan lebih dilihat dari aspek nilai angka daripada pengaruh nilai yang diamalkan dalam kehidupan.
Implikasi dari model pendidikan tentang nilai agama Islam tercermin dari munculnya matapelajaran atau matakuliah dalam rumpun agama Islam seperti al-Qur’an, hadis, fiqih, akidah, akhlak, dan sejarah Kebudayaan Islam. Sementara itu, model pendidikan berbasis nilai agama Islam berimplikasi pada pentingnya menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam agama Islam dalam semua matapelajaran atau matakuliah. Dalam konteks ini yang perlu menjadi kesadaran adalah nilai-nilai yang terkandung dalam setiap subject, bukan nama matapelajaran atau matakuliah itu sendiri.
Sebagai ilustrasi, boleh jadi matapelajaran IPA tidak secara khusus membahas tentang agama Islam, namun karena nilai agama Islam yang menjadi kesadaran dari pelaku pendidikan, maka nilai-nilai tersebut membumi dalam praktik pembelajaran IPA. Hal yang sama juga berlaku di mata-pelajaran lain seperti ilmu-ilmu sosial maupun budaya. Ini yang biasa disebut dengan pembelajaran integratif.
Baca selengkapnya di Majalah Suara ‘Aisyiyah Edisi 11 November 2019, Rubrik Hikmah.
Sumber Ilustrasi : https://kaosbapaksholeh.com/article/ciri-anak-sholeh-dan-sholehah-dalam-agama-islam