Yogyakarta, Suara ‘Aisyiyah – Era disrupsi bukanlah fenomena baru. Meski begitu, disrupsi yang terjadi pada abad 21 ini semakin kentara dengan makin majunya teknologi informasi yang ditandai nilai-nilai tertentu, khususnya kebebasan dan persamaan.
Pernyataan itu disampaikan Muhammad Ali dalam Pengajian Ramadhan 1443 H PP Muhammadiyah. Menurutnya, era disrupsi menuntut umat Islam untuk menciptakan inovasi, kreativitas, dan tajdid.
Menurut Ali, di tengah era disrupsi, jangan sampai agama menjadi kekuatan disruptif yang ekstrem, intoleran, dan anti pengetahuan. “Kita harus mengelola disrupsi, bukan menghindarinya,” ujarnya, Rabu (6/4).
Baca Juga: Empat Manifestasi Perilaku Beragama yang Mencerahkan
Mengenai ihsan, Ali menjelaskan bahwa di dalam al-Quran, kata ihsan merupakan sebuah konsep etik. Konsep ihsan sendiri mempunyai tiga makna. Pertama, senantiasa mengingat Allah atau merasakan kehadiran Allah. Konsep ini dapat dirujuk ke hadits Jibril.
Kedua, dalam konteks hubungan sosial sesama manusia, ihsan adalah keterbukaan sikap to live with others. Sikap ihsan ini, akan kembali pada setiap orang yang mengamalkannya, sebagaimana termaktub dalam (Q.S. al-Isra: 7).
Ketiga, ihsan bermakna optimalisasi potensi dan kemampuan diri. Makna ihsan ini, kata Ali, dapat dirujuk ke Q.S. al-Mulk: 2.
Dalam sesi yang mengangkat tema “Mengembangkan Religiusitas Ihsan dalam Masyarakat Majemuk di Era Disrupsi” ini, Ali menegaskan bahwa di era disrupsi ini, perilaku ihsan harus diamalkan dengan optimal, fokus, dan jangan sampai ter-distract dengan hal lain.
“Segala kebaikan yang dikerjakan baik offline maupun online, maka kebaikan pulalah yang akan kembali kepada kita, baik di dunia maupun di akhirat,” ujarnya. (sb)
1 Comment