Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Pengajian Tarjih edisi 226 yang berlangsung pada Rabu (23/8) membahas tafsir surah Al-Baqarah ayat 216-218. Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Hamim Ilyas menyebutkan bahwa dalam Tafsir At-Tanwir, ayat ini membahas tentang beberapa ketentuan hukum perang. “Ketentuan pertama dalam ayat 216 adalah kewajiban perang, ketentuan kedua adalah perang pada waktu bulan suci, dan ketiga adalah perang dalam jihad,” ungkapnya.
Ketentuan pertama, Hamim menjelaskan, ditegaskan di dalam ayat 216 bahwa status hukum perang adalah wajib. Dalam ayat ini, perang menjadi kehendak Allah yang kuat, karena perang yang dibicarakan dalam ayat ini adalah perang dalam rangka perlawanan terhadap musuh yang datang ke Madinah.
Saat itu, umat Islam merasa berat, karena watak dasar manusia tidak menyukai peperangan, meskipun didatangi oleh kaum musyrikin Mekah untuk diperangi. Dari sinilah ditegaskan bahwa umat Islam harus melawan, karena jika tidak akan terjerumus ke dalam kehancuran.
Hamim menuturkan bahwa pada kenyataannya, dari perang yang mulanya untuk mempertahankan diri itu kemudian umat Islam dapat memperoleh kemenangan, sehingga menjadi umat yang berwibawa. Hal itu diungkapkan dalam surah Al-Maidah ayat 3.
Baca Juga: Memahami Kelompok Minoritas
Ketentuan kedua, ayat 217 berbicara tentang perang di bulan-bulan suci. Dalam konvensi masyarakat Arab, Hamim menerangkan, perang tidak boleh dilangsungkan di bulan suci. Yang dimaksud bulan suci adalah bulan-bulan ibadah dan ekonomi. Hal itu supaya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat masih tetap bisa terjamin.
Ketentuan ketiga, menurut Hamim, ayat 218 berbicara tentang jihad sebagai bagian dari teologi keagamaan. Ada tiga hal yang tidak bisa dipisahkan dari keberagamaan umat Islam, yaitu iman, hijrah, dan jihad.
Dalam kamus fikih, jihad artinya memerangi musuh, baik musuh berupa manusia maupun setan. Dalam artian lain, jihad diartikan untuk melawan musuh. Melawan yang tidak baik supaya menjadi baik. Jika yang tidak baik itu kebodohan, kata Hamim, maka harus dilawan dengan ilmu; juga melawan keterbelakangan menjadi kemajuan.
Di akhir kajiannya Hamim menuturkan, “Hijrah dan jihad kita sekarang ini untuk mewujudkan tujuan risalah Islam rahmatan lil ‘alamin. Tujuannya tidak hanya sekadar hijrah dalam berpakaian, tapi peradaban, penyelenggaraan secara baik di semua bidang kehidupan”. (shifna)