Malang, Suara ‘Aisyiyah – Di dalam Q.S. al-Ikhlas, Allah swt. menegaskan bahwa inti keberagamaan manusia adalah tauhid. Ketua PP Muhammadiyah, Saad Ibrahim menjelaskan, tauhid punya makna at-tajrid, yakni pemurnian. “Maka inti beragama itu mentauhidkan Allah dengan ungkapan lā Ilāha illa Allah,” ujarnya.
Mentauhidkan Allah artinya memurnikan Dia dari hal-hal yang yang tidak diakui sebagai Tuhan. Artinya, Allah ditempatkan dalam posisi tertinggi. Menurut Saad, sikap bertauhid itu tercermin dalam kata al-ikhlash.
“Kata at-tauhid itu tidak sekadar meng-Esa-kan Allah, tapi juga punya keyakinan bahwa Dzat Yang Maha Esa itu adalah Dzat yang memiliki segala puncak kemuliaan, puncak kebaikan, puncak keunggulan,” terang Saad.
Penjelasan Saad itu disampaikan dalam Pengajian Tarjih Muhammadiyah dengan tema “Akhlak kepada Allah: Ikhlas dan Husnudzan”. Pengajian Edisi Khusus tersebut diselenggarakan di Hall Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, pada Rabu (25/1).
Baca Juga: Tauhid sebagai Sistem Kepercayaan Etis
Mantan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur itu menjelaskan bahwa ketauhidan punya implikasi pada kehidupan sosial. Orang yang baik akhlaknya pada Allah, kata dia, pasti baik hubungannya dengan sesama.
Menurut Saad, akhlak baik kepada Allah adalah manifestasi manusia sebagai ‘abdullah. Sementara akhlak baik kepada sesama adalah manifestasi dari status menusia sebagai khalifatullah fi al-ardh.
Tauhid adalah lawan dari syirik. Dalam Q.S. Luqman: 13, Allah swt. dengan tegas menyebut bahwa syirik adalah bentuk kedzaliman yang besar (inna asy-syirka la-dzulmun ‘adzīm). Sehingga, kata Saad, sikap bertauhid mesti melahirkan keadilan, karena merupakan lawan dari kedzaliman.
Saad menerangkan, ketika manusia mengangkat posisinya lebih tinggi dari yang lain, maknanya ia sedang memandang orang lain berada di bawahnya. Implikasi negatif dari sikap tersebut adalah penempatan orang lain sebagai objek yang bisa didzalimi, dipersekusi, dan sebagainya.
Nabi Muhammad saw. mengibaratkan manusia sebagai sisir yang sama rata posisinya. Dengan demikian, kata Saad, sikap memandang rendah dan/atau merasa diri lebih tinggi dari orang lain adalah tidak sejalan dengan prinsip ketauhidan.
Implikasi dari ketauhidan adalah tidak merasa lebih tinggi dari orang lain, apalagi merasa lebih tinggi di hadapan Allah. “Seluruh tindakan kedzaliman itu adalah bagian untuk memproklamasikan bahwa seseorang yang mendzalimi itu pada posisi Tuhan,” tegas Saad. (sb)