Pengajian (ta’lim) merupakan sebuah istilah dalam proses pembelajaran. Dalam Islam, sejarah pengajian dapat dilacak sejak awal perkembangan Islam, tepatnya ketika Nabi Muhammad saw. melakukan dakwah sirriyah di rumah Arqam bin Abil Arqam (darul Arqam). Pada waktu itu, di tengah segala keterbatasan, Nabi mengajar, membina, dan mengorganisir umat Islam untuk menjadi umat terbaik.
Seiring perkembangan waktu, tempat dan format pengajian turut mengalami perubahan. Sekretaris Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Miftahul Haq mengatakan bahwa memang tidak ada format pengajian secara khusus. Pengajian juga tidak hanya bermuatan kajian keislaman. Dengan demikian, asumsi sebagian umat Islam bahwa pengajian hanya berisi kajian keislaman adalah kurang tepat. Ia mengatakan, materi pengajian sebenarnya bersifat fleksibel, tergantung kebutuhan masyarakat.
Lebih lanjut, menurut Miftahul, pengajian juga dapat dikemas dengan berbagai bentuk, seperti menjadi ruang perputaran ekonomi, edukasi kesehatan, dan hal-hal positif lainnya. “Idealnya, pengajian tidak hanya menjadi ruang transfer of knowledge, tetapi juga menjadi ruang untuk melakukan perubahan, terutama perilaku,” ujarnya ketika dihubungi Suara ‘Aisyiyah.
‘Aisyiyah dan Pengajian
Menurut Pak AR Fachruddin, pengajian adalah ruhnya Muhammadiyah. Pernyataan ini mengandung arti bahwa Muhammadiyah tanpa pengajian hanyalah jasad (organisasi) yang tak hidup. Jika dilacak sejarahnya, perkembangan Muhammadiyah–‘Aisyiyah memang tidak dapat dilepaskan dari massifnya forum-forum pengajian; diawali dari Yogyakarta dan kini berkembang hingga ke seluruh dunia.
Bersama Nyai Siti Walidah, Kiai Dahlan membuka berbagai forum pengajian yang ditujukan kepada masyarakat sekitar. Kiai Dahlan menjadi pelopor di balik terselenggaranya forum pengajian di ruang publik. Menurut Miftahul Haq, apa yang dilakukan Kiai Dahlan dapat diibaratkan seperti seorang tukang air yang membawa air ke mana-mana. Beliau tidak menunggu orang datang ke sumur (sumber air), tetapi memilih untuk mengantarkan air ke orang-orang yang membutuhkan.
Abdul Munir Mulkhan dalam Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan Kiai Ahmad Dahlan (2010) menyebut praktik Kiai Dahlan itu sebagai “pendidikan desa dengan guru keliling”. Akan tetapi, ia menyayangkan “kini banyak orang tidak lagi mengenali, bahwa tradisi itu semula dipelopori oleh Muhammadiyah dengan guru desa dan guru kelilingnya” (hlm. 14).
Tak hanya itu, pasangan suami-istri itu juga merancang pola pengajian yang tidak hanya berdimensi ukhrawi, tetapi juga duniawi. Dalam Maghribi School, misalnya, selain diajarkan tentang paham agama, para buruh batik perempuan dan masyarakat umum juga dikenalkan dengan huruf latin, diajari berpidato, dan diberi keterampilan menyulam. Melalui pengajian pula Kiai Dahlan dan Nyai Walidah mengajak para aghniya’ –yang dalam konteks ini adalah pengusaha batik—untuk beramal maliyah (harta).
“Berbagai kegiatan itu menunjukkan bahwa pengajian dapat dijadikan forum untuk menambah wawasan sehingga perempuan dapat maju dunia akhirat. Mungkin bahasa sekarang mampu menjawab problem kehidupan. Maka materi pengajian di samping pembinaan keagamaan juga dapat diberikan materi umum sesuai kebutuhan masyarakat,” terang Ketua PP ‘Aisyiyah Shoimah Kastolani.
Baca Juga: Optimalisasi Dakwah Muballighat di Era Globalisasi
Merujuk pada penjelasan Yunahar Ilyas dalam Tafsir Tematis Cakrawala Al-Quran (2003), dua di antara tujuh kompetensi substantif yang harus dimiliki oleh muballigh-muballighat adalah memiliki pemahaman tentang agama Islam yang memadai dan benar, dan mempunyai pengetahuan umum yang relatif luas. Muballigh-muballighat memang selayaknya menguasai berbagai cabang ilmu, seperti ilmu sosial, ekonomi, hukum, kesehatan, dan sebagainya.
Pada waktu yang bersamaan, mereka juga mesti mempunyai kemampuan untuk membaca isu yang terjadi di masyarakat. “Muballighat wajib banyak membaca situasi dan cermat terhadap perkembangan persoalan yang terjadi di masyarakat. Kemudian mengajak mad’u (penerima dakwah) berpikir bagaimana mengatasinya,” ujarnya.
Akan tetapi, apa yang terjadi di lapangan (das sein) tidak selalu bersesuaian dengan apa yang diharapkan (das sollen). Tidak sedikit muballigh-muballighat yang hanya menguasai disiplin ilmu keagamaan. Untuk mengatasi situasi tersebut, yang perlu dilakukan menurut Miftahul adalah kolaborasi dan sinergi. Maksudnya, para muballigh bisa bergandengan tangan dengan ahli di bidang tertentu. “Para muballigh harus terbuka wawasan keilmuannya. Dan para ahli juga berkenan membuka diri dengan pemahaman keagamaan,” papar Miftahul Haq.
Adaptasi Pola Pengajian
Di tengah problem yang bersifat multidimensional, menurut Miftahul, muballigh-muballighat Muhammadiyah-‘Aisyiyah perlu lebih adaptif dengan perubahan zaman. Sikap adaptif itu dapat diwujudkan dalam bentuk pemanfaatan ruang digital sebagai sarana transfer ilmu dan melakukan transformasi sosial.
Pemanfaatan ruang digital sebagai “ruang baru” pengajian merupakan keniscayaan. Sebab jika tidak, lanjutnya, Muhammadiyah-‘Aisyiyah akan ditinggalkan jamaahnya. Di tengah upaya pemanfaatan itu, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan oleh muballigh-muballighat Muhammadiyah-‘Aisyiyah.
Pertama, memahami bahwa dakwah di ruang digital itu penting dilakukan. Dalam hal ini, mereka perlu berkolaborasi dengan kader muda yang ahli di bidang IT. Selain soal media yang digunakan, pemahaman tentang dakwah di ruang digital juga menyangkut strategi dakwah, mengingat mad’u yang lebih beragam.
Kedua, apa yang disampaikan tidak harus berbentuk ceramah. Dengan semakin maraknya platform media sosial, dakwah bisa dilakukan dengan pesan-pesan singkat, baik dalam bentuk audiovisual, video, maupun gambar. “Kalau muballigh menutup diri dengan teknologi, itu juga sulit. Keterbukaan dan kemauan itu menjadi kunci,” tegasnya.
Hal senada juga disampaikan Shoimah. Ia mengatakan, “sekarang banyak diminati dakwah melalui YouTube. Ini kesempatan juga. Harus melibatkan anak muda untuk membantu dakwah melalui IT”.
Sebagai pungkasan, ia berharap Muhammadiyah-‘Aisyiyah dapat memfasilitasi para muballigh-muballighatnya untuk dapat memaksimalkan media sosial sebagai sarana untuk berdakwah. Sehingga dengan begitu, identitas Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid akan tetap relevan. (sirajuddin)